Prinsip Keseimbangan Berupa Perlindungan Terhadap Pihak yang Melakukan Wanprestasi
Ada
kemungkinan bahwa sungguhpun salah satu pihak telah melakukan wanprestasi,
tetapi sebagian prestasi telah dilakukan atau terdapat cukup alasan untuk
menunda sementara pelaksanaan prestasi ataupun ada alasan-alasan lain yang
menyebabkan kepentingan pihak yang melakukan wanprestasi pun dilindungi. Karena
itu dalam hukum kontrak dikenal dengan prinsip keseimbangan, yakni keseimbangan
antara kepentingan pihak yang dirugikan dengan kepentingan dari pihak yang
melakukan wanprestasi.
Seperti
telah dijelaskan bahwa oleh hukum kontrak diberikan hak untuk melakukan
terminasi kontrak (dengan berbagai konsekuensinya) kepada pihak yang dirugikan
oleh tindakan wanprestasi, akan tetapi untuk menjaga keseimbangan, kepada pihak
yang telah melakukan wanprestasi juga diberikan hak-hak atau perlindungan
tertentu.
Perlindungan
hukum kepada pihak yang telah melakukan wanprestasi tersebut adalah sebagai
berikut :
Mekanisme
tertentu untuk memutuskan kontrak
Agar
pemutusan kontrak tidak dilaksanakan secara sembarangan sungguhpun pihak
lainnya telah melakukan wanprestasi, maka hukum menentukan mekanisme tertentu
dalam hal pemutusan kontrak tersebut. mekanisme tersebut adalah sebagai
berikut:
(i)
Kewajiban
melaksanakan somasi (Pasal 1238 KUH Perdata).
(ii)
Kewajiban
memutuskan kontrak timbal balik lewat pengadilan (Pasal 1266 KUH Perdata)
Pembatasan
untuk pemutusan kontrak
Seperti
telah dijelaskan bahwa jika salah satu pihak telah melakukan wanprestasi, maka
pihak lainnya dalam kontrak tersebut berhak untuk memutuskan kontrak yang
bersangkutan. Akan tetapi terhadap hak untuk memutuskan kontrak oleh pihak yang
telah dirugikan akibat wanprestasi ini berlaku beberapa restriksi yuridis
berupa :
(i) Wanprestasi harus serius,
(ii) Hak untuk memutuskan kontrak belum
dikesam-pingkan,
(iii) Pemutusan kontrak tidak terlambat
dilakukan,
(iv) Wanprestasi disertai unsur kesalahan. Untuk itu akan ditinjau satu per satu dari
restriksi yuridis tersebut.
Wanprestasi
harus serius
Sebagaimana
diketahui bahwa tidak terhadap semua wanprestasi pihak yang dirugikan dapat
memutuskan kontrak tersebut melainkan yang dirugikan harus dapat pula
menunjukkan bahwa wanprestasi tersebut merupakan wanprestasi yang serius. Jika
hanya terhadap wanprestasi yang tidak serius, yakni jika salah satu pihak tidak
melakukan suatu kewajiban kecil, maka pihak lainnya tidak berhak untuk
memutuskan kontrak tersebut, walaupun tidak tertutup kemungkinan bagiannya
untuk memintakan ganti rugi jika cukup alasan untuk itu.
Mekanisme
penentuan sejauh mana serius atau tidaknya suatu wanprestasi terhadap suatu kontrak
adalah sebagai berikut :
a.
Melihat
apakah ada ketentuan dalam kontrak yang menegaskan pelaksanaan kewajiban yang
mana saja yang dianggap wanprestaisi terhadap kontrak tersebut, atau
b.
Jika
ada ketentuan dalam kontrak, maka hakim dapat menentukan apakah tidak
melaksanakan kewajiban tersebut cukup serius untuk dianggap sebagai suatu
wanprestasi terhadap kontrak yang bersangkutan.
Hak
untuk memutuskan kontrak belum dikesampingkan
Umumnya
diterima dalam hukum teori kontrak bahwa hak untuk melakukan pemutusan kontrak
karena pihak lainnya telah melakukan wanprestasi tidak berlaku lagi manakala
pihak yang dirugikan tersebut telah mengensampingkan hak untuk memutuskan
kontrak tersebut. Pengesarnpingan hak untuk memutuskan kontrak mempunyai
konsekuensi hukum sebagai berikut:
a.
Hilangnya
hak untuk memutuskan kontrak
Sekali
pihak yang dirugikan karena tindakan wanprestasi dari pihak lain telah
mengesampingkan haknya untuk memutuskan kontrak yang bersangkutan, maka dia
tidak dapat lagi nantinya mengubah pendiriannya itu. Artinya, haknya untuk
memutuskan kontrak tersebut sudah hilang karena dilepaskannya itu.
