Analisis Teori Hukum Progressif



A.  Hukum Berkeadilan
Setelah melihat kondisi hukum yang terpuruk tersebut maka tidak ada kata lain selain terus mengedepankan reformasi hukum menuju hukum yang lebih progresif dalam rangka mencapai supremasi hukum yang berkeadilan. Bagi Socrates, keadilan merupakan inti hukum.[1]

Arsitoteles dalam The Ethics of Aristoteles, terjemahan J.A.K Thomson, yang disunting oleh S. Tasrif, menyatakan bahwa bila orang berbicara tentang keadilan, yang mereka anggap secara pasti adalah adanya suatu keadaan pikiran yang mendorong mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang adil, untuk bersikap secara adil, dan untuk tidak menginginkan hal yang tidak adil.[2] Cara mengetahui keadilan adalah lewat theoria (pengetahuan intuitif), berupa logos yang sudah ada dalam diri manusia yang dianugrahkan oleh Sang Maha Khalik. Karena itu, supaya adil orang perlu refleksi diri. Kata Socrates, Gnooti Seauton! Kenalilah dirimu.

Aristoteles juga membedakan adanya dua macam keadilan, yaitu justitia distributiva dan justitia commutativa. Justitia distributiva menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya, sedangkan justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama banyaknya.[3]

Keadilan juga dipahami secara metafisis keberadaannya sebagai kualitas atau fungsi semakhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia. Konsekuensinya ialah, bahwa realisasi keadilan digeser ke dunia lain, di luar pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial bagi keadilan tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau keputusan-keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga.[4] Oleh karena inilah Plato mengungkapkan bahwa yang memimpin negara seharusnya manusia super, yaitu the king of philosopher.[5]

Relevan dengan hukum progresif yang menempatkan manusia sebagai faktor penting dalam kajian hukum, maka teori tentang pengaruh kekuatan sosial dalam bekerjanya hukum dalam masyarakat dari Robert B. Seidman sangat tepat untuk di implementasikan, dalam teori tersebut terdapat tiga komponen utama pendukung bekerjanya hukum dalam masyarakat yang dapat dijelaskan. Ketiga komponen tersebut meliputi :
1.   Lembaga pembuat peraturan,
2.   Lembaga penerap peraturan, dan
3.   Pemegang peran.[6]

J.J.H Bruggink menggambarkan perbedaan antara ilmu hukum empiris dengan ilmu hukum normatif sebagai berikut:[7]


Pandangan positivistic:
ilmu hukum empirik
Pandangan normatif :
Ilmu hukum normatif
Hubungan dasar
Subyek – obyek
Subyek – subyek
Sikap ilmuwan
Penonton (toeschouwer)
Partisipan (doelnemer)
PERSPEKTIF
EKSTERN
INTERN
Teori kebenaran
Korespondensi
Pragmatik
Proposisi
Hanya informative atau empiris
Normatif dan evaluatif
Metode
Hanya metode yang bisa diamati panca indra
Juga metode lain
Moral
Non kognitif
Kognitif
Hubungan antara moral dan hukum
Pemisahan tegas
Tidak ada pemisahan
Ilmu
Hanya sosiologi hukum empiris dan teori hukum empiris
Ilmu hukum dalam arti luas


Tentang penggunaan teori kebenaran dari ilmu hukum yang pragmatis, ternyata masih belum ada kesepakatan diantara ahli hukum. Masih ada perdebatan tentang penggunaan teori kebenaran yang dipakai dasar, antara koherensi dengan pragmatis. Mereka berpendapat, apabila suatu aturan hukum dibuat dengan hanya mendasarkan teori kebenaran yang pragmatis, akan mengakibatkan timbulnya kesesatan. Sebagai contoh pada Wakil Rakyat kita yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), apabila  mereka akan menggunakan dasar kebenaran pragmatis dengan menekankan hanya pada konsensus di antara anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanpa memperhatikan konsep dan teori hukum akibatnya produk hukum jauh dari rasa keadilan. Hal ini mengingat suara Wakil Rakyat kita yang duduk di DPR hanya menyuarakan suara Partai atau ada kepentingan di balik itu. Tetap kebenaran yang dipakai adalah koherensi. Prinsip teori kebenaran koherensi adalah dikatakan benar apabila sesuai dengan yang seharusnya.

B.  Menghadirkan Hukum Progresif
Hukum dalam konteks sebagai institusi moral, sudah barang tentu masyarakat akan memasukkan gagasan, harapan, dan cita-cita moralnya ke dalam hukum. Itulah sebabnya muncul harapan dari masyarakat bahwa pengadilan adalah sebagai “benteng terakhir dari keadilan”. Namun harapan tersebut terkadang menjadi kosong ketika terjadi praktik jual-beli perkara”.

Menempatkan hukum sebagai institusi moral, akan membawa kesadaran bagi penentu kebijaksanaan hukum untuk menjalankan kekuasaannya dengan baik. Menurut Satjipto Rahardjo,[8] kekuasaan yang baik adalah kekuasaan yang antara lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.    Kekuasaan yang mengabdi pada kepentingan umum;
2.    Kekuasaan yang melihat kepada Iapisan masyarakat yang susah;
3.    Kekuasaan yng selalu memikirkan kepentingan publik;
4.    Kekuasaan yang kosong dari kepentingan subyektif;
5.    Kekuasaan yang mengasihi.

