Pengertian Prestasi dan Wanprestasi dalam Suatu Kontrak



Pengertian Prestasi, Wanprestasi dan Model-Model Prestasi Dalam Suatu Kontrak
Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah “performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.

Adapun yang merupakan model-model dari prestasi adalah seperti yang disebutkan dalam Pasal 1234 KUH Perdata, yaitu berupa :
(1)    Memberikan sesuatu;
(2)    Berbuat sesuatu;
(3)    Tidak berbuat sesuatu.

Sementara itu, yang dimaksud dengan wanprestasi (default atau non fulfiment ataupun yang disebut juga dengan istilah breach of contract) adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.

Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.
Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena :
(1)     Kesengajaan;
(2)     Kelalaian;
(3)     Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).

Akan tetapi berbeda dengan hukum pidana atau hukum tentang perbuatan melawan hukum, hukum kontrak tidak begitu membedakan apakah suatu kontrak tidak dilaksanakan karena adanya suatu unsur kesalahan dari para pihak atau tidak. Akibatnya umumnya tetap sama, yakni pemberian ganti rugi dengan perhitungan-perhitungan tertentu. Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure, yang umumnya membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara atau untuk selama-lamanya).

Disamping itu, apabila seseorang telah tidak melaksanakan prestasinya sesuai ketentuan dalam kontrak, maka pada umumnya (dengan beberapa pengecualian) tidak dengan sendirinya dia telah melakukan wanprestasi. Apabila tidak ditentukan lain dalam kontrak atau dalam undang-undang, maka wanprestasinya si debitur resmi terjadi setelah debitur dinyatakan lalai oleh kreditur (ingebrehstelling) yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” oleh pihak kreditur.

Stelsel dengan akta lalai ini adalah khas dari negara-negara yang tunduk kepada Civil Law seperti Prancis, Jerman, Belanda dan karenanya juga Indonesia. Sementara di negara-negara yang berlaku sistem Common Law, seperti Inggris dan Amerika Serikat, pada prinsipnya tidak memberlakukan stelsel akta lalai ini.
Dalam praktek akta lalai ini sering disebut dengan :
  Somasi (Indonesia)
  Sommatie (Belanda)
  Sommation (Inggris)
  Notice of default (Inggris)
  Mahnung (Jerman dan Swiss)
  Einmahnung (Austria)
  Mise en demeure (Prancis)

Namun demikian, bahkan di negara-negara yang tunduk kepada Civil Law sendiri, akta lalai tidak diperlukan dalam hal-hal tertentu, yaitu dalam hal-hal sebagai berikut:
(1)    Jika dalam persetujuan ditentukan termin waktu;
(2)    Debitur sama sekali tidak memenuhi prestasi;
(3)    Debitur keliru memenuhi prestasi;
(4)    Ditentukan dalam undang-undang bahwa wanprestasi terjadi demi hukum (misalnya Pasal 1626 KUH Perdata);
(5)    Jika debitur mengakui atau memberitahukan bahwa dia dalam keadaan wanprestasi.

Komentar

Postingan Populer