Pro Kontra Pidana Mati Di Indonesia



Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut  tidak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi hampir di seluruh Negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional.
Kecendrungan para ahli yang setuju pidana mati tetap dipertahankan eksistensinya, umumnya didasarkan pada alasan konvensional yaitu kebutuhan pidana mati sangat dibutuhkan guna menghilangkan orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan umum atau negara dan dirasa tidak dapat diperbaiki lagi, sedangkan mereka yang kontra terhadap pidana mati lazimnya menjadikan alasan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia dan merupakan bentuk pidana yang tidak dapat lagi diperbaiki apabila setelah eksekusi dilakukan diemukan kesalahan atas vonis yang dijatuhkan hakim
Selanjutnya, penulis akan menguraikan berbagai -alasan dan para ahli yang pro (mendukung) maupun kontra terhadap pidana mati, serta pandangan penulis mengenai eksistensi lembaga pidana mati.
Adapun beberapa ahli maupun tokoh yang mendukung eksistensi pidana mati ialah Jonkers, Lambroso, Garofalo, Hazewinkel Suringa, Van Hanttum, Barda Namawi Arief, Oemar Senoadji, dan T.B Simatupang.
Jonkers mendukung pidana mati dengan pendapatnya bahwa “alasan pidana tidak dapat  ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan”  bukanlah alasan yang dapat diterima untuk menyatakan ”pidana mati tak dapat diterima. Sebab di pengadilan putusan hakim biasanya didasarkan alasan-alasan yang benar.”[1]
 Selanjutnya, Lambroso dan Garofalo berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.[2] Individu itu tentunya adalah orang-orang yang melakukan kejahatan yang luar biasa serius (extraordinary crime)
Pada kesempatan lain, Suringa berpendapat pidana mati merupakan suatu bentuk hukuman yang sangat dibutuhkan dalam suatu masa tertentu terutama dalam hal transisi kekuasaan yang beralih dalam waktu yang singkat. Penulis bergumen seperti itu didasarkan pendapat  Suringa yang menyatakan bahwa pidana mati adalah suatu alat pembersih radikal yang pada setiap masa revolusioner kita cepat dapat mempergunakanya.[3]
Salah satu pakar hukum pidana dan tokoh pembaharuan hukum pidana nasional Barda Nawawi Arief secara eksplisit dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa pidana mati masih perlu dipertahankan dalam konteks pembaharuan KUHP Nasional. Hal ini dapat penulis gambarkan, melalui pendapatnya yang menyatakan :
“bahwa walaupun dipertahankan pidana mati terutama didasarkan sebagai upaya perlindungan masyarakat (jadi lebih menitikberatkan atau berorintasi pada kepentingan masyarakat), namun dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif, hati-hati dan berorientasi juga pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku tindak pidana).[4]

Hal yang disampaikan Barda ini hampir senada dengan apa yang pernah disampaikan oleh seorang jenderal purnawirawan dan tokoh gereja di Indonesia yang pada dasarnya sepakat apabila lembaga pidana mati dihapuskan keberadaannya di Indonesia, namun dengan pertimbangan lain ia juga secara tegas menyatakan pidana mati masih harus dipertahnkan dikarenakan hukuman tersebut adalah alat untuk menjaga ketentraman masyarakat. Hukuman mati harus dibicarakan dari segi kepentingan masyarakat.[5]
Bahkan Marjono Reksodiputro yang juga seorang tokoh pembaharuan hukum pidana nasional mendukung keberadaan lembaga pidana mati dengan membantah hipotesa yang meragukan efektivitas pidana mati melalui penndapatnya yang menyatakan hubungan ancaman hukuman mati dengan mengurangi kejahatan atau tindak kejahatan sangat hipotetical. Kurang bisa dibuktikan, tetapi bukan berarti bahwa tidak dapat mengurangi. Orang yang mengatakan hapuskan hukuman matipun tidak dapat membuktikan bahwa pidana mati itu tidak efektif.[6]
Berdasarkan pendapat Andi Hamzah dan A. Sumangelipu dinyatakan secara tegas pidana mati sama sekali tidaklah bertentangan dengan Pancasila. Hal ini tergambar dari bab empat (Pidana Mati dalam Pancasila) buku mereka yang berjudul “Pidana mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan” yang menggambarkan secara terperinci bahwa tidakaada di antara keseluruhan sila dalam Pancasila yang bertentangan dengan keberadaan pidana mati di negra Indonesia.
Selanjutnya, inkonstitusioanal atau tidaknya pidana mati sebenarnya telah terjawab dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada Permohonan Pengujian materil Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang diajukan oleh empat terpidana mati kasus narkotika melalui kuasa hukumnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas pidana mati yang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa ancaman pidana mati pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Secara analogi dapat ditrik sebuah kesimpulan bahwa pidana mati bukanlah suatu tindakan inkonstitusional.
Untuk memperkuat argumen di atas, maka alangkah baiknya penulis memperkuatnya dengan menyajikan bunyi dari Konklusi dari Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan tersebut, yang menyatakan :
Ketentuan Pasal 80 Ayat (1) huruf a, Ayat (2) huruf (a), Ayat (3) huruf a; Pasal 81 Ayat (3) huruf (a); Pasal 82 Ayat (1) huruf  a, Ayat 2 (huruf) a dan Ayat (3) huruf a dalam UU Narkotika, sepanjang yang mengenai ancaman pidana mati, tidak bertentatangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.[7]

