Pidana Mati
Bentuk
pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang
yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini juga merupakan hukuman tertua dan paling
kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan
dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah
tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti
oleh umum.[1]
Berdasarkan
sejarah pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang relatif baru di Indonesia.
Pidana ini telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hal ini dapat dibuktkan
dengan memperhatikan jenis-jenis pidana menurut hukum adat atau huum para raja
dahulu, umpamanya :
a.
mencuri
dihukum potong tangan ;
b.
pidana
mati dilakukan dengan jalan memotong-motong daging dari badan (sayab), kepala
ditumbuk (sroh), dipenggal dan kemudian kepalanya ditusuk dengan gantar
(tanjir), dan sebagainya.[2]
Pelaksanaan eksekusi mati di wilayah
Indonesia tidak hanya terpatok pada keterangan di atas. Misalnya, di Aceh
eksekusi bisa dilaksanakan dengan lembing, di Bali dapat dilaksanakan dengan
cara ditenggelamkan ke laut,sedangkan pada suku batak dilaksanakan dengan
sistem alternatif dimana apabila pembunuh tidak membayar uang salah maka
eksekusi bisa dilaksanakan, dan berbagai macam jenis-jenis eksekusi mati
lainnya. Dengan memperhatikan kebiasaaan (adat) dan hukum adat dari Aceh sampai
Irian memperlihatkan kepada kita pidana mati dikenal oleh semua suku di
Indonesia. Hingga penulis menarik kesimpulan bahwa bukan Belanda lah yang
memperkenalkan pidana mati pada bangsa ini.
Penerapan hukum pidana oleh pemerintah
Belanda di wilayah Indonesia diberlakukan berdasarkan pemberlakuan “Wet boek van Strafrecht” yang mulai berlaku pada 1 Januari 1918.
Pada ketentuan ini, pidana mati ditetapkan sebagai salah satu jenis pidana
pokok yang tertuang dalam pasal 10. Pelaksanaan eksekusi pidana mati dilakukan
dengan hukuman gantung sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP. Kemudian dengan Staatsblad 1945 Nomor123 yang
dikeluarkan oleh pemerintah Belanda, pidana mati dijatuhkan dengan cara
ditembak mati. Hal ini diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964
tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38 kemudian ditetapkan menjadi
Undang-undang nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan
cara menembak mati terpidana. Dalam hal ini eksekusi harus dihadiri Jaksa
(Kepala Kejaksaan Negeri) sebagai eksekutor dan secara tekhnis pelaksaan
eksekusi dilakukan oleh regu tembak kepolisian.
Patut diketahui bahwa pelaksanaan
eksekusi terhadap terpidana mati haruslah dilaksanakan setelah putusan
pengadilan yang dijatuhkan padanya berkekuatan hukum tetap dan kepada si
terpidana telah diberikan kesempatan untuk mengajukan grasi kepada Presiden.
Pelaksanaan eksekusi dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui fiat executie (persetujuan Presiden).
Maka jelaslah disini bahwa pidana mati
pada dasarnya dan seharusnya dijadikan sebagai sarana penal yang terakhir dan hanya dapat dipergunakan terhadap
orang-orang yang tidak dapat dilakukan pembinaan lagi dan dirasakan
membahayakan kehidupan masyarakat luas bahkan negara sekalipun
Mengenai korelasi pidana penjara secara
normatif tidak ada kaitanya sama sekali, hanya saja pidana mati dipergunakan
sebagai sarana bagi Negara untuk merampas kemerdekaan terpidana menjelang
dilaksanakan eksekusi agar ia tidak melarikan diri. Berdasarkan hal tersebut,
timbulah permasalahan dimana sarana pidana penjara seolah dijatuhkan Negara
sebagai bentuk hukuman tambahan terhadap
terpidana mati. Dikatakan demikian karena kecendrungan yang terjadi di negeri
kita pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana berlangsung dalam waktu yang
relatif lama. Maka di Negara ini seolah-olah sebagian besar terpidana mati
menjalani dua bentuk hukuman sekaligus, yaitu dengan diawali pidana penjara
terlebih dahulu, lalu barulah dilaksanakan pidana yang sesungguhnya dijatuhkan
padanya yaitu pidana mati.
Permasalahan ini menyebabkan semakin
kompleksnya problematika pada pidana mati. Kini topik pemberitaan seolah-olah
bergeser menyangkut problematika penundaan eksekusi pidana mati.[3]
Oleh beberapa alasan yang penulis sebutkan tersebutlah suatu pro dan kontra
terhadap eksistensi mengenai lembaga pidana mati.
Komentar
Posting Komentar