HMI Kembali ke Gerakan Kebudayaan
Kaitan HMI
secara Historis, adalah sebuah organisasi yang pada khittahnya berjuang untuk
mewujudkan Masyarakat adil Makmur yang diridhoi Allah SWT. Sehingga HMI
merupakan suatu lembaga dan komunitas yang didasari pada suatu komitmen bersama
oleh kader-kadernya pada cita-cita ideal tersebut, setidaknya ada dua hal yang
merupakan dasar dan titik pertemuan visi kader-kader HMI dalam berhimpun dan
bergerak dalam himpunan yakni Nilai KeIslaman dan Nilai Keindonesiaan yang
praksisnya terlihat dalam spirit perjuangan HMI dalam mewarnai wacana
kebudayaan dan kenegaraan di bangsa ini.
Dalam konteks kehidupan HMI saat ini, keterkaitan
hal tesebut yang sudah mulai ditinggalkan, hal ini di sadari semakin hilangnya
identitas keilmuan dan keIslaman HMI dalam mewarnai aktifitas gerakan baik
secara organisasi maupun secara personal kader-kadernya, setidaknya hal ini
dapat dirasakan di beberaoa tahun terkahir ini, sehingga harapan untuk menyatu
dalam gagasan dan perjuangan pada semangat yang sama semakin jauh dari harapan.
Kronisnya bukan hanya politik struktur, tetapi lebih jauh bidang-bidang kerja
yang biasanya menggerakan kultur kekaderan juga sudah demikian menjauh dari
akar-akarnya, setidaknya dua garis besar tersebut yakni Keummatan (KeIslaman)
dan Kebangsaan (Keindonesiaan).
Kalaulah hal ini dipertegas, kini HMI menjauh dari Norm tau Tradisi dan kebudayaannya serta orisinilitas cara pandangnya pada
tingkat nilai, sehingga selalu keliru memahami realitas. Realitas kekinian
selalu diterjemahkan bukan pada karakternya, melainkan pada fenomenanya
sehingga selalu ‘tertipu’, hal ini dapat diukur dari dua kenyataan yakni; pertama, pada even demi even politik
dalam tubuh HMI hanya menghasilkan dan atau pun menyisahkan tidak lebih dari
persoalan menjadi masalah, utamanya persoalan tingkah laku dalam hubungan
sesama warga HMI, sebagai implikasinya adalah mengkrucutnya variable-variabel
konflik, bukannya nilai dari dalam dibiaskan keluar melainkan nilai dari luar
yang dibiaskan kedalam sehingga pada akhirnya nilai-nilai dari luar yang
menjadi sosok bauran kader, bahkan terhadap kinerja organisasi. Kedua, redupnya intelektualisme, dalam
artian HMI telah jauh dari akar Tradisi dan kebudayaannya.
Kiranya saat ini sangat tepat menggambarkan betapa
HMI mengalami ketidak seimbangan dalam pengelolaannya secara keseluruhan.
Dipandang dari teori system, kedua kenyataan di atas menghasilkan
diskontinyuitas di tingkat nilai. Sedangkan kualitas kader tidak mengalami
reproduksi. Karenanya tidak salah jika HMI mengalami situasi abnormal. Secara normative, abnormalitas
tentu saja hanya bisa diselesaikan denga cara abnormal pula. Manakalah hal ini
tidak segera dibenahi, tidak perlu sejumlah kalangan menuntut pembubaran HMI,
tetapi HMI akan bubar dengan sendirinya, sebab gejala ini sudah mulai nampak
khususnya di kampus-kampus besar.
Oleh karenanya, untuk membangkitkan kembali HMI,
maka perbaikan perkaderan adalah yang perlu divitalisasi kembali sebagai proses
pelembagaan nilai-nilai kekaderan, sehingga penggarapan kembali vitalisasi
perkaderan dipola dimulai dari atas yakni PB HMI ibarat membersihkan tangga
dari atas, bukan dimulai dari bawah agar tidak kembali menyisahkan kotoran pada
anak tangga yang lebih rendah. Tentunya saja bahwa perbaikan kader dalam
kaitannya perbaikan kader secara individu dan HMI secara organisasi untuk
segera berbenah diri bersama lingkungannya, dengan jalan HMI harus dikembalikan
kepada gerakan kebudayaannya (Back to
cultural Movement).