Berdasarkan keterangan tersebut, sebenarnya dapatlah secara jelas bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan Konstitusi Negara kita dan masih layak dipertahankan keberadaannyanya dalam hukum pidana positif. Hanya saja berdasarkan putusan tersebut pembaharuan hukum pidana yang berkaitan dengan pidana mati hendaknya untuk ke depan memperhatikan sungguh-sungguh hal sebagai berikut :
a.    pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif;
b.    pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan penjara seumur hidup atau selama 20 puluh tahun;
c.    pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
d.    eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuanhamil tersebut melahirkan dan terpidana mati yang sakit jiwa tersebut sembuh.[8]

Jadi, berdasarkan uraian pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa para pendukung pidana mati pada zaman modern ini semata-mata menjadikan pidana mati sebagai instrumen untuk melindungi masyarakat dan Negara baik dalam bentuk preventif maupun represif. Represif di sini bukanlah menjadikan mereka yang diperintah  menjadi rentan dan lemah[9] layaknya kekuasaan otoriter yang menjadikan pidana mati sebagai alat untuk menyingkirkan orang-orang yang bersebrangan dengan penguasa. Selain itu, dalam perumusan KUHP Nasional yang baru, dalam hal pidana mati haruslah memperhatikan buni putusan di atas.
Demikian sebaliknya, para ahli dan tokoh yang kontra terhadap pidana mati pun tidaklah sedikit dan menyandarkan argumennya pada sebuah landasan berpikir yang ilmiah. Seorang tokoh aliran klasik yang sangat terkenal karena kevokalannya menetang pidana mati ialah seorang berkebangsaan Italia yang bernama Beccaria. Alasan Beccaria menentang pidana mati ialah proses yang dijalankan dengan cara yang amat buruk sekali[10] terhadap seseorang yang dituduh membunuh anaknya sendiri (beberapa waktu setelah eksekusi dapat dibuktikan bahwa putusan tersebut salah).
Setelah keharuman nama Beccaria tenggelam, maka muncullah nama-nama tokoh dan ahli yang menentang pidana mati. Adapun nama-nama tersebut adalah Ferri, Leo Polak,  Modderman dan tokoh lainnya, sedangkan di Indonesia tokoh yang sanat vokal menentang pidana mati ialah Roeslan Saleh, J.E. Sahetapy, dan Todung Mulia Lubis yang semenjak muda telah terang-terangan menolak keberadaan pidana mati sedari muda (serta tokoh dan ahli lainnya yang tidak penulis sebutkan secara satu persatu).
Ferri yang juga seorang berkbangsaan Italia dalam hal menentang pidana mati berpendapat bahwa untuk menjaga orang yang mempunyai pradisposisi untuk kejahatan cukup dengan pidana penjara seumur hidup, tidak perlu dengan pidana mati.[11]
Apa yang disampaikan Ferri tidak jauh berbeda dengan yang diampaikan krminolog Oxvord, Roger Hood yang menggunakan anaalisis efek jera pidana mati dan penjara seumur hidup. Adapun pendapatnya adalah gegabah bila kita menerima hipotesis bahwa hukuman mati atas pembunuhan menghasilkan efek jera yang jauh lebih besar daripada yang dihasilkan oleh hukuman yang diangap lebih ringan, yakni hukuman penjara seumur hidup.[12]
Menurut penulis jelas pendapat Ferri maupun Roger Hood bertentatangan dengan apa yang telah disampaikan Foster (terpidana mati) yang lebih memilih mati dibandingkan dipidana penjara seumur hidupnya. Jelas, hal ini melahirkan kontradiksi sikap batin yang sangat mencolok yang menurut penulis melahirkan pendapat yang apriori dikarenakan sikap batin pada setiap orang adalah relatif.
Pendapat lainya yang disampaikan oleh Modderman menggunakan analogi dalam menolak adanya pidana mati :
Tokh saudara-saudara masih mendirikan kebun-kebun binatang di mana dikumpulkan binatang-binatang buas, yang juga tidaklah mustahil dapat meloloskan diri dari kekurangan-kekurangannya dan mengacau keamanan masyarakat. Saya akan lebih takut andaikata tiba-tiba kepergok dengan binatang buas demikian, daripada kepergok denagn penjahat penjahat yang dimaksudkan di atas.[13]

