Bentuk Prinsip Restorative Justice
Bentuk keadilan
restorative justice menurut
Stephenson, Giller, dan Brown[1]
terdiri dari 4 (empat) bentuk keadilan restoratif. Semua bentuk tersebut
mempunyai tujuan yang sama yaitu memperbaiki tindakan kejahatan dengan
menyeimbangkan kepentingan pelaku, korban, dan masyarakat. Keempat bentuk
keadilan restoratif tersebut adalah:
1. Mediasi Penal (Victim-offender mediation)
Sebuah
proses dengan dibantu pihak ketiga yang netral dan imparsial, membantu korban
dan pelaku untuk berkomunikasi satu sama lain dengan harapan dapat mencapai
sebuah kesepakatan. Mediasi dapat terjadi secara langsung di mana korban dan
pelaku hadir bersama; atau secara tidak langsung di mana korban dan pelaku
tidak saling bertemu dengan difasilitasi oleh mediator (shuttle mediation).
2. Restorative
conference
Hampir
sama dengan mediasi penal, yang membedakan hanyalah peran mediator sebagai
pemandu diskusi, adanya naskah pemandu, dan hadirnya pihak selain pelaku dan
korban (yaitu keluarga dari masing-masing pihak).
3. Family
group conferencing
Keluarga
kedua belah pihak (pelaku dan korban) membuat sebuah rencana aksi (action plan) berdasarkan informasi dari
pelaku, korban, dan kalangan profesional yang membantu. Rencana aksi itu
bertujuan membahas konsekuensi dari tindakan yang telah dilakukan dan
pencegahan agar hal tersebut tidak terulang kembali.
4. Community
panel meetings
Pertemuan
yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pelaku, korban (bila mau), dan orangtua
pelaku untuk mencapai sebuah kesepakatan perbaikan kesalahan.
Daly
and Immarigeon[2]
menambahkan bentuk-bentuk keadilan restoratif yang berkembang di dunia,
terutama di Amerika Serikat dan Kanada, selain yang telah disebutkan di atas,
yaitu:
1. Hak tahanan dan alternatif selain
penjara
Bentuk
keadilan restoratif ini berkembang sekitar tahun 1970 ketika penjara mengalami
ledakan penghuni. Berkembang kesadaran bahwa tahanan adalah korban dari
penyingkiran sosial masyarakat dai dikriminasi, karen aitu mereka juga harus
diberi hak untuk kembali ke masyarakat dan harus ada alternatif selain penjara.
2. Pilihan penyelesaian sengketa
Berkembang
pertengahan tahun 1970, ditandai dengan gerakan untuk memakai proses yang lebih
informal dan turut melibatkan masyarakat. Alternatif penyelesaian sengketa
difokuskan pada negosiasi, pertemuan korban-pelaku, dan berkurangnya peran para
profesional hukum.
3. Advokasi korban
Keadilan
restoratif ini melakukan advokasi untuk korban tindakan kriminal karena mereka
kurang bisa berusara dalam proses peradilan negara.
4. Justice
Circle
Muncul
di Kanada sekitar tahun 1980-an, yaitu proses mencapai konsensus berdasarkan
kerangka komprehensif yang tidak hanya melibatkan korban dan pelaku, tetapi
juga keluarga mereka dan masyarakat.
[1]
Martin Stephenson, Henry Giller
dan Sally Brown, Effective Practice in
Youth Justice, Willan Publishing, Portland, 2007, hal. 163-166. Sebagaimana
dikutip dalam DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia, hal. 41.
[2]
Kathleen Daly dan Russ
Immarigeon, “The Past, Present, And Future of Restorative Justice : Some
Critical Reflections”, dalam Contemporary
Justice Review, 1(1), 1998, hlm. 24-26. Sebagaimana dikutip dalam DS. Dewi
dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal:
Penerapan Restorative Justice di
Pengadilan Anak Indonesia, hal. 42.
Komentar
Posting Komentar