Kepemimpinan ; Suatu Persoalan Keteladanan Kader dan Tangguhan Organisasi
Wahai Yang Dia adalah “Dia” Yang Mutlak,
Sedangkan Daku adalah “Dia” Yang Terikat!
Wahai Yang Tidak Ada Dia Selain Dia!
- Ibn ‘Arabi –
Aku mohon dikau,
wahai tuhanku, lidah yang fasih, perkataan yang benar,
pemahaman yang tepat, relung kesadaran terdalam yang unggul, kalbu yang
benar-benar menerima,
akal yang memahami, pikiran yang bersinar,
kerinduan yang tak pernah mereda, ketokan yang
terus-menerus [pada pintu-Mu],
dan hasrat yang membakar.
S
|
ejarah merawat sebilah keyakinan,
manusia selalu butuh idola – Tuhan, Nabi, dan Sang Pemimpin. Mungkin karena
manusia acapkali dirundung cemas dan tak mampu menghalaunya. Tapi ada tautan
yang menyebabkan kultus Sang Pemimpin menjadi kasih yang eksotik. Kombinasi
antara kekuasaan politik dan kata-kata yang merangkuhnya. Ketika hendak
mengukuhkan kekuasaannya, “titah” Sang Pemimpin lalu jadi doktrin, doktrin jadi
slogan, dan slogan meluahkan mantra.
Di sini pemimpin, dalam
ungkapan Clifford Geertz, dipandang sebagai “pusat keteladanan” (exemplary center) atau dalam jubbah
aristokrasi Prancis disebut noblese oblige.
Status sosio-kultural lebih tinggi mengandaikan kewajiban yang lebih
banyak, termasuk kewajiban dalam memberikan teladan hidup. Ini mengandaikan
jika seorang pemimpin mutlak lahir dari kelas bangsawan. Namun revolusi Prancis
meluruhkannya, ketika meletus dipagi genting 14 Juli 1789, pahan tersebut
diubah secara radikal dalam system demokrasi yang mengusung “persamaan” setiap
orang di hadapan hukum: bahwa setiap orang yang melakukan kesalahan yang sama
ketika berada dalam keadaan yang sama, harus dihukum dengan hukuman yang sama,
meski mereka berasal dari status sosio-kultural yang berbeda.
Dengan begitu demokrasi
mengandaika adanya persamaan dalam moralitas semua orang, tetapi dalam formula
negative, bahwa setiap orang dengan kebajikan yang aneka, dapat jatuh dalam
kesalahan yang sama, khususnya ketika mereka menggenggam kekuasaan. Doktrin nobblese oblige digusur oleh prinsip power tends to corrupt: kecendrungan
terhadap penghianatan dan kejahatan selalu melekat pada kekuasaan. Sebab
kecenrungan kekuasaan untuk memperbesar dirinya jauh lebih kuat daripada
kemampuannya membatasi, mengawasi, dan mengeritik dirinya. Dalam demokrasi
diandaikan bahwa kekuasaan yang lebih besar memberi kesempatan untuk kesalahan
dan penyelewengan yang semkain serius.
Itu sebab pemimpin yang
baik dalam system demokrasi tak sekedar pemimpin teladan, tetapi pemimpin yang
tunduk pada pengawasan public: pisau hukum dan control social para warga, yang
didalam konteks organisasi Pemimpin harus tunduk pada pengawasan para kader dan
anggotanya. Pemimpin yang baik diandaikan bisa melakukan kesalahan, tapi ida
harus siap untuk dikoreksi. Legitimasinya terbangun justru di atas moral courage; siap mengakui
kesalahannya, memperbaikinya, dan bersedia menerima sanksi akibat kesalahan
tersebut, ketimbang berkelik dengan berbagai dalih dan mengelak dari kesalahan.
Inilah jalan “ketangguhan sang pemimpin.
Ada kearifan yang mengalir
deras dalam jantung kesadaran masyarakat Eropa, house is made of bricks, home is made of love; House dibangun
dengan batu bata, home dibangun
dengan cinta. Jika wujud materi bangunan sebuah rumah adalah house, maka spirit, tradisi, filosofi,
ilmu, bahasa, seni, kesalehan, dan cinta yang menubuh didalamnya adalah home. Ketika rumah hanya dipahami
sebagai bangunan asri nan megah, tatanan material yang apik, lantas mengabaikan
semangat/etos, ruh, dan jiwa apa yang mendasari setiap nafas konstruksinya,
maka sejak itu rumah telah kehilangan otentisitasnya.
HMI sebagai Organisasi,
seperti halnya rumah, juga mengandaikan identitas yang otentik: wadah
perjumpaan cita-cita, gagasan, mimpi, dan harapan para penghuninya. Tapi, rumah
yang menyisakan sesuatu yang genting. Sebab, pencarian sungguh-sungguh terhadap
otentisitas, kini tengah termangsa oleh imperium citra dan semesta imajinasi.
Hal itu senafas dengan apa yang digalaukan Androno dalam the Jargon of Authenticity (1983) sebagai suasana penuh jebakan dan
perangkap yang menyesatkan, karena dunia citra dan simulacrum dipenuhi oleh
jargon-jargon semu, termasuk jargon keotentikan. Realitas kontemporer kita kini
tengah tersedot ke dalam “lubang hitam” post-realitas: sebuah realitas palsu
yang tidak lagi setia terhadap ada-otentik. Itu sebab, pembangunan rumah, dan
juga organisasi: HMI, meniscayakan gerak pendulum serta menjaga keseimbangan
antara “house” dan “home”.
Pada tanggal 22 November
2015 mendatang HMI akan memilih Ketua Umum PB HMI Periode 2015 – 2017. Sebagai
“Rumah Besar” bagi para kader dan anggotanya, HMI pada intinya butuh pemimpin
baru yang punya kesadaran kritis: bahwa dibalik hiruk-pikuknya Kongres ada
persoalan besar yang harus menjadi percakapan kritis kader dan anggota se
antero Indonesia, bahwa HMI adalah rumah dalam makna home yang juga sekaligus house,
itulah sebab mengapa kita mesti berada dalam organisasi ini, itu dikarenakan
HMI adalah home yang di dalamnya
mengalir energy cinta, semangat, ruh dan jiwa perjuangan yang tiada henti untuk
mencapai mission: misi suci untuk umat dan bangsa. Kesadaran kritis inilah yang
mempertemukan kita sebagai teman yang lebih dari saudara.
Komentar
Posting Komentar