Tidak
berpengaruh terhadap penerimaan ganti rugi Seperti telah diketahui bahwa dengan
di kesampingkannya hak untuk memutuskan kontrak, maka yang bersangkutan hilang
haknya untuk memutus kontrak yang bersangkutan. Akan tetapi yang hilang
hanyalah hak untuk memutuskan kontrak. Karena, dalam ilmu hukum kontrak
diterima prinsip bahwa sungguhpun pihak yang dirugikan karena wanprestasi telah
melepaskan haknya untuk memutuskan kontrak yang bersangkutan, tetapi dia tetap
berhak untuk menerima ganti rugi jika dia memang menderita kerugian akibat
wanprestasi dari pihak lainnya itu.
Pada
prinsipnya, pengesampingan hak untuk memutuskan suatu kontrak oleh pihak yang dirugikan
oleh adanya tindakan wanprestasi dapat dilakukan dengan dua jalan sebagai
berikut;
- Dilakukan secara tegas.
Dalam hal ini pihak yang berhak memutuskan kontrak
tersebut menyatakan dengan tegas bahwa dia telah mengesampingkan haknya untuk
memutuskan kontrak.
- Dilakukan dengan tindakan
Akan tetapi yang lebih sering terjadi adalah bahwa pihak
yang berhak memutuskan suatu kontrak tidak menyatakan pengesampingan secara
tegas, melainkan dapat disimpulkan dari tindakan-tindakan yang dilakukannya.
Misalnya dia masih bersedia bahkan menggunakan barang yang dikirimkan oleh
pihak pembeli, sungguhpun barang tersebut tidak seperti yang diperjanjikan,
atau terlambat mengirimnya.
Pemutusan
kontrak tidak terlambat dilakukan
Pemutusan
kontrak oleh pihak yang dirugikan karena pihak lain telah melakukan wanprestasi
haruslah dilakukan dalam waktu yang pantas (reasonable time). Hal ini
untuk memberikan kepastian bagi pihak yang telah melakukan wanprestasi untuk
meneruskan atau tidak wanprestasi yang belum sempat dilaksanakannya. Apabila
selama jangka waktu yang wajar terhadap pemutusan kontrak tidak digunakan untuk
memutuskan kontrak yang bersangkutan, mana dia telah “terlambat” memutuskan
kontraknya atas dasar bahwa dia telah “menerima” atau “mentoleransi” atas tindakan
yang mengandung unsur wanprestasi tersebut, sehingga dia tidak dapat lagi
memutuskan kontrak yang bersangkutan.
Wanprestasi
disertai dengan unsur kesalahan
Apakah
unsur kesalahan disyaratkan agar pihak lainnya dalam kontrak dapat memutuskan
kontrak, atau memperoleh hak untuk menerima ganti rugi. Untuk itu, ada berbagai
variasi sistem hukum di satu negara dengan negara lain.
Dalam
sistem hukum Prancis misalnya, di sana berlaku ketentuan bahwa pada prinsipnya
unsur kesalahan diperlukan untuk dapat diputuskannya suatu kontrak atau dibayar
suatu ganti rugi. Prinsip persyaratan unsur kesalahan ini dalam Hukum Prancis
terdapat beberapa perkecualian.
Dalam
Hukum Prancisi, relevansi dari elemen “kesalahan” dalam hal terminasi kontrak
atau pemberian ganti rugi terwujud dalam dua bentuk sebagai berikut:
a.
Jika
unsur “kesalahan” diperlukan untuk memberikan ganti rugi, maka unsur
“kesalahan” tersebut juga diperlukan untuk menggunakan hak dari pihak yang
dirugikah untuk dapat memutuskan kontrak.
b.
Pada
prinsipnya pemutusan kontrak merupakan “discresi” dari pengadilan. Karena itu
dalam kewenangan discresi tersebut, pihak pengadilan akan mempertimbangkan bisa
atau tidaknya suatu kontrak diputuskan, salah satu faktor yang dipertimbangkan
adalah sejauh mana seriusnya kesalahan dari pihak yang melakukan wanprestasi.
Pada
prinsipnya KUH Perdata tidak mensyaratkan eksistensi unsur “kesalahan” agar
suatu kontrak dapat diputuskan oleh pihak yang dirugikan atau agar dapat
dituntutnya suatu pembayaran ganti rugi. Akan tetapi berdasarkan Pasal 1266 KUH
Perdata yang melibatkan pengadilan untuk memutuskan kontrak timbal balik, maka
penggunaan diskresi pengadilan untuk memutuskan kontrak tersebut juga antara
lain akan menggunakan faktor “kesalahan” pihak pelaku wanprestasi untuk dapat
menentukan apakah kontrak tersebut dapat diputus atau tidak.
Dengan
demikian, menurut sistem KUH Perdata Indonesia, maka pada prinsipnya asal ada
kewajiban yang tidak dilaksanakan tersebut cukup material (material breach),
maka suatu kontrak sudah dapat diputuskan dan ganti rugi sudah dapat
dimintakan. Asal saja ketidakterlaksanaan kewajiban tersebut bukan karena
hal-hal yang bersifat Force Majeure, yang untuk ini tidak diatur oleh
hukum yang mengatur tentang wanprestasi, tetapi sudah merupakan wilayah hukum
yang lain, yakni hukum yang mengatur tentang Force Majeure dan tentang
“resiko”.
Komentar
Posting Komentar