Revitalisasi Spirit Perkaderan HMI Membangun Kompetensi Pembinaan Dalam Sistem Perkaderan



Spirit atau semangat telah dikenal sejak manusia mengenal sejarah, sebab sejarah digerakkan oleh moral manusia. Bahkan, spirit itu ada sejak manusia itu mulai terdorong mengenali gejala kehidupan baik dalam dirinya maupun di luar dirinya. Gejala dorongan itu kemudian dikenal sebagai elan vital yang mengarahkannya untuk berkembang ke banyak dimensi sejarah.
Manusia meruntun sejarahnya dengan semangat sekaligus hidup dalam sejarah itu sendiri. Akan tetapi, dasar semangat atau yang dikenal sebagai elan vital bukanlah produk sejarah, melainkan kodrat pemberian sang Khalik dalam bentuk fitrah kemanusiaan yang karena orientasinya senantiasa kepada kebenaran, kebaikan, dan keseimbangan menjadikan manusia selalu ingin menjadi bagian tak terpisahkan dalam pembentukan dan perkembangan tatanan nilai, termasuk ke arah mana tatanan nilai yang dibentuknya harus mengabdi. Demikian sesungguhnya bahwa betapa manusia selalu ingin hidup dalam suatu tingkat nilai yang bermartabat. Sebab, manakala cara hidup yang berkembang telah menyalahi dasar nilai dalam diri manusia maka akan mengakibatkan ketidakseimbangan yang pada gilirannya akan menjatuhkan martabat (harga diri) manusia.
Secara teoritis, dalam kesinambungan itu manusia menata sejarah secara inkulturasi atau dalam arti menanamkan nilai-nilai kultur (budaya) di antara tiap mata rantai generasi. Di sini, manusia menyimpan harapan yang besar agar nilai-nilai itu melembaga dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dalam perkembangan kesejarahan, untuk merawat harapan itu maka hadirlah suatu bentuk khas dari spirit sejarah yakni pendidikan. Sisi ini lambat laun menghadirkan istilah Perkaderan yang dikenal kemudian setelah istilah Kader dikenalkan oleh partai politik tertentu yang dengannya mencerminkan kesetiaan dan loyalitas kader terhadap partai.
Demikian pentingnya makna kader dan perkaderan ini kemudian telah menjadi parameter (indikator) berkenaan dengan tingkat perkembangan kualitas kehidupan institusi sosial tertentu, khususnya institusi sosial yang bersifat non-negara. Artinya, jika terjadi ketidakseimbangan dalam suasana kehidupan suatu institusi maka secara serta-merta dianggap perlu untuk melakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan atau pembinaan dan perkaderan. Sebutlah, contoh kasus suatu institusi yang kelihatan tampak stagnan atau seolah diam di tempat atau mengalami involusi gerakan maka segera pilihan evaluasi akan lebih tertuju pada perlunya menghadirkan daya dorong yang jelas dan terukur terhadap semangat institusi itu. Daya dorong inilah yang dikenal sebagai elan vital atau singkat kata dipandang penting melakukan revitalisasi di tingkat dasar institusi itu.
Adalah hal yang lumrah sebuah institusi sosial dalam tahap-tahap perkembangan sejarahnya tak jarang mengalami stagnasi ataupun involusi yang bisa jadi akibat kejenuhan. Dalam situasi seperti inilah dibutuhkan daya dorong yang berbentuk revitalisasi. Dan tidak sulit untuk disepakati bahwa bidang mendasar dan terpenting untuk mengalami sentuhan demikian tak lain adalah basis-basis pembinaan dan pendidikan atau perkaderan.  
HMI tanpa kecuali pada tataran perkaderan perlu mengalami sentuhan dan perlakuan khusus untuk keluar dari situasi setidaknya dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir. Kini, komunitas kader HMI merasakan besarnya bias kemerosotan atau secara lebih ekstrem telah menjauh dari kodrat dasar kebangunan dan sendi kebangkitannya sebagai organisasi kader berwatak perubahan, cerdik-cendekia dan sarat intelektualisme. Sejumlah ekses telah ditimbulkan akibat kemerosotan ini. Sebutlah, cakrawala pemikiran intelektual yang meredup, rasio antara kelayakan usia memimpin HMI, jenjang perkaderan dengan kematangan tidak lagi berbanding lurus, kepiawaian dan kharisma aktivisme serta ketokohan yang tak lagi menonjol dalam pergulatan dunia kemahasiswaan justru berbanding lurus dengan sikap dan prilaku pragmatisme, termasuk kebiasaan buruk hedonisme. Begitu pula, sikap dan prilaku tak sadar konteks dan sulitnya hadap diri telah merebak di antara jejalin hubungan politis yang tercipta sehingga tak jarang menimbulkan sikap menghalalkan segala cara demi kepentingan pragmatis. Celakanya, mode berpikir pragmatis bias terjadinya penumpukan kader hanya pada ruang politik formal HMI sebagai akibat buntunya distribusi kader. Semua ini menyimpulkan tak lagi ada alasan yang tepat menunda perlunya revitalisasi.