Pendapat ini sungguh kontras dengan yang terjadi di Indonesia, dikarenakan beberapa tahun setelah pendapat Modderman disepakati mengenai penghapusan pidana mati, di Indonesia malah diberlakukan pidana mati. Berdasarkan perbandingan hukum pidana dapat kita simak pendapat Andi Hamzah, sebagaimana terurai berikut :
Di dalam KUHP Indonesia tercantum pidana mati, sedangklan di Belanda sejak tahun 1870 sudah dihapus. Alasannya, ialah keadaan di Indonesia berbeda dengan Belanda, ribuan pulau-pulau, beraneka ragam suku bangsa, tenaga kepolisian kurang mencukupi, jadi perlu pidana yang lebih berat. Dengan sendirinya pasal-pasal yang berkaitan dengan pidana mati seperti pasal 6 dan pasal 11 (pelaksanaan pidana mati) terdapat dalam WvSI (KUHP) tetapi tentu tidak ada dalam Ned. WvS.[14]
Secara historis dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa ketidak konsistenan Belanda dalam penolakan terhadap pidana mati sesungguhnya didasakan pada konsep tirani untuk mempertahankan kekuasaan di negeri jajahan Indonesia. 
Sebuah kisah yag menarik dalam kontroversi pidana mati dapat juga kita rasakan dari rasa pertobatan seorang terpidana mati. Hal ini dapat penulis perlihatkan melalui penggalan surat dari seorang terpidana mati tertanggal 3 februari 1967 berikut ini :
Dear Rev. Khoo.  So forgive me for this. My farewell letter being so brief, and I fear incoherent. Do you remember the day you first saw me here, how I kept repeating to you ‘I am an  atheist’ almost with pride ? But as I watched you come here so often, spending so much of your time and giving so much yourself to the Pulau Senang boys and the rest of us, expecting and receiving nothing in return, I asked myself, “What is the motivates this man such  altruistic acts ? Is there really a God as he so undoubtedly believes ?” But one day – 17th of December 1965 – apparent reason I was over whwlmed by desire to kneel down in prayer and pour out my heart to God, surrendering my self to him and admitting to Him that revenge was in my heart. He listen and understood and as I got to know Him better trought the succeeding days and weeks, He told me that I should be above revenge and hate, that only love and understanding should occupy my thoughts and guide my action. Thro yoi I found Christ and thro him I shall find the kingdom of heaven. Till then, fare thee well. Yours in Christ, Sd. Sunny Ang.[15]

