Predeterminis Sistem Perkaderan Berbasis Qualia Iptek Kader
HMI
ada karena qualia intelektual,
HMI
ada karena Visioner Pemikiran,
Demi
masa, HMI adalah Predeterminis masa depan bangsa
Dan,
Demi
Masa, Bukan HMI jika tak predeterminis dalam meneropong masa depan bangsa,
Demi
masa, Bukan HMI jika qualia kader sama dengan seonggok sampah.
HMI yang sudah memproklamirkan fungsinya sebagai
organisasi kader, mau tidak mau menjadikan perkaderan sebagai jantung kehidupan
organisasinya. Namun sebetulnya asp-ek perkaderan di HMI mulai dibenahi
secara serius pada akhir tahun 50-an dimana HMI sudah bertahun-tahun
menjalankan peranannya, jadi perkaderan di HMI tidak lahir berbarengan dengan
kelahiran HMI itu sendiri, melainkan lahir seiring proses waktu dan perubahan
zaman.
Awalnya hal itu baru mulai
terpikirkan oleh para kader (PB HMI) ketika masa kepengurusan Ismail Hasan
Metareum (periode 1957-1960), dan masih berupa wacana-wacana yang digulirkan
oleh PB HMI sendiri. Ismail Hasan yang merupakan penggagas utama ide perkaderan
formal di HMI menginginkan agar HMI tidak menjadi tempat berkumpul orang yang punya
kesamaan hoby atau aktivitas saja, tapi menjadi second campus bagi
para anggotanya. Selain itu, yang menjadi faktor penting pendorong gagasan
diadakannya perkaderan formal di HMI adalah karena waktu itu Ismail Hasan
melihat adanya perbedaan aliran pemikiran dalam dinamika pergerakan aktivitas
HMI, dimana ada anggotanya yang punya background lingkungan pesantren da nada
juga cenderung sekuler.[1]
Berawal dari itulah sampai
hingga saat ini kita merasakan sebuah sistem perkaderan meskipun dalam masa ke
masa sistem perkaderan menggunakan metodologi yang berbeda. Tetapi di era
kekinian, seakan HMI tidak lagi mampu melahirkan motodologi perkaderan modern
dan tidak terkikis oleh zaman melainkan terlahir sinkronisasi antara sistem
perkaderan HMI dan perkembangan zaman.
Hal ini terbukti banyaknya
degradasi nilai kader hingga yang sangat miris adalah tradisi intelektual HMI
yang memudar. Sejatinya kader-kader HMI adalah pewaris tradisi intelektual.
Namun dewasa ini kegiatan-kegiatan keilmuan di HMI sangat minim sekali. Padahal
dahulunya tradisi intelektual HMI merupakan salah satu andalan yang menjadi
nilai lebih dan nilai jual HMI serta kader-kadernya ditengah masyarakat dan
mahasiswa. Hal ini menyebabkan mahasiswa cerdas dan pintar jarang mau masuk HMI
karena mereka melihat tradisi intelektual di HMI tidak mendukung kebutuhannya
sehingga mereka memutuskan untuk aktif di organisasi lain yang dapat mendukung
pengembangan intelektual mereka.[2]
Dalam situasi seperti inilah
seharusnya HMI mampu melakukan satu upaya introspeksi diri di dalam menatap
sistem perkaderannya. Sebab dengan persinggungan dengan kekuasaan menyebabkan
HMI kehilangan indenpendensi dan roh, HMI seringkali melibatkan diri dalam
peran-peran yang tidak populis, karena keterlibatannya hanya sebatas makelar
politik bagi kepentingan kekuasaan. Prinsipnya, HMI tidak lagi seksi di dalam
medorong ide-ide yang kontekstual bagi kepentingan ummat, namun HMI justru
terjebak dalam bingkai kekuasaan. Sehingga dari ini HMI menuai kritik dan
terpinggirkan dari peran gerakannya bahkan HMI disinyalir terpuruk dari moment
arus globalisasi dan modernisasi. Tradisi intelektualisme yang menjadi ranah
‘khittah perjuangan’ HMI yang di bangun dari dasar Nilai-Nilai Dasar Perjuangan
(NDP) malah juga praktis kehilangan pengaruh.[3]
Sehingga
Perkaderan HMI di masa datang harus benar-benar berkualitas. Dalam bahasa yang
cukup menggugah, yakni bagaimana kita senantiasa Mengembangkan Perkaderan, dan Membangun Peradaban. Kualitas perkaderan itu sangat ditentukan
oleh kemampuan kita untuk menjauhkan diri dari formalisme perkaderan. Karena
perkaderan formalisme akan menggiring dinamika perkaderan HMI sekedar menjadi
pertrainingan.