Akan halnya dengan hal-hal di atas, istilah kader maupun perkaderan dalam lingkungan HMI sejauh telah diuraikan secara jelas dalam pola dasar perkaderan yang selanjutnya dikenal sebagai sistem perkaderan HMI. Sistem perkaderan HMI sebagaimana sistem perkaderan pada umumnya merupakan suatu kompleks manajemen yang terdiri dari sejumlah bagian saling terkait dan berproses serta saling berinteraksi yang mengarah pada pencapaian 5 (lima) kualitas insan cita HMI, yakni insan akademik, pencipta, pengabdi, bernafas Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur diridhoi Allah SWT. 5 (lima) kualitas ini dikenali amat konsisten sebagai mission sacre HMI sebagaimana terumus dalam tujuan HMI.
Sebagaimana tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berorientasi pada perpaduan kemajuan material dan spiritual, demikian hal itu juga secara implisit terkandung dalam tujuan HMI. Oleh karena itu, sesungguhnya penjabaran tujuan HMI ke dalam kerangka realitas tak lain merupakan manifestasi nafas kakaderan HMI yang tidak saja bermakna dalam konteks sebagai kader bangsa, tapi lebih jauh juga sebagai kader ummat  yang sadar akan tanggung jawab sosial, moral dan intelektual di tengah lapisan terbesar penganut agama di negeri ini.  
Secara filosofis-teleologis, baik tujuan HMI maupun tujuan  pembangunan manusia Indonesia tidak akan pernah terwujud di panggung sejarah HMI maupun negara-bangsa Indonesia. Sebab, formulasi kata dan makna suatu tujuan tidak terletak di antara derak evolusi sejarah, melainkan terletak di alam cita-cita yang bersifat ideal atau sempurna. Karena itu, keliru pulalah jika suatu tujuan demikian diagungkan tanpa dibarengi dengan suatu kerangka kerja dalam realitas.
Berdasarkan sistematika pendekatan pemahaman tentang tujuan di atas, maka amat tepat kiranya jika sistem perkaderan HMI dipahami dan ditempatkan sebagaimana layaknya sebagai kerangka kerja secara manajemen dan bersifat fungsional. Dengan demikian, hal ini akan mengindikasikan bahwa 5 (lima) kualitas insan cita HMI merupakan pentahapan penataan mental ideologi atau moral serta mental sosial dan intelektual dalam mewujudkan kerja-kerja kemanusiaan dan kemasyarakatan menuju penciptaan kader bangsa sekaligus  kader ummat.
Dalam konteks ini, tidaklah keliru jika teologi kekaderan HMI mendasarkan pada usaha tanpa henti guna membentuk kader seperti dipahami dalam personifikasi kualitas insan kamil atau insan paripurna yang gerak sosialnya selalu konsen secara horizontal, sedangkan gerak kesadarannya senantiasa berovolusi secara vertikal. Demikian, horizontal dan vertikal sebagai 2 (dua) pola kecenderungan sikap kejuangan ‘semoga’ menjadikan kader HMI selalu terjaga dalam kerja-kerja yang bersifat ikhlas.
Sebagaimana pula sistem pada umumnya yang mengenal reproduksi dan kontinyuitas, perkaderan HMI sebagai sebuah sistem pun demikian adanya. Bermula dari meletakkan dasar tatanan yang integratif di tingkat LK I (kader materil) untuk menunjang perencanaan LK II (kader potensil) yang berorientasi setting alokasi kader di tengah dinamika perkembangan lingkungan strategis 5 (lima) hingga 10 (sepuluh) tahun ke depan. Hal ini selanjutnya menandai kesiapan kedar HMI selain menggerakkan roda organisasi di semua jenjang eksisitensi sebagai bentuk kontinyuitasnya, ini pun sekaligus mereproduksikan kader itu sendiri dalam memenuhi segmen sosial, khususnya untuk jenjang LK III (kader efektif) yang berguna selain untuk kepentingan ritme sosial-politik makro HMI (sebagai Pengurus Badko atau pun PB HMI) juga untuk memenuhi segmen strategis kehidupan bangsa.
Sesuai perkiraan dan jangkauan di atas maka secara akademik, mental dan kompetensi kader HMI dibentuk dan diboboti dengan azas-azas pandangan tentang kehidupan secara konprehensif dengan menyajikan sistem pengetahuan yang secara kategoris terdiri dari tataran ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Artinya, dari sudut keilmuan dan tingkat intelektualisme kader HMI dapat bergerak berkembang secara merdeka dan dinamis sesuai proporsi, kebutuhan serta kapasitasnya masing-masing.  Begitu pula sebaliknya bahwa baik untuk mengisi lapisan kader dan atau menambah kapasitas itu maka sebagai organisasi kader, badan formal HMI selalu harus siap dengan kontinyuitas perkaderan sekaligus mereproduksikan berbagai unsur dalam perkaderan itu sendiri, utamanya nilai-nilai pandangan dunia (world view) dan nilai seputar sosiologi perkembangan lingkungan serta dinamika ilmu pengetahuan dan tekhnologi.

Komentar

Postingan Populer