Teori Anomi dalam Kriminologi
Secara global, aktual dan representatif teori
anomie lahir, tumbuh dan berkembang berdasarkan kondisi sosial (social
heritage) munculnya revolusi industri hingga great depression di Prancis dan
Eropa tahun 1930-an menghasilkan deregulasi tradisi sosial, efek bagi individu
dan lembaga sosial/masyarakat. Perkembangan berikutnya, begitu pentingnya teori
analisis struktur sosial sangat dilatarbelakangi usaha New Deal Reform
pemerintah dengan fokus penyusunan kembali masyarakat. Untuk pertama kalinya,
istilah Anomie diperkenalkan Emile Durkheim yang diartikan sebagai suatu
keadaan tanpa norma (the concept of anomie referred to on absence of social
regulation normlessness). Kemudian dalam buku The Division of Labor in Society
(1893) Emile Durkheim mempergunakan istilah anomie untuk mendeskripsikan
keadaan “deregulation” di dalam masyarakat yang diartikan sebagai tidak
ditaatinya aturan-aturan yang terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak
tahu apa yang diharapkan dari orang lain dan keadaan ini menyebabkan deviasi.[1]
Menurut Emile Durkheim, teori anomie terdiri
dari tiga perspektif, yaitu :
Manusia adalah mahluk sosial (man is social
animal).
Keberadaan manusia sebagai mahluk sosial
(human being is a social animal).
Manusia cenderung hidup dalam masyarakat dan
keberadaannya sangat tergantung pada masyarakat tersebut sebagai koloni
(tending to live in
colonies, and his/her survival dependent upon
moral conextions). Kemudian, istilah anomie dikemukakan Emile Durkheim dalam
bukunya Suicide (1897) yang mengemukakan asumsi bunuh diri dalam masyarakat
merupakan akhir puncak dari anomie karena dua keadaan sosial berupa social
integration dan social regulation.
Lebih lanjut, skema hipotesis Durkheim
terlihat sebagai berikut :
Social Conditions
|
High
|
Low
|
Social integration
|
Altruism
|
Egoism
|
Social regulation
|
Fatalism
|
Anomie
|
Emile Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri
atau suicide berasal dari tiga kondisi sosial yang menekan (stress), yaitu :
deregulasi kebutuhan atau anomi ;
regulasi yang keterlaluan atau fatalism ;
kurangnya integrasi struktural atau egoisme.
Hipotesis keempat dari suicide menunjuk
kepada proses sosialisasi dari seorang individu kepada suatu nilai budaya
altruistic mendorong yang bersangkutan untuk melaksanakan bunuh diri. Hipotesis
keempat ini bukan termasuk teori stress.[2]
Pada tahun 1938, Robert K. Merton mengadopsi konsep anomie Emile Durkheim untuk
menjelaskan deviasi di Amerika. Konsepsi Merton ini sebenarnya dipengaruhi
intelectual heritage Pitirin A. Sorokin (1928) dalam bukunya Contemporary
Sociological Theories dan Talcot Parsons (1937) dalam buku The Structure of
Social Action. Menurut Robert K. Merton, konsep anomie diredefinisi sebagai
ketidaksesuaian atau timbulnya diskrepansi/perbedaan antara cultural goals dan
institutional means sebagai akibat cara masyarakat diatur (struktur masyarakat)
karena adanya pembagian kelas. Karena itu, menurut John Hagan, teori anomie
Robert K. Merton berorientasi pada kelas (“Merton is in exploring variations in
crime and deviance by social class”).[3]
Teori anomie Robert K. Merton pada mulanya
mendeskripsikan korelasi antara perilaku delinkuen dengan tahapan tertentu pada
struktur sosial akan menimbulkan, melahirkan dan menumbuhkan suatu kondisi
terhadap pelanggaran norma masyarakat yang merupakan reaksi normal. Untuk itu,
ada dua unsur bentuk perilaku delinkuen yaitu unsur dari struktur sosial dan
kultural.
