Perkembangan Restorative Justice di Indonesia
Restorative Justice atau sering diterjemahkan sebagai
keadilan restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era
tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan
pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional, pendekatan ini
menitikberatkan adanya partisipasi langsung dari pelaku, korban dan masyarakat
dalam proses penyelesaian perkara pidana.
Dalam sistem
peradilan Indonesia, sistem keadilan restoratif merupakan suatu hal yang baru,
di samping sudah banyak masyarakat yang mengenal sistem diskresi yang dipakai
oleh petugas polisi di lapangan. Pemberian hukuman ataupun pemasukan pelaku ke
dalam lembaga pemasyarakatan dianggap masih cara yang ampuh untuk menangani dan
menimbulkan efek jera bagi masyarakat.
Faktanya banyak
terpidana atupun pelaku pelanggaran yang menjadi korban lagi dari sistem
peradilan pidana itu sendiri. Secara ekstrim dikatakan oleh Hulsman, The criminal justice system as a social
problem.[1] Kritik ini ditujukan pada penerapan sanksi
yang menyisakan penderitaan, masalah keluarga bagi pelaku dan stigma yang
muncul dalam masyarakat sebagai mantan narapidana.
Keadilan restoratif
dikatakan sebagai peace principle
yang mengingatkan bahwa keadilan dan perdamaian tidak bisa dipisahkan, tidak
seluruh tindak kejahatan dapat ditangani oleh sistem peradilan pidana dan
berakhir di penjara. Penjara bukanlah solusi baik dalam menyelesaikan masalah
kejahatan, khususnya dengan tindak kejahatan dimana kerusakan yang ditimbulkan
dari pelaku dan masyarakat masih bisa memperbaiki (me-restore) keadaan
tersebut seperti semula dan sekaligus menghilangkan dampak buruk dari penjara.
Lebih lanjut lagi,
sistem ini dapat mendorong pengembalian peran masyarakat sebagai penjaga dalam
berjalannya sistem nilai dan norma. Masyarakat dilibatkan secara aktif untuk
mengembalikan keadaan seperti semula sebelum tindak kejahatan terjadi.
Masyarakat termasuk ke dalam peran lembaga terkait dalam pelaksanaan restorative
justice. Masyarakat Indonesia yang cenderung plural dan memerlukan bantuan untuk
mengembalikan kondisi semula, cocok untuk diterapkan konsep keadilan restoratif
ini, sekaligus untuk menghindari konflik sosial yang muncul di kemudian hari
bila sebuah masalah pelanggaran kejahatan tidak memuaskan semua pihak apabila
diselesaikan di pengadilan. Masyarakat daan proses mediasi yang berjalan lebih
penting daripada proses yang dijalankan oleh sistem peradilan pidana (polisi,
jaksa dan pengadilan).
Kita masih
ingat kasus-kasus yang terjadi di negeri ini, contoh kasus yang menimpa nenek Rasminah
yang dihukum 130 hari penjara karena dituduh mencuri 6 piring, kemudian kasus
pengambilan 3 biji kakao senilai Rp 2.100 yang dilakukan oleh nenek Minah yang
harus dibawa ke pengadilan, saya tidak tahu apakah Polisi dan Jaksa kita
kekurangan pekerjaan. Begitu pula dengan kasus pencurian satu buah semangka, di
mana kedua tersangka disiksa dan ditahan Polisi selama 2 bulan dan terancam
hukuman 5 tahun penjara, belum lagi baru-baru ini kasus pencurian sandal yang
dilakukan oleh seorang siswa di kota Palu berinisial AAL harus berakhir di meja
hijau. Sebaliknya, untuk kasus hilangnya uang rakyat senilai Rp 6,7 trilyun di
Bank Century, Polisi dan Jaksa nyaris tidak ada geraknya. Hal ini yang kemudian
di nilai tidak memenuhi rasa keadilan. Ini juga menunjukkan kelemahan
penyelesaian perkara dalam sistem peradilan pidana.
Seharusnya
contoh kasus diatas, seperti pencurian piring yang dilakukan nenek Rasminah
tidak perlu sampai pengadilan. Pertemuan antara pelaku dan korban ataupun
antara keluarga pelaku dan korban dapat dilakukan sepanjang hal ini dapat di
fasilitasi oleh mediator. Demikian juga pada kasus perkosaan yang marak terjadi
akhir-akhir ini, meskipun bukan gambaran utuh dari penerapan restorative
justice baik pelaku dan korban, tetapi keluarga pelaku dan keluarga korban
dapat bertemu muka untuk sama-sama mencapai suatu kesepakatan, misalnya
menikahkan putra putrinya.
Dibutuhkan
suatu usaha sosialisasi dari pemerintah dan pejabat/pemangku kepentingan
tentang restorative justice kepada masyarakat luas, sebagai cara
alternatif (tetapi diutamakan) dalam penyelesaian masalah-masalah yang terkait
hal-hal domestik, karena mekanisme ini lebih nyata mengedepankan hak-hak
korbannya. Restorative justice merupakan suatu mekanisme yang mutlak
diperlukan, terlebih lagi, pada dasarnya mekanisme ini telah mengakar dalam
kehidupan masyarakat Indonesia yang kental dengan sistem norma dan nilai adat
dari nenek moyang.
[1]
Prayitno, Kuat Puji. 2010. Restorative Justice untuk Sistem Peradilan Pidana
Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto).
Jurnal Dinamika Hukum, Universitas Jendral Soedirman. Hlm 407
Komentar
Posting Komentar