Kembali pada gerakan kebudayaan HMI adalah suatu
cara pandang dalam melihat baik dari dalam internal HMI maupun dari aspek
eksternalnya, pada dasarnya perubahan yang diketengahkan bagi perkaderan HMI
berpangkal pada proyek rekayasa global yang mempengaruhi kultur masyarakat saat
ini. Berbagai hal telah muncul sebagai implikasi dari kemenangan kapitalisme
atas sosialisme yang tidak terduga sebelumnya, tetapi pada sisi lain dunia
semakin terbuka untuk melakukan transaksi dan pertukaran potensi serta
komunitas atas dasar pasar bebas. Secara geografi politik, HMI lahir dan
berkembang sebagai bagian dari Negara-bangsa yang terletak di dunia timur,
tentu terancam ‘rugi’ oleh kedua situasi tersebut, bahkan jika keliru
menafsirkan, HMI pun menjadi korban.
Jika dalam hembusan globalisasi manusia hidup tanpa
standarisasi nilai kehidupan atas diri (hyper
realitas), tanpa orientasi kerja-hidup di dunia, tanpa karakter, tanpa
identitas kebudayaan yang berakar. Dalam
konteks ini harus ditegaskan bahwa globalisasi adalah bawaan dunia barat
berbentuk peradaban tidak bersendi spritualitas dan tanpa standar nilai atau
citra kemanusiaan. Demokrasi dan Hak Azasi Manusia didengungkan tanpa standar
nilai, melainkan ditentukan dengan standar sejauh kemampuan seseorang
menlindungi atau mengkases proses pemenuhan kedua hal tersebut di atas. Ukuran
nyata kegagalan budaya barat adalah ketika di negeri kelahirannya mulai ramai
digugat dan ditinggalkan oleh sejumlah pemikir yang ditandai dengan munculnya
kegerahan lalu berpaling ke postmodernisme, meski ikon terakhir ini memiliki
kelemahan dalam pilihan asumsi tentang kebenaran. Di sisi lain munculnya
sejumlah teori pembebasan telah mengarahkan manusia untuk lari dan segera
mencari ruang yang cerah dan segar, sejumlah situasi tersebut tidak saja
menjadi tantangan, tetapi suatu ketika aka menjadi hamparan kendala bagi
perkaderan dan ideologisasi HMI. Sehingga jika Vitalitas perkaderan HMI diasumsikan
sebagai dasar stimulasi bagi sendi kebudayaan HMI dan kader-kader muda dan ‘langit suci’ yang terjaga bagi resultante gerakan kader serta menjadi
‘benteng’ terkahir dari harapan ummat Islam yag senantiasa hidup dalam setiap
lapis generasi sesuai zamanya, maka dengan sendirinya HMI harus mampu kembali
kebudayaan Kaderisasinya dengan mengusung jargon “HMI Kembali pada Gerakan Kebudayaan”, Dasar rumusan yang dimaksud
adalah harapan kontinyuitas perubahan secara actual dengan tetap berpegang pada
substansi nilai-nilainya yaitu nilai dasar ummat manusia sebagai mana yang
tertuang dalam NDP HMI tidak akan pernah berubah karena ‘Nilai’ bersifat
universal hanya pada tekananya yang terkadang dapat berubah.
Tuntutan menggali HMI kembali pada gerakan kebudayaan
sama dengan tuntutan kembali pada akar-akar kebudayaan dan peradaban dalam
fitrah manusia sebagai akibat rusaknya keseimbangan eksistensial karena
kekeliruan menerima kiblat peradaban moderen (an sich) yang western
kini sejauh telah ditunjukkan dengan tingginya tuntutan pergeseran cara pandang
sistemik menjadi cara pandang berbasis tatanan, yakni yang menandai hubungan
interkoneksitas antara manusia, alam dengan sang pencipta. Begitu pula tuntutan pergeseran paradigma
positivisme menjadi transendensi. Sehingga disinilah HMI sebagai organisasi
yang berbasis pada spritualitas dan keilmuan menjadikan NDP HMI sebagai
bangunan tatanan berfikir bagi semua kader-kadernya dalam menghadapi tantangan
dan perubahan yang dimaksud.
Dari
penjelasan tersebut di atas adalah suatu bangunan dasar pijak pemikiran dalam
rangka mengarahkan kader-kader HMI untuk kembali pada gerakan kebudayaan.
Komentar
Posting Komentar