Joseph Fletcher juga mengatakan bahwa tidak ada hukum atau pedoman yang sudah siap pakai. Kita harus responsif, kreatif dan bijaksana menentukan langkah yang paling tepat untuk tiap situasi dan peristiwa.[9] Karena menurut Satjipto Rahardjo, “Hukum adalah untuk manusia”.[10] Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusia-lah yang berada di titik pusat perputaran hukum.[11] Oleh karena itu, titik tolak semua teorisasi hukum pada dasarnya berporos pada satu hal, yaitu “hubungan manusia dan hukum”. Semakin landasan suatu teori bergeser ke faktor peraturan, maka semakin ia menganggap hukum sebagai unit tertutup yang formal-legalistik.
Bagaimana pun, harus diakui bahwa yang “benar” itu belum tentu “baik”. Penerapan hukum secara kaku tidak jarang justru berakibat buruk. Konon, di sebuah tempat terlihat seorang anak sedang mengerang kesakitan karena terjatuh ke dalam Liang Karang yang berbahaya. Banyak orang jatuh iba tetapi tak seorang-pun berani menolongnya, meski mereka sebenarnya mampu menyelamatkan si anak itu. Sebab, hukum yang berlaku di tempat itu melarang siapapun selain petugas untuk masuk ke areal tersebut, jalan satu-satunya adalah memanggil petugas, dan membiarkan si anak terkapar tidak berdaya hingga ajal menjemputnya.

Persoalan normatif dan moral yang paling jelas dan terang-menderang di sini adalah benarkan soal prosedur itu sedemikian tinggi nilainya dibandingkan dengan nyawa si anak? Dapatkah itu diyakini sebagai primum et summum bonum yang coute que coute harus dipertahankan secara mati-matian? Bahkan tidak peduli apa saja akibatnya? Persoalannya akan sama sekali berbeda jika kita sedikit mempertimbangkan pemikiran hukum yang lebih responsif, teleologis dan kontekstual. Bagi aliran-aliran ini, hukum bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia.

Bagi Hukum Progresif (yang mengandalkan akal sehat dan empati), maka tindakan tersebut merupakan keputusan yang memberi agape—kasih kepada manusia yang penuh tepo saliro dan tanpa pamrih. Man is more than constitution”, demikian salah satu baris dari sajak JR. Lowell”.[12] Rasanya kita setuju, bahwa hidup (human life) lebih berharga daripada konstitusi atau hukum itu sendiri.

Hukum Progresif, tidak sekali-­kali menafikkan peraturan. Meski begitu, aliran ini tidak seperti legalisme dan rechts dogmatiek yang mematok peraturan/doktrin sebagai harga mati. Tidak juga seperti analytical jurisprudence yang hanya berkutat pada proses logis-formal. Hukum Progresif, berusaha menolak keadaan stutus quo, manakala keadaan tersebut menimbulkan dekadensi, suasana korup dan semangat merugikan kepentingan manusia.

Dalam aliran-aliran itu, melekat semangat “pahlawan” dan “pemberontakan” untuk mengakhiri kelumpuhan hukum melalui aksi kreatif dan inovatif para pelaku hukum. Para pelaku hukum dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peraturan yang buruk, tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum yang progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru setiap kali menghadapi suatu peraturan.

Untuk memperjelas duduk persoalan ada baiknya saya kutip ulasan Satjipto Rahardjo dalam salah satu tulisannya di Harian Umum Kompas. Menurut beliau, dalam melihat hukum perlu dibedakan antara peraturan (lex, wet, rule) dan kaidah (ius, recht, norm). Apabila kita membaca undang-undang, pertama-pertama yang dibaca adalah peraturan, pasal-pasal. Berhenti pada pembacaan undang-­undang sebagai peraturan bisa menimbulkan kesalahan besar karena kaidah yang mendasari peraturan itu menjadi terluputkan. Kaidah itu adalah makna spiritual dan ruh. Sedangkan peraturan adalah penerjemahan ke dalam kata-kata dan kalimat. Maka senantiasa ingat akan kaidah sebagai basis spiritual dari peraturan, mengisyaratkan orang agar berhati-hati dan selalu berpikir dua, tiga, empat kali dalam membaca hukum, hukum mempunyai tujuan. Itulah yang harus direfleksi lebih lanjut. Terkdang roh dan tujuan itu cenderung hilang di tengah rimba kalimat-kalimat, dan pasal­-pasal.

Hukum Progresif melihat hukum bukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar diringya. Oleh karena itu, keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum, maka ke depan hukum seyogyanya dimengerti, dipahami dan dimaknai secara komprehensif, baik yang normatif, doktrinal maupun yang lebih teleologis dan kontekstual. Hanya dengan cara itulah hukum responsif dan hukum progresif dapat dicapai, yaitu melihat hukum bukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya; yaitu manusia. Dengan kata lain, hukum yang bermanfaat adalah untuk manusia dan alam semesta ini.



[1] Cara pandang Socrates itu mencerminkan ciri pemikiran Yunani masa itu yang selalu mengkaitkan masalah negara dan hukum dengan aspek moral yakni keadilan. Dennis Lloyd, The Idea of Law, Harmondworth: Penguin Books, 1976, hlm. 53.
[2] M. Shodiq Dahlan, Hukum Alam dan Keadilan, Bandung: Remaja Karya, 1989, hlm. 25.
[3] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1999, hlm. 72.
[4] W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, (Legal Theori), Susunan I, diterjemahkan oleh Mohamad Arifin, