Prinsip Dasar Restorative Justice
Ada tiga prinsip
dasar untuk membentuk restorative
justice, yaitu there be a restoration
to those who have been injured, the offender has an opportunity to be involved
in the restoration if they desire and the court system’s role is to preserve
the public order and the community’s role is to preserve a just peace.[1]
Dengan demikian kata kunci ketiga
prinsip dasar restorative justice tersebut adalah; (1) terjadi pemulihan kepada
mereka yang menderita kerugian akibat kejahatan; (2) pelaku memiliki kesempatan
untuk terlibat dalam pe-mulihan keadaan (restorasi); dan (3) pengadilan
berperan untuk menjaga ketertiban umum dan masyarakat berperan untuk melestarikan
perdamaian yang adil.
Keadilan dalam restorative justice mengharuskan untuk
adanya upaya memulihkan/mengembalikan kerugian atau akibat yang ditimbulkan
oleh tindak pidana, dan pelaku dalam hal ini diberi kesempatan untuk dilibatkan
dalam upaya pemulihan tersebut, semua itu dalam rangka memelihara ketertiban
masyarakat dan memelihara perdamaian yang adil. Dengan kata lain ketiga prinsip
tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut;
Pertama,
justice requires that we work to restore those who
have been injured; kedua, those most
directly in volved and affecttted by crime should have the opportunity to
participate fully in the response if they wish; dan ketiga, government’s role
is to preserve a just public order, and the community’s is to build and maintain
a just peace.
Justice Peace dalam
restorative justice ditempuh dengan restorative conferencing yaitu
mempertemukan antara pelaku - korban dan masyarakat untuk mencari atau memutuskan
cara yang terbaik mengatasi dampak atau akibat dari kejahatan (decide how best to repair the harm).
Selain itu
pertemuan (conferencing) juga
dimaksudkan untuk: memberi kesempatan kepada korban untuk menghadapi pelaku guna
mengungkapkan perasaannya, menanyakan sesuatu dan menyampaikan keinginannya;
pelaku dapat mendengar langsung bagaimana perilakunya atau perbuatannya telah
menimbulkan dampak/kerugian pada orang lain; pelaku kemudian dapat meminta maaf
dengan memperbaiki kerusakan atau kerugian dari akibat perbuatannya,
memperbaiki kesalahan dan menyetujui ganti rugi keuangan atau melakukan
pekerjaan pelayanan.[2]
Liebmann secara
sederhana mengartikan restorative justice sebagai suatu sistem
hukum yang bertujuan untuk mengembalikan
kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan
untuk mencegah pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut. (Marian
Liebmann, 2007: 25).[3]
Pada dasarnya terdapat banyak definisi dari restorative
justice. Namun demikian, berdasarkan hasil studi empiris yang telah
dilakukan oleh pakar, masih terdapat banyak perdebatan tentang bentuk ideal
dari restorative justice sebagai wadah mediasi antara korban dan pelaku
yang menekankan kepentingan korban dari pada yang lain.
Liebmann
juga memberikan rumusan prinsip dasar restorative justice sebagai
berikut:
- Meprioritaskan dukungan dan penyembuhan korban;
- Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan;
- Dialog antara korban dengan pelaku untuk mencapai pemahaman;
- Ada upaya untuk meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan;
- Pelaku pelanggar harus sadar tentang bagaimana cara menghindari kejahatan di masa depan;
- Masyarakat turut membantu dalam mengintegrasikan dua belah pihak, baik korban maupun pelaku.
Sedangkan
proses dari restorative justice dapat dilakukan dengan cara mediasi
antara pelaku dan korban, reparasi (pelaku membetulkan kembali segala hal yang
dirusak), konferensi korban-pelaku (yang melibatkan keluarga dari kedua belah
pihak dan tokoh pemuka dalam masyarakat), dan victim awareness work (suatu
usaha dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari perbuatannya).
Memahami restorative justice pastinya akan
menemukan semangat lebih pada penyelesaian masalah antara para pihak dalam
hubungan sosial dari pada mengedepankan penerapan aturan/hukum yang
menghadapkan pelaku dengan aparat pemerintah. Adapun semangat yang terkandung
di dalamnya meliputi: search solutions (mencari
solusi); repair (memperbaiki); reconciliation (perdamaian); dan the rebuilding
of relationships (membangun kembali hubungan).