Secara jujur penulis sangat tersentuh dengan penggalan surat ini, namun patut diketahui Tuhan juga menciptakan suatu hukuman bagi umatnya yang berbuat salah dan begitu jugalah hal ini terjadi dalam realitas kehidupan bernegara. Bila dibedah melalui pisau religius, sebenarnya keberadaan pidana mati di sini membawa sebuah anugerah kepada Ang, dengan hukuman tersebut mengenal Tuhan secara lebih dalam terlepaskan dari belenggu ateisme.
Berkaitan dengan keberadaan pidana mati dalam korelasinya dengan Pancasila, Sahetapy memiliki pendapat yang berbeda dengan Andi Hamzah dan A. Sumangelipu. Sahetapy dalam skripsinya (telah dipublikasikan) menjelaskan[16] bahwa pidana mati bertentangan dengan norma dasar Negara ini yaitu Pancasila. Hal ini disandarkan pada pasal 95 ayat (2), walaupun pada saat itu telah didekritkan kembali pada UUD 1945 (namun patut diketahui bahwa UUDS juga dlahirkan dari Pancasila). Selain bersandarkan alasan tersebut, Sahetapy juga menyatakan bahwa pidana mati merupan warisan kolonial yang tidaklah pantas untuk dilanjutkan (sebagaimana diterangkan di atas).
 Pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam Permohonan Pengujian materil Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan konstitusi terdapat empat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstituisi. Hakim-hakim tersebut adalah Hakim Konstitusi H. Harjono, Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki, dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan. Dalam hal ini penulis sedikit menyampaikan alasan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menolak adanya pidana mati. :
Bagi hak untuk hidup, tidak terdapat petunjuk yang menyatakan pembatasan hak itu dapat dilakukan dengan menghilangkan hidup itu sendiri, meskipun diakui dan telah menjadi bagian dari hak asasi orang lain yang harus pula dihormati, hak untuk hidup boleh dibatasi karena hukum membutuhuhkan keadilan untuk mengembalikan keseimbangan yang dicederai oleh pelanggaran yang dilakukannya berupa pembatasan ruang geraknya dengan ditempatkan dalam tempat khusus serta menjalani pembinaan-pembinaan tertentu yang diwajibkan.

Jelas pendapat Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menitikberatkan pada konsep hak asasi manusia. Hal ini sesuai dengan perkembangan penolakan terhadap pidana mati dewasa ini (masa sebelumnya penolakan pidana mati ditekankan atas pelaksanaan eksekusi yang kejam dan efektivitas pidana mati tersebut).
Maka jelaslah, permasalahan pro dan kontra terhadap pidana mati merupakan suatu permasalahan yang tidak mudah untuk digeneralisirkan dalam satu pola pikir yang sama pada setiap orang.
Kontroversi penolakan (kontra) terhadap eksistensi lembaga pidana mati membawa sebuah ekses yang sangat luar biasa dahsyatnya, dimana banyak Negara yang menghapuskan jenis pidana ini pada hukum pidana positif negaranya. Berdasarkan data Amnesty International (2006) menyebutkan bahwa sampai saat ini ada 129 negara yang telah menghapuskan pidana mati (death penalty) dari ketentuan hukum pidana positifnya. Dari data tersebut, 88 negara menghapus hukuman mati secara total, 11 negara memberlakukannya secara sangat spesifik, yaitu hanya untuk kejahatan di waktu perang (war time), dan 30 negara masih mempertahankannya dalam hukum nasionalnya namun tak pernah lagi melaksanakannya dalam praktik.
Menurut Roeslan Saleh beberapa Negara yang tidak lagi mengancamkan pidana mati pada KUHP nasionalnya ialah :
 Portugal tahun 1846, Negara Bagian di Amerika Serikat tahun 1847, di San Marino tahun 1848, di Venezuela tahun 1649, di Rhode Island (USA) tahun 1852, di Wiscounsin tahun 1853, di Toskane tahun 1859, Columbia dan Rumania tahun 1864, di Netherland tahun 1870,  di Costa Rica tahun 1880. di Maine tahun 1887, di Italia tahun 1890, di Brazilia tahun 1891, di Equador dan Peru tahun tahun 1895, di Norwegia tahun 1902, Rusia tahun 1903, (sekarang pidana mati berlaku di Uni Soviet), di Austria tahun 1918, di Swedia tahun 1921, Lituania 1922, di New Zeland tahun 1925, di Uruguay tahun 1926, di Chili tahun 1930 dan Denmark tahun 1993. Tetapi ada di antara yang tersebut di atas yang memberlakukan lagi pidana mati sesuai dengan kebutuhan masyarakat.[17]

