Teori Tentang Tujuan Pemidanaan
a. Teori Absolut atau teori pembalasan ( Vergeldings theorien ).
Teori ini berdalih bahwa tujuan dari pemidanaan
adalah pembalasan. Jadi setiap orang yang melakukan kejahatan akan mendapatkan
hukuman yang setimpal terhadap apa yang telah dia lakukan, karena telah
melanggar norma-norma yang dikeluarkan oleh negara yang jelas-jelasnya itu
adalah sesuatu larangan. Ditambahkan[1] bahwa menurut teori ini, pidana dijatuhkan
semata-mata karena orang yang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak
pidana. Pidana akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada
orang yang melakukan kejahatan. Dilanjutkan[2]teori
pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis,
seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung
unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan
suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana
itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Oleh
karena itulah maka teori disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan
mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan.
Hakikat suatu pidana adalah pembalasan. Dalam teori pembalasan atau absolut ini
terbagi atas pembalasan sebjuktif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif
ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku dari luar.
Khusus untuk indonesia, karena
KUHPnya sampai sekarang belum mengalami revisi dan masih produk peninggalan
belanda yaitu wetboek van strafrecht
ternyata masih mengadopsi sanksi-sanksi yang berupa teori pembalasan, yaitu
pada Pasal 10 KUHP yang masih membenarkan pidana mati, walaupun kenyataannya
belanda sendiri yang telah merevisi KUHPnya telah menghapuskan pidana mati.
kemudian ancaman Pidana mati masih diterapkan dibeberapa aturan yang berlaku
diindonesia, seperti undang-undang teroris dan narkotika.
b. Teori Relatif atau Tujuan ( Doeltheorien )
Teori ini biasanya disebut sebagai teori
melindungi masyarakat. Karena tujuan dari teori ini adalah pembinaan, yaitu
bagaimana memperbaiki si penjahat. Pada dasarnya manusia itu baik, tetapi ada
sesuatu atau faktor eksternal yang mempengaruhi sehingga mereka berbuat
demikian. Maka daripada itu sebenarnya ketika dilakukan pemidanaan kepada
seseorang yang melakukan kejahatan, tujuan utamanya adalah memperbaiki si
penjahat agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.[3]menjelaskan
bahwa menurut teori relatif suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan
pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahatan melainkan harus
dipersoalkan pula manfaat pidana bagi masyarakat maupun bagi terpidana itu
sendiri. Sehingga pemberian pidana tidak hanya dilihat dari masa lampau
melainkan juga kemasa depan. Memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut
dari keadilan. Memidana harus ada tujuan
lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja, atau pidana bukanlah sekedar
untuk pembalasan atau pengembalian saja, tetapi mempunyai tujuan-tujuan
tertentu yang bermanfaat.
Sebenarnya dalam teori ini terdiri dari
dua macam pencegahan, yaitu pencegahan umum (generale
prventie) dan pencegahan khusus (specialle
preventie) . Pertama, Pencegahan
umum itu itu ditunujukkan untuk menakut-nakuti seseorang agar tidak melakukan
suatu kejahatan. Penjahat dijatuhkan pidana agar masyarakat tidak meniru dan
melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat. Seneca[4]
dalam teorinya berpandangan supaya khalayak ramai menjadi takut untuk melakukan
kejahatan, maka perlu dibuat pidana yang ganas dengan eksekusinya yang sangat
kejam dengan dilakukan dimuka umum agar setiap orang mengetahuinya. Penjahat
yang dipidana itu dijadikan totonan agar banyak dan dari apa yang dilihatnya
inilah yang membuat semua orang takut untuk berbuat serupa. Dan ini dahulu
dilakukan dinegara-negara Eropa Barat sebelum Revolusi Perancis (1789-1794).
Jadi menurut teori ini, tujuan pemidanaan itu untuk mencapai dan mempertahankan
tata tertib masyarakat melalui pemidanaan.
