Ideologisasi Nilai Kekaderan Dalam Tantangan dan Perubahan


Dalam konteks penjelasan sebelumnya, perubahan yang diketengahkan bagi perkaderan HMI berpangkal pada proyek rekayasa global yang mempengaruhi kultur masyarakat saat ini. Berbagai hal telah muncul sebagai implikasi dari kemenangan kapitalisme atas sosialisme yang tidak terduga sebelumnya, tetapi pada sisi lain dunia semakin terbuka untuk melakukan transaksi dan pertukaran potensi serta komunitas atas dasar pasar bebas. Secara geografi politik, HMI lahir dan berkembang sebagai bagian dari Negara-bangsa yang terletak di dunia timur, tentu terancam ‘rugi’ oleh kedua situasi tersebut, bahkan jika keliru menafsirkan, HMI pun menjadi korban. 

Jika dalam hembusan globalisasi manusia hidup tanpa standarisasi nilai kehidupan atas diri, tanpa orientasi kerja-hidup di dunia, tanpa karakter, tanpa identitas kebudayaan yang berakar.  Dalam konteks ini harus ditegaskan bahwa globalisasi adalah bawaan dunia barat berbentuk peradaban tidak bersendi spritualitas dan tanpa standar nilai atau citra kemanusiaan. Demokrasi dan Hak Azasi Manusia didengungkan tanpa standar nilai, melainkan ditentukan dengan standar sejauh kemampuan seseorang menlindungi atau mengkases proses pemenuhan kedua hal tersebut di atas. Ukuran nyata kegagalan budaya barat adalah ketika di negeri kelahirannya mulai ramai digugat dan ditinggalkan oleh sejumlah pemikir yang ditandai dengan munculnya kegerahan lalu berpaling ke psomodernisme, meski ikon terakhir ini memiliki kelemahan dalam pilihan asumsi tentang kebenaran. Di sisi lain munculnya sejumlah teori pembebasan telah mengarahkan manusia untuk lari dan segera mencari ruang yang cerah dan segar, sejumlah situasi tersebut tidak saja menjadi tantangan, tetapi suatu ketika aka menjadi hamparan kendala bagi perkaderan dan ideologisasi HMI. Sehingga jika Vitalitas perkaderan HMI diasumsikan sebagai dasar stimulasi bagi sendi dan titik balik kebangkitan HMI dan kader-kader muda dan ‘langit suci’ yang terjaga bagi resultante gerakan kader serta menjadi ‘benteng’ terkahir dari harapan ummat Islam yag senantiasa hidup dalam setiap lapis generasi sesuai zamanya, maka dengan sendirinya perkaderan dituntut agar selalu mengalami ‘daur ulang’ sesuai tantangan zaman.

Dasar rumusan yang dimaksud adalah harapan kontinyuitas perubahan secara actual dengan tetap berpegang pada substansi nilai-nilainya yaitu nilai dasar ummat manusia sebagai mana yang tertuang dalam NDP HMI tidak akan pernah berubah karena ‘Nilai’ bersifat universal hanya pada tekananya yang terkadang dapat berubah.

Setidaknya ada beberapa kecendrungan kehidupan Negara-bangsa masa datang yang akan berpengaruh terhadap kehidupan ummat Islam, dan HMI pada khususnya, yakni;

1.       Tuntutan menggali kembali akar-akar kebudayaan dan peradaban dalam fitrah manusia sebagai akibat rusaknya keseimbangan eksistensial karena kekeliruan menerima kiblat peradaban moderen (an sich) yang western kini sejauh telah ditunjukkan dengan tingginya tuntutan pergeseran cara pandang sistemik menjadi cara pandang berbasis tatanan, yakni yang menandai hubungan interkoneksitas antara manusia, alam dengan sang pencipta. Begitu pula tuntutan pergeseran paradigma positivisme menjadi transendensi. Sehingga disinilah HMI sebagai organisasi yang berbasis pada spritualitas dan keilmuan menjadikan NDP HMI sebagai bangunan tatanan berfikir bagi semua kader-kadernya dalam menghadapi tantangan dan perubahan yang dimaksud.

2.       Pertarungan dan benturan ideology, bukan ideology sistemik yang biasanya mengangkut konstruk aktivitas ekonomi, melainkan ideology pemikiran yang akan mengangkut cara berperilaku dan berbudaya, untuk hal ini dibutuhkan materi perkaderan pada semua jenjang, yakni konstruk tata urut pemikiran dan khazanah berfikir ilmiah paradigmatic.

3.       Runtuhnya bangunan cara berfikir positivisme yang disusul dengan runtuhnya formalism Negara-bangsa. Hal ini berkecendrungan kearah federalism yang sebelumnya akan membangkitkan semangat atau gejolak cultural di tiap daerah. Untuk hal ini HMI perlu diboboti pemahaman tentang Identitas Kebudayaan dan filsafat Pendidikan Multikulturalisme

4.       Lemahnya akselerasi kemampuan Negara menyerap gejala perkembangan social budaya hingga dipelosok daerah dibanding dengan kemampuan tekhnologi komunikasi dan informas global. Hal ini sudah mulai memperburuk tata nilai kehidupan social budaya masyarakat kita, sehingga untuk hal ini dibutuhkan pembobotan HMI pada aspek ruang primordial Nilai Universalisme dalam geografi kesejarahan Nusantara ataupun nasionalisme multicultural

5.       Sebagai akibat dari ketidak mampuan Negara manampung semangat perubahan, kini kita memasuki era otonimi daerah berimbas pada proses mobilitas social-politik berpindah sepenuhnya menjadi milik rakyat secara terbuka.  Sehingga HMI juga harus mampu merambah pada kehidupan local, untuk itu HMI membutuhkan pemahaman Fakta Antropolgi Budaya-Politik dalam peta Geografi politik suku-suku nusantara

6.       Konsep Desentralisasi sesungguhnya mempengaruhi cara berfikir dan cara berorganisasi di daerah, dengan demikian HMI sudah seharusnya melakukan penguatan institusi yang ada di daerah minimal melalui menempatkan Badko dan cabang sebagai epicentrum dinamika kekaderan. Sehingga harus dapat memahami urgensi paradigma Hirarki ke Heterarki.

Dari kesemua hal di atas adalah acuan dan sekaligus gagasan untuk menyonsong kebangkitan kembali HMI terkhusus Vitalitas Perkaderan HMI, manakala tidak, maka HMI pun segera menerima pilihan takdirnya yakni kenyataan sebagai organisasi kecil sebagaimana gejala ini sudah mulai muncul dalam beberapa dasawarsa perjalanan organisasi, hanya ada satu dasar kita memulai yaitu “Moral Kekaderan HMI” untuk Kebangkitan Kembali HMI.

Komentar

Postingan Populer