Sebagai contoh Negara Belanda yang menghapuskan pidana mati pada ketentuan hukum pidananya masih mencantumkan pidana mati pada Kitab Undang-Undang  Hukum Pidana Militer Negara tersebut. Hanya saja penjatuhan hukuman tersebut hanya dapat dilakukan, apabila hakim berpendapat bahwa keamanan dari negara itu menghendakinya demikian (pasal 9).[18] Selain itu, Negara tetangganya Belgia mencantumkan pidana mati di dalam KUHP sipilnya, diamana ketentuan tersebut tidak pernah lagi dilaksanakan lagi dalam prakteknya.
Sementara itu, masih ada 68 negara yang sampai kini masih konsisten mempertahnkan pidana mati pada ketentuan hukum pidana nasionalnya. Dimana Indonesia adalah salah satu dari negara tersebut.
Untuk menutup bab ini, penulis akan  menguraikan pendapat pribadi mengenai pidana mati. Pada dasarnya, penulis tidaklah sepakat dengan keberadaan pidana mati dalam konteks hukum pidana nasional ataupun secara global, namun secara rasional dengan memperhatikan kebutuhan pada saat ini maupun ke depan, penulis menyadari pidana mati masih dibutuhkan sebagai suatu alat untuk melindungi masyarakat. Perlunya pidana mati dipertahankan menurut penulis berdasarkan tiga alasan. Pertama, masalah keadilan dan kepastian hukum. Apabila pidana mati dihapuskan dan kemudian diadakan kembali dengan mengenyampingkan asas non retroaktif, lebih patut dipertanyakan dimana keadilan yang seharusnya menjadi satu dalam bentuk kepastian hukum. Ini dikarenakan suatu keadaan ke depan tidaklah dapat diprediksi dan ditafsirkan secara mutlak dengan mengadakan pengandaian-pengandaian yang apriori. Maka, lebih baik pidana mati tetap dipertahankan dengan catatan hanya ditujukan kepada pelaku kejahatan yang luar biasa serius (extraordinary crime).
Kedua, masalah kebudayaan. Tidaklah dapat disangkal bahwa Negara kita yang multi cultural ini mengenal pidana mati dalam berbagai peraturan adat semenjak zaman kerajaan dahulu (sebelum terbentuknya Negara Indonesia). Untuk memperkuat pendapat ini, maka penulis menyandarkannya pada pendapat Von Savigny yang menyatakan hukum adalah bagian dari budaya masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas (arbitrary act of a legislator), tetapi dibangun dan dapat ditemukan dalam jiwa masyarakat.
Ketiga, unsur religius. Memperhatikan norma dasar Negara kita yang memperlihatkan bahwa bangsa ini ialah bangsa yang cinta dan takut akan Tuhan yang berarti tidaklah dapat kita sangkal secara religius, agama mengakui hukuman sebagai akibat dari sebuah tingkah laku yang jahat. Sebagai contoh, Islam mengenal hukuman mati (qishas) sebagai bentuk hukuman terhadap jarimah yang mutlak telah digariskan oleh ALLAH dan hanya dapat hapus apabila keluarga korban memberi maaf dan barulah dapat diberlakukansemacam ganti rugi (diyat).
Berdasarkan ketiga alasan tersebut, penulis beranggapan bahwa nilai-nilai humanis yang berlebihanlah yang sebenarnya menyeret kita dalam penolakan terhadap pidana mati. Jika sebelum pidana tersebut dilaksanakan diberikan kesempatan terlebih dahulu kepada si terpidana untuk berertobat dan eksekusi pun dilakukan dengan cara meringankan penderitaan-penderitaan fisik yang berlebihan, maka tidaklah beralasan untuk menolak pidana mati sebagai suatu sarana perlindungan rakyat.

[1] A. Hamzah & A. Sumangelipu, Op.cit.,  hlm 25 & 26.
[2] Ibid., hlm.27
[3] Ibid., hlm.27
[4] Barda Nawawi Arief, Op.cit.,  hlm 89.
[5] A. Hamzah & A. Sumangelipu, Op.cit.,  hlm 35.
[6]Herliady , Efektivitas Hukuman Mati, http://herliady.blog.friendster.com/efektivitas-hukuman-mati/. Diakses pada 2 februari 2013.
[7] Putusan Mahkamah Konstitusi
[8] Putusan Mahkamah Konstistusi
[9] Philip Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif,  Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 33.
[10] A. Hamzah & A. Sumangelipu, Op.cit.,  hlm 37.
[11] Ibid., hlm. 38.
[12] Todung mulia Lubis & Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Kompas Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 106.
[13] A. Hamzah & A. Sumangelipu, Op.cit.,  hlm. 42
[14] Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 11.
[15] Sahetapy, Op.cit.,  hlm 123 & 124.
[16] Sahetapy, Op.cit.,  hlm 14.
[17] Ibid.,  hlm 43.
[18] P.AF. Lamintang & D. Simons, Op.cit.,  hlm 392.

Untuk dapat menemukan Referensi Daftar Pustaka Dengan Lengkap Harap Membaca Artikel Terkait Lainnya.

Komentar

Postingan Populer