Tetapi ini dibantah oleh Von Freurbach yang menyatakan bahwa sifat
menakut-nakuti dari pidana itu bukan terletak pada penjatuhan pidana konkrito,
tetapi pada ancaman pidana yang ditentukan oleh undang-undang. Karena ketentuan
dalam undang-undang membuat ancaman pidana, sehingga khalayak umum merasa takut
melakukan kejahatan. Berbeda dengan Muller bahwa orang takut melakukan
kejahatan karena melihat penjatuhan vonis dari hakim. Kedua, Pencegahan khusus artinya menjatuhkan pidana kepada penjahat
dimaksudkan untuk mendidik para pelaku tindak pidana menjadi orang baik dalam
bermasyarakat. Van Hamel dan Von Listz[5]
menjelaskan bahwa tujuan dari prevensi khusus adalah mencegah nat buruk pelaku
( dader ) bertujuan mencegah pelanggar mengulangi perbuatan jahat yang
direncanakannya.
Jadi sangat jelas bahwa teori ini
beranggapan bahwa tujuan dari
pemidanaan bukan lain untuk memperbaiki para pelaku tindak pidana agar tidak
melakukan lagi perbuatannya. Sehingga para penganut ajaran ini sangat berharap sanksi-sanksi
pidana yang mengancam hak kemerdekaan seseorang seperti Pidana mati itu harus
dihapuskan, karena suatu pelanggaran terhadap Hak Asasi Mereka. Padahal mereka
mempunyai hak untuk memperbaiki kesalahan mereka. Tetapi walaupun demikian
ternyata dalam kenyataannya masih banyak para kaum recidivis yang tetap mengulangi perbuatan tindak pidananya walaupun
telah diberikan pengajaran atau pendidikan nara pidana kepadanya. Senggingga
masih banyak kalangan yang mengatakan teori tujuan pemidanaan ini masih kurang
efektif.
c. Teori Gabungan (Vereniginstheorien
)
Ajaran ini muncul
akibat ketidakpuasan dari kedua ajaran teori absolut dan relatif yang tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Ajaran ini didasarkan pada tujuan pembalasan
dan mempertahankan ketertiban masyarakat yang ditetapkan secara terpadu.[6] Teori
bagungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut
:
1. Teori
yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas
dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib
masyarakat.
2. Teori
gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi
penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan
yang dilakukan terpidana.
Kemudian
Van Bemallen[7]mengemukakan
sebagai penganut teori gabungan, bahwa pidana bertujuan membalas kesalahan dan
mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan.
Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan
terpidana kedalam kehidupan masyarakat.
Untuk melihat tujuan pemidanaan yang
menitikberatkan pada teori gabungan, kita dapat melihat dalam Rancangan
Undang-Undang Bidang Hukum Pidana 1991
dalam pasal 47, tujuan pemidanaan yaitu[8] :
1. Mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat.
2. Memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik
dan berguna.
3. Menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4. Membebaskan
rasa bersalah pada terpidana.
Dalam
ayat 2 pasal ini dikatakan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa yang tercantum dalam rancangan KUHP tersebut
merupakan penjabaran teori gabungan dalam arti luas. Ia meliputi usaha
prevensi, koreksi, kedamaian dalam masyarakat dan pembebasan rasa bersalah pada
terpidana.
[1]
Niniek Suparni, op.cit hal. 16
[2]
Andi Hamzah, op.cit., hal. 31
[3]
Ibid, Hal. 17
[4] Adami Chazawi
,Pelajaran Hukum Pidana 2 Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan, Pemberatan
& Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas,
RajaGrafindo Persada, Jakarta. Hal. 162-164
[5]
Andi Hamzah, Op cit. Hal. 35
[6]
Adami Chazawi,Op.cit. Hal. 166
[7]
Andi Hamzah, Op.cit Hal. 36
[8]
Niniek Suparni, Op.cit Hal
kejelasan Daftar Pustaka, harap dibaca artikel sebelumnya terkait Tujuan Pemidanaan dan Pengertian Pidana
Komentar
Posting Komentar