Konkritnya, unsur kultur melahirkan goals dan
unsur struktural melahirkan means. Secara sederhana, goals diartikan sebagai
tujuan-tujuan dan kepentingan membudaya meliputi kerangka aspirasi dasar
manusia. Sedangkan means diartikan aturan dan cara kontrol yang melembaga dan
diterima sebagai sarana mencapai tujuan. Karena itu, Robert K. Merton membagi
norma sosial berupa tujuan sosial (sociatae goals) dan sarana-sarana yang
tersedia (acceptable means) untuk mencapai tujuan tersebut.[4]
Dalam perkembangan berikutnya, pengertian anomie mengalami perubahan dengan
adanya pembagian tujuan-tujuan dan sarana-sarana dalam masyarakat yang
terstruktur. Dalam pencapaian tujuan tersebut, ternyata tidak setiap orang
menggunakan sarana-sarana yang tersedia, akan tetapi ada yang melakukan cara
tidak sesuai dengan cara-cara yang telah ditetapkan (illegitime means). Aspek
ini dikarenakan, menurut Robert K. Merton, struktur sosial berbentuk
kelas-kelas sehingga menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan kesempatan dalam
mencapai tujuan.[5] Misalnya, mereka yang
berasal dari kelas rendah (lower class) mempunyai kesempatan lebih kecil dalam
mencapai tujuan bila dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelas tinggi
(uper class).[6] Robert K. Merton
mengemukakan lima cara mengatasi anomie dalam setiap anggota kelompok
masyarakat dengan tujuan yang membudaya (goals) dan cara yang melembaga (means),
seperti tampak pada table Model of Adaptation.[7]
Tabel
|
Model
of Adaptation
|
|||
Adjustment/adaptation
|
Cultural
goals
|
Institutionalized
|
||
forms
|
means
|
|||
1. Conformity
|
+
|
+
|
2.
|
Innovation
|
+
|
-
|
||
3.
|
Ritualism
|
-
|
+
|
||
4.
|
Retreatism
|
-
|
-
|
||
5.
|
Rebelion
|
+/-
|
+/-
|
||
Keterangan
:
|
+ acceptances
(penerimaan)
-
elliminaation
(penolakan)
+/- rejection and subtitution of new goals
and means (penolakan dan penggantian tujuan dan cara baru)
Kelima bentuk penyesuaian tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut :
Conformity (konformitas) adalah suatu keadaan
dimana warga masyarakat tetap menerima tujuan dan sarana-sarana yang terdapat
dalam masyarakat karena adanya tekanan moral.
Innovation (inovasi) yaitu keadaan dimana
tujuan dalam masyarakat diakui dan dipelihara tetapi mengubah sarana-sarana
yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Ritualism (ritualisme) yaitu keadaan dimana
warga masyarakat menolak tujuan yang telah ditetapkan namun sarana-sarana yang
telah ditentukan tetap dipilih. Retreatism (penarikan diri) merupakan keadaan
dimana para warga masyarakat menolak tujuan dan sarana yang telah disediakan.
Rebellion (pemberontakan) adalah suatu
keadaan dimana tujuan dan sarana yang terdapat dalam masyarakat ditolak dan
berusaha untuk mengganti atau mengubah seluruhnya.
Dari skema penyesuaian diri Robert K. Merton
di atas maka inovasi, ritualisme, penarikan diri dan pemberontakan merupakan
bentuk penyesuaian diri yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Karena
itu, pengadaptasian yang gagal pada struktur sosial merupakan fokus dari teori
Robert K. Merton (Problems of acces to legitimate means of achieving the goals
are the focus of Anomie Theory). Sebagai sebuah teori, maka Anomie merupakan
golongan teori abstrak/macrotheoriess dalam klasifikasi teori positif Frank P.
William dan Marilyn McShane, atau dengan melalui pendekatan teorinya secara
sociological (Frank Hagan). Teori anomie Robert K. Merton diperbaiki Cloward
& Ohlin
(1959) dengan mengetengahkan teori
differential opportunity. Cloward & Ohlin mengatakan bahwa sesungguhnya
terdapat cara-cara untuk mencapai sukses, yaitu cara yang disebutnya
“legitimate dan illegitimate”. Sedangkan Robert K. Merton hanya mengakui cara
yang pertama.[8]
[1]
Frank P. William III dan Marilyn
McShane, Criminological Theory, New Jersey Printice hall, Englewood Cliffs ,
1988, hlm. 62.
[2]
Romli Atmasasmita, Teori dan
Kapita Selekta Kriminologi, Penerbit PT Eresco, Bandung, 1992, hlm. 25.
[3]
John Hagan, Modern Criminology :
Crime, Criminal Behavior and Its Control, McGraw Hill Book Com, Singapura,
1987, hlm.197.
[4]
Frank P. William III dan Marilyn
McShane, Criminological ..., Op. Cit., hlm. 62.
[5]
Frank P. William III dan Marilyn
McShane, Criminological ..., Ibid.,hlm. 63.
[6]
Made Darma Weda, Kriminologi,
Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 32.
[7]
Frank P. William III dan Marilyn
McShane, Criminological ..., Loc.
[8]
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita
Selekta....., Op. Cit., hlm. 29 dan vide pula: Frank E. Hagan, Introduction to
Criminology Theories …., Op. Cit., hlm. 432. dan: Lilik Mulyadi, Kapita Selekta
Hukum....Loc. Cit.
Komentar
Posting Komentar