Semangat restorative justice itu kemudian
memunculkan standar program sebagai berikut.[4]
Pertama, encounter, yaitu menciptakan peluang bagi korban, pelaku dan
anggota masyarakat yang ingin melakukannya untuk bertemu membicarakan tindak
pidana dan bagaimana sesudahnya; kedua
amends, yaitu mengharapkan pelaku untuk mengambil langkah-langkah guna
memperbaiki kerugian yang telah disebabkannya termasuk pemberian ganti rugi; ketiga, reintegration, yaitu baik korban mau pun pelaku sama-sama dipulihkan/disembuhkan/diperbaiki, serta
berkontribusi sebagai anggota masyarakat; keempat,
inclusion, yaitu memberi kesempatan kepada para pihak yang terkait dengan
tindak pidana (all stakeholders)
dapat berpartisipasi dalam mencari pemecahan masalah.
Dibanding dengan
pengadilan retributive yang bersifat
menghukum, restorative justice
mempunyai perbedaan dalam pertanyaan dasar sebagai berikut. Retributive Justice (our cur-rent justice
system) asks: What laws have been broken? (Hukum apa yang telah dilanggar); Who did it? (Siapa yang melakukannya); What do they deserve? (Apa yang
pantas/selayaknya mereka terima). Restorative justice requires that we (community) ask: Who has been hurt? (Siapa yang telah
disakiti/terluka/dirugikan); What do they
need? (Apa yang mereka butuhkan); Who
has the obligation and responsibility to
address this hurt and meet these needs?
(Siapa yang memiliki kewajiban dan tanggung-jawab terhadap pemulihan
kerugian dan pe-menuhan kebutuhan tersebut); What can we as a community do
to make sure this does not happen again? (Apa yang dapat kita lakukan
sebagai anggota masyarakat untuk meyakinkan bahwa hal tersebut tidak terjadi
lagi).
Braithwaite
mengemukakan konsep Shaming and
Reintegration atau reintegrative
shaming adalah aspek inti dari teori
restorative justice yaitu kaitan dengan pelaku untuk membantu korban dan anggota masyarakat lain dalam
pertanggungjawaban mereka atas perilaku yang tidak bisa diterima. Reintegrative shaming dimana pelaku
menerima tanggung jawab atas tindakan
mereka (malu) dan berusaha untuk menebus kesalahan (reintegrasi) kepada korban
dan terkadang masyarakat.[5]
Cara yang ditempuh
dalam peradilan restoratif jelas kontras dengan penanganan tindak pidana yang
selama ini dilakukan, sebagai dikemukakan oleh Morris sebagai berikut:
This process is in
stark contrast to the established way of addressing crime which are seen as
offences committed against the State, rather than on the ac-tual victim and
community where it oc-curred.[6]
Restorative justice lebih
memposisikan para pihak secara
bersama-sama daripada menempatkan mereka terpisah, lebih menjalin kembali
hubungan/harmoni daripada memecah belah, lebih berupaya menciptakan keutuhan
daripada terpecah belah. Pendekatan pemecahan masalahnya bertujuan untuk
menyatukan dan menggabungkan pandangan dari semua individu atau kelompok yang
memiliki kepentingan dalam tindak pidana itu, apakah ini merupakan masalah
kesejahteraan atau masalah kriminal. Kebijakan dan prinsip panduan yang
mengikuti dalam restorative justice
harus dilihat tidak secara linear atau hirarkis (yang merupakan cara dari
sistem modern) melainkan sebagai kesatuan dari bagian yang saling berhubungan.
Table 1 Konsep Kebijakan dan Prinsip
paduan dalam restorative justice
[1] From
Wikipedia, the free encyclopedia http://en.wiki-pedia.org/wiki/Restorative_justice
[2] O'Connell,
1998 & Morris and Max-well, 2001, Restorative
or Community Conferencing, The IIRP, hal.17
[3] Liebmann,
Marian. Restorative Justice: How It Works. London: Jessica Kingsley
Publisher, 2007.
[4] Lihat
pula http://en.wikipedia.org/wiki/Restorative _justice. Create
opportunities for victims, offenders and community members who want to do so to
meet to discuss the crime and its aftermath; Expect offenders to take steps to
repair the harm they have caused including restitution; that both victims and
offenders are restored to whole, contributing members of socie-ty; Provide
opportunities for parties/that all stakehol-ders in a crime can participate in
its resolution.
[5] Braithwaite
dalam Darrell Fox, “Social Welfare And Restorative Justice”, Journal Kriminologija i Socijalna Integracija Year 2009 Vol 17 Issue 1
Pagesrecord No. 55-68, London
Metropolitan University Department of Applied Social Sciences, London, hal. 57
[6] Morris dalam Darrell Fox, op.cit.
Komentar
Posting Komentar