Bagi
HMI, sekedar pertrainingan adalah reduksi yang sangat berbahaya bagi totalitas
perkaderan HMI yang sesungguhnya. Perkaderan formal penting sebagai sarana
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan administratif struktural yang bersifat
formal, serta kerangka-kerangka dasar yang harus dikembangkan lebih lanjut.
Sementara perkaderan non-formal dan informal adalah medan yang lebih luas untuk
proses penempaan kualitas kader-kader. Intelektualitas, profesionalitas,
loyalitas, religiusitas dan integritas para kader diasah lebih tajam dalam
perkaderan yang non formal dan informal. seperti up-grading, follow
up, diskusi, seminar, riset dan sebagainya. Agenda lainnya adalah
meningkatnya kuantitas dan kualitas pelaksanaan LK II, LK III dan pusdiklat,
sehingga produk dari rekruitmen dapat terserap dan dikembangkan kualitasnya
secara maksimal. Dalam rangka peningkatan kualitas perkaderan (formal), maka
pemahaman segenap pelaku training terhadap pedoman perkaderan perlu
ditingkatkan. Selain itu, kualitas instruktur dan pengelola training wajib
diperhatikan, misalnya dengan memperbanyak pelaksanaan Sekolah Pengelola
Latihan dan Sekolah Instruktur.
Dari
pendalaman sistem perkaderan ini, secara tidak langsung Mindset dan paradigma
berpikir kader HMI akan mampu meretas krisis intelektual kader yang terjadi dalam
tubuh internal perkaderan HMI sehingga secara ekstra organisasi yang dimana
kader HMI yang juga merupakan mahasiswa sebagai warga masyarakat yang sedang
menempuh proses pendidikan tertinggi, maka dengan sendirinya mahasiswa
dipandang sebagai kaum intelektual. Didalam golongan kaum cendekiawan itu
sendiri, mahasiswa dianggap sebagai pihak yang sedang mempersiapkan diri untuk
menjadi warga intelektual yang sepenuhnya.[4]
Sistem
perkaderan ini sebenarnya acak kali menjadi bahan perdebatan dalam berbagai
ruang-ruang dialektika hingga konstestasi politik HMI, tetapi hingga saat ini
belum ada solusi konkret PB HMI dalam menghadirkan regulasi sistem perkaderan
yang kontektual ditengah ketatnya persaingan SDM Negara-negara Asean yang
melalui Asean Community 2015 pada bulan desember 2015 arus deras neoliberalism
akan menghantam Indonesia. Hal inilah yang menjadi kemunduran intelektual dan
pemikiran kader HMI ditengah era globalisasi yang menyebabkan HMI terperangkap
dalam ruang-ruang konflik struktural internal organisasi. Padahal diluar
diding-dinding realitas internal, modernisasi IPTEK global terus berkembang dan
melalui Asean Community menjadikan daya saing SDM akan semakin ketat. Sehingga,
jika sistem perkaderan HMI pada kongres XXIX PB HMI 2015 tidak menjadi agitasi,
hegemoni dan bahan diskursus untuk dilakukan pembaharuan yang kontektual dengan
perkembangan zaman, maka HMI tidak akan mampu melahirkan kader HMI yang
memiliki daya competitiveness dalam menghadapi Asean global impact.
Melalui
kongres XXIX PB HMI 2015 menjadi sebuah gagasan Poros kebangkitan menjadikan
pembaharuan sistem perkaderan sebagai blueprint
project untuk menjadi prioritas program PB HMI kedepannya. Meskipun gagasan
ini pastinya akan menghadirkan diskursus dinamis dikarenakan Status Quo mempertahankan dan atau
pembaharuan sistem perkaderan yang telah ada, tetapi menurut penulis hanya
dengan cara inilah HMI mampu bangkit melawan derasnya arus neoliberalism dan
sekiranya Prof.Dr.Nurcholish Madjid telah mewarisi kepada kita buah pemikiran
visioner akan keislaman melalui Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP), sehingga
dengan spirit keislaman kader HMI mampu memposisikan diri dalam dinamika bangsa
yang semakin kompleks dengan cara mentransformasikan nilai-nilai keislaman
dalam setiap ikhtiar kader.
[1] Agussalim
Sitompul, Histiografi HMI 1947-1993 Jakarta, Miska Galiza,
2008. Cet.I, Hlm.152
[2] Agussalim
Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI , Suatu Kritik dan Koreksi untuk
Kebangkitan Kembali HMI (50 tahun pertama HMI 1947-1997) , (Jakarta,
Misaka Galiza, 2005). Cet.I, Hlm.55
[3] Saifudin al
Mughniy, Pembangkangan Civil Soceity “manifestasi politik kaum pinggiran”
(Makassar, Kalam Nusantara, 2010) Cet.I, Hlm.120
[4] Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa Antra
Moral dan Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) Hal 46
Komentar
Posting Komentar