Perspektif Restorative Justice Dalam Peradilan di Indonesia



Eksistensi proses restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana sangat ditentukan oleh kesadaran dan pengetahuan masyarakat itu sendiri, termasuk aparat penegak hukumnya. Pemahaman peradilan yang hanya mengedepankan penerapan aturan membuktikan kesalahan pelaku dan lalu menghukumnya tidak akan bisa menerima konsep ini. Baginya peradilan adalah hak negara untuk mengenakan sanksi kepada warganya yang telah melanggar aturan. Penjeraan dan atau rehabilitasi menjadi faktor yang sangat populis di dalamnya, perhatian peradilan didominasi oleh kepentingan pelaku, masyarakat dan negara.
Restorative justice lebih pada penyelesaian masalah antara para pihak dalam hubungan sosial dari pada menghadapkan pelaku dengan aparat pemerintah. Falsafah just peace principle diintegrasikan dengan the process of meeting, discussing and actively participating in the resolution of the criminal matter. Integrasi pelaku di satu sisi dan korban, masyarakat di lain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat.
Perubahan paradigma berpikir ini perlu di dukung dengan kebijakan legislasi nasional serta pemahaman perkembangan keilmuan di dunia peradilan. Di Brasil model penyelesaian dengan restorative ini dibangun melalui pendidikan sosial (sosial-pedagogis).[1] Artinya bahwa model ‘restorative circles’ dibangun dari social-pedagogical point of view atau melalui pandangan edukasi sosial bahwa sebab dan akibat masalah kejahatan adalah sebagai persoalan sosial.
Laporan Kongres PBB ke-11 di Bangkok-Thailand (Report of the Eleventh United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice Bangkok, 18-25 April 2005), merumuskan bahwa,
there was general agreement on the need for innovative approaches in the administration of justice, including the use of alternatives to imprisonment for minor offences, especially by first time offenders, juvenile offenders and drug abusers, the use of restorative justice, including mediation and conciliation, and the need to take into consideration the rights of victims, in particular those of women and children.

