Pengertian Prinsip Restorative Justice
Konsep Restorative Justice sebenarnya telah
lama dipraktikkan masyarakat adat Indonesia, seperti di Papua, Bali, Toraja,
Minangkabau, dan Komunitas tradisional lain yang masih kuat memegang
kebudayaan. Apabila terjadi suatu tindak pidana oleh seseorang, penyeleasian
sengketa diselesaikan di komunitas adat secara internal tanpa melibatkan aparat
negara. Ukuran keadilan bukan berdasarkan keadilan retributif berupa balas
dendam (an eye for an eye) atau
hukuman penjara, namun berdasarkan keinsyafan dan pemaafan (keadilan
restoratif). Walaupun perbuatan pidana umum yang ditangani masyarakat sendiri
bertentangan dengan hukum positif, terbukti mekanisme ini telah berhasil
menjaga harmoni di tengah masyarakat. Keterlibatan aparat penegak hukum negara
sering kali justru mempersulit dan memperuncing masalah.[1]
Konvensi
negara-negara di dunia tersebut mencerminkan paradigma baru untuk menghindari
peradilan pidana. Restorative justive
(selanjutnya diterjemahkan menjadi keadilan restoratif) adalah alternatif yang
populer di berbagai belahan dunia untuk penanganan pelaku tindak pidana yang
bermasalah dengan hukum karena menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif.[2]
Keadilan
restoratif bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat
untuk memperbaiki suatu peruatan melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran
dan keinsafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat.[3]
Wright[4]
menjelaskan bahwa konsep keadilan restoratif pada dasarnya sederhana. Ukuran
keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku
(baik secara fisik, psikis, atau hukuman); namun perbuatan yang menyakitkan itu
disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku
untuk bertanggung jawab dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan.
Kesamaan keadilan restoratif dengan mekanisme lokal (adat) merupakan sebuah
keuntungan karena lebih bisa diterima dan dipraktikkan oleh masyarakat luas.
Selain itu ada beberapa keuntungan lain dalam menerapkan keadilan restoratif
yaitu:[5]
- Keadilan restoratif memfokuskan keadilan bagi korban sesuai keinginan dan kepentingan pribadi, bukan negara yang menentukan.
- Menawarkan pemulihan bagi semua pihak yang terlibat.
- Membuat pelaku bertanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukannya.
Mekanisme
penyelesaian sengketa berdasarken keadilan restoratif didasarkan pada
musyawarah mufakat di mana para pihak diminta berkompromi untuk mencapai sebuah
kesepakatan.[6] Setiap
individu diminta untuk mengalah dan menempatkan kepentingan masyarakat di atas
kepentingan pribadi demi menjaga keharmonisan bersama. Konsep musyawarah
terbukti efektif untuk menyelesaikan sengketa dalam masyarakat di tengah
kegagalan peran negara dan pengadilan dalam memberikan keadilan.[7]
Terkadang masyarakat menganggap mereka akan mengalami kerugian lebih besar bila
membawa sengketa mereka ke pengadilan. Karena itu, keberadaan musyawarah
sebagai “Local wisdom” sangat vital
untuk menjaga ketertiban umum. Musyawarah bisa dipakai untuk sebagai konsep dasar
untuk penyelesaian sengketa di tengah masyarakat, baik bersifat privat maupun
publik.[8]
Konsep
musyawarah sesuai dengan Teori Hukum Pembangunan yang disampaikan oleh Pakar
hukum Indonesia, Mochtar Kusuaatmadja, yang diadopsi dari konsep hukum yang
digagas oleh Roscoe Pond yaitu “Law as a
tool of social engineering” (Hukum
sebagai alat rekayasa sosial).[9] Musyawarah sebagai dasar penyelesaian sengketa yang digunakan
oleh masyarakat sehari-hari adalah alat efektif untuk menjaga keteraturan dan
ketertiban umum dan efektif dalam menangani permasalahan peradilan pidana.
[1]
DS. Dewi dan Fatahillah A.
Syukur, Mediasi Penal: Penerapan
Restorative Justice di Pengadilan
Anak Indonesia, Depok: Indie Publishing, cet-1, 2011.hal. 4.
[2]
Gordon Bazemore dan Mara Schiff, Juvenile Justice Reform and Restorative
Justice: Building Theory and Policy
from Practive, Willan Publishing, Oregon, 2005, hal. 5. Sebagaimana dikutip dalam DS. Dewi dan Fatahillah
A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan
Restorative Justice di Pengadilan
Anak Indonesia, hal. 4.
[3] George Pavlich, “Towards and ethics of Restorative
Justice”, dalam Restorative Justice and The Law, ed Walgrave, L.,
Willan Publishing, Oregon, 2002, hal.1. Sebagaimana dikutip dalam DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice
di Pengadilan Anak Indonesia, hal. 4.
[4]
Martin
Wright, “Victim-Offender Mediation as a Step Towards a Restorative System of
Justice”, dalam Restorative Justice on
Trial: Pitfalls and Potentials of Victim Offender Mediation International Research Perspectives, eds Messmer, H dan
Otto, H.U., Kluwer Academic
Publishers, Dordrecht, 1992, hal.525. Sebagaimana dikutip dalam DS. Dewi dan
Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal:
Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia, hal. 4.
[5] Jim Consedine., Restorative
Justice: Healing the Effects of Crime, Ploughshares Publications,
Lyttelton, 1995, hal. 162-164. Sebagaimana dikutip dalam DS. Dewi dan
Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal:
Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia, hal. 5.
[6]
Stephen Benton dan Bernadette
Setiadi, “Mediation and Conflict Management in Indonesia”, dalam Conflict Management in the Asia Pacific:
Assumptions and Approaches in Diverse
Cultures, eds Kwok, L dan Tjosvold, D., John Wiley & Sons, Singapore,
1998, hal. 228. Sebagaimana dikutip
dalam DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi
Penal: Penerapan Restorative Justice
di Pengadilan Anak Indonesia, hal. 5.
[7] Bruce E. Barnes, Culture, Conflict, and Mediation in the Asian Pacific, University
Press of America, Maryland, 2007, hal.109. Sebagaimana dikutip dalam DS. Dewi
dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal:
Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia, hal. 6.
[8] Bruce E. Barnes dan Fatahillah A. Syukur,
“Mediating Contemporary, Severe Multicultural, and Religious Conflicts in
Indonesia, The Philippines, and Thailand”, dalam Mediation in the Asia-Pacific Region: Transforming Conflicts and
Building Peace, eds Bagshaw, D
dan Porter, E., Routledge, New York, 2009, hal. 210. Sebagaimana dikutip dalam
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi
Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia, hal. 6.
[9] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hal.
14.
Komentar
Posting Komentar