Kongres PBB ke-12 di Brasil, Report of the Twelfth United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice Salvador, Bra-zil, 12-19 April 2010, juga merekomendasikan negara anggota untuk mengevaluasi dan mengadakan pembaharuan kebijakan peradilan pida-nanya dengan pengembangan strategi komprehensif, mengurangi penggunaan sanksi penjara, dan meningkatkan penggunaan alternatif lain selain penjara termasuk program restorative justice.
Dunia internasional telah memberi guidelines on criminal Justice tentang strategi pendekatan inovasi, komprehensif dan integral dengan meningkatkan penggunaan program peradilan restoratif. Evaluasi untuk mendesain kembali pelaksanaan peradilan yang lebih efektif perlu di lakukan di Indonesia, dan Kongres PBB cukup menjadi salah satu aspirasi untuk membangun atau mengupdate/reform kebijakan peradilan ke arah model restorative justice.
Dalam kebijakan nasional ada Pancasila yang merupakan core philosopy bangsa. Sebagai core philosopy Pancasila dengan begitu merupakan sumber nilai bagi adanya sistem hukum di Indonesia.[2] Dalam sila ke-4 Pancasila: Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan terkandung falsafah permusyawaratan atau musyawarah, makna yang terkandung adalah: mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, dan menghormati setiap keputusan musyawarah, keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
Sila ke-4 Pancasila ini mengajarkan kepada kita untuk menentukan sebuah pilihan melalui cara musyawarah. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan, sehingga kalau di breakdown falsafah “musyawarah” mengandung 5 (lima) prinsip sebagai berikut;
Pertama, conferencing (bertemu untuk saling mendengar dan mengungkapkan keinginan);
kedua, search solutions (mencari solusi atau titik temu atas masalah yang sedang dihadapi);
ketiga, reconciliation (berdamai dengan tanggungjawab masing-masing);
keempat, repair (memperbaiki atas semua akibat yang timbul);
dan kelima, circles (saling menunjang).
Prinsip-prinsip ini persis seperti yang di butuhkan dan menjadi kata kunci dalam restorative justice, sehingga secara ketatanegaraan restorative justice menemukan dasar pijakannya dalam falsafah sila ke-4 Pancasila.[3]
Dasar pijakan itu kalau diimplementasikan dalam pola penyelesaian perkara pidana mengandung prinsip yang disebut dengan istilah VOC (Victim Offender Conferencing). Target dalam pertemuan VOC (Victim Offender Conferencing) adalah mediasi atau VOM (Victim-Offender Mediation), yaitu kesempatan untuk berdamai dan saling menyepakati perbaikan. Tujuannya adalah untuk menangani kejahatan sebagai konflik yang harus diselesaikan antara orang terkena dampak langsung bukan sebagai konflik antara negara dan terdakwa.
Umbreit dan Coates menyatakan bahwa tujuan penyelesaian perkara dengan VOM adalah to humanize the justice system.19 Pendekatan dikatakan lebih humanis karena berusaha mengeliminir beberapa masalah, diantaranya sebagai berikut;
1.  tidak lagi mengasingkan hubungan dengan korban pasca proses peradilan ke tempat sekunder sehingga konsekuensi kejahatan yang dialaminya seolah tidak diperhatikan. Di sisi lain masuknya para pihak dalam menyelesaikan masalah adalah significant part dan menjadi ciri khas model restoratif.
2.  Secara efektif bertanggung jawab kepada korban atas pemulihan kerugian material dan moral dan menyediakan berbagai kesempatan untuk dialog, negosiasi, dan resolusi masalah.
3.  Memberi rasa hormat terhadap martabat manusia (the respect for human dignity), karena peradilan restoratif tidak terpisah dari model perlindungan hak asasi manusia bahkan mereka berdua mencari kebaikan bersama (they both seek a common good).
Ada perubahan paradigma mendasar atau redifinisi yang harus dilakukan, yaitu cara kita memandang kejahatan hakikatnya sebagai masalah kemanusiaan sehingga tidak melakukan pendekatan formalitas yang berlebihan (excessive formality) dan hanya mencari kesalahan seseorang, akan tetapi berpikir untuk memecahkan situasi/masalah, dan harus menyentuh sampai pada konteksnya, dengan begitu respons kejahatan mestinya mencari solusi problema hubungan kemanusiaan tadi (care for real people and relationships). Paradigma ini menggeser anggapan selama ini dari kejahatan sebagai masalah negara menjadi kejahatan sebagai masalah perorangan, oleh karena itu keadilan yang diperjuangkan adalah yang mampu menjawab apa yang senyatanya dibutuhkan korban, pelaku dan masyarakat (experienced within a context). Keadilan yang demikian dikatakan sebagai experiencing justice.
Kaidah musyawarah (sila ke-4 Pancasila) dengan prinsip musyawarah untuk mufakat yang diliputi semangat kekeluargaan mengandung esensi experiencing justice. Hal ini sejalan dengan pemikiran yang dikemukakan oleh Jarem Sawatsky pengkaji restorative justice yang bekerja di the Institute for Justice and Peace building at Eastern Mennonite University in Virginia sebagai berikut:
Needs of victims, offenders and commu-nities are central for Restorative Justice. Justice is about participation. This has a huge implication for justice. If needs are central then justice is always ad hoc. Justice must respond and be experienced within a context. That means justice will look different and be arrived at differently dependent on the needs, the culture, the history, the future, and the people involved.[4]

Menurut Jaccould redifinisi kejahatan kaitannya dengan restorative justice tidak dilihat sesuatu yang general/umum atau standar akan tetapi bagaimana dampak kejahatan itu dan dialog yang terjadi sesudahnya (Crime is no longer conceived as a violation against the state or as a transgression against a legal standard, but as an event that causes harm and consequences. Focusing on the possible solu-tion of the problem through a dialogue bet-ween the parties.[5]
 


Redifinisi kejahatan untuk restoratif justice menjadi penting mengingat dalam KUHP dan KUHAP orientasi kejahatan dirumuskan sebagai perbuatan terlarang yang diatur dalam UU dan diancam pidana bagi mereka yang melanggar larangan tersebut (Pasal 1 ayat (1) KUHP). Proses penyidikan dirumuskan sebagai rangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka (2) KUHAP). Putusan pengadilan sebagai pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan dapat berupa pemidanaan, bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 1 angka (11) KUHAP).
Morris menyatakan bahwa tanggapan terhadap kejahatan yang demikian dianggap sebagai peradilan dengan sistem konvensional yang memandang keadilan terutama secara eksklusif sebagai pelanggaran terhadap kepen-tingan negara (state law), dan tanggapan terhadap pelanggaran tersebut dirumuskan oleh para profesional yang mewakili negara.22
Perbedaan mendasar restorative justice dengan peradilan menurut hukum acara KUHAP antara lain:
Peradilan KUHP
Peradilan Restorative
1.  Mendasar pada kejahatan yang dilakukan;
2.  Menempatkan korban dalam kedudukan yang sentral;
3.  Tujuannya berpusat pada gagasan bagaimana menghukum yang bersalah dengan adil;
4.  Retributive Justice;
5.  Result in prison for the accused;
6.  Ditentukan oleh professional hukum
1.  Menunjuk pada kekeliruan (eror) yang disebabkan karena pelanggaran;
2.  Menempatkan korban pada posisi yang sekunder;
3.  Dasar tujuannya memberikan kepuasan yang dialami para pihak yang terlibat dalam pelanggaran;


4.  Restorative Justice
5.  Dialogue, negotiation, and resolution;
6.  Ditentukan oleh para pihak dalam conferencing

Kongres PBB ke XI di Bangkok, 18-25 April 2005 on Crime Prevention and Criminal Justice mengambil tema pokok upaya “responsif dan sinergis” dengan strategi yang kombinatif dalam cara-cara pencegahan kejahatan dan peradilan pidana (the main theme of the Eleventh Congress would be “Synergies and responses: strategic alliances in crime prevention and criminal justice”).23 Sejalan dengan itu pula perlu kiranya kebijakan peradilan pidana Indonesia mengambil langkah-langkah responsif, sinergis dan kombinatif yaitu selain cara-cara peradilan berdasar KUHAP, ditempuh pula peradilan restorative justice.

[1] Hasil penelitian Bolívar, D., Brancher, L., Navarro, I., Vega, M. (2010) Restorative Justice in Latin America: Reflections from three countries. Paper presented at Expert Seminar ‘Conferencing: A Way Forward for Res-torative Justice in Europe’. Leuven: European Forum for Restorative Justice.
[2] Prayitno, Kuat Puji, 2007, Pancasila Sebagai Bintang Pemandu (Leitstern) dalam Pembinaan Lembaga dan Pranata Hukum di Indonesia, Jurnal Media Hukum, Akreditasi: No. 26/DIKTI/Kep/2005 Vo. 14 No. 3, Yogya-karta, hlm. 152
[3] Sila kerakyatan yang bermakna prinsip demokrasi ini kalau diimpementasikan dalam pola penyelesaian perkara dengan restorative justice bisa disamakan dengan istilah Pinto sebagai “Participative democracy in Restorative Justice” di mana korban, pelaku, dan masyarakat berperan penting dalam proses pengam-bilan keputusan,. Lihat Pinto, 2005, “Is Restorative Justice Possible in Brazil?” Dalam Daniel Achutti, 2011, “The Strangers in Criminal Procedure: Restorative Jus-tice as a Possibility to Overcome the Simplicity of the Modern Paradigm of Criminal Justice”, Journal: Oñati Socio-Legal Series, Vol. 1, No. 2, Brazil, hlm. 12

[4] Jarem Sawatsky, “Restorative value: Where Means And Ends Converge”, Restorative Justice Online Journal, Vol. IX, 2010, http://www.restorativejustice.org/arti-clesdb/articles/3681, Manitoba, Canada, hlm. 12
[5] Daniel Achutti, op.cit, hlm. 12

Komentar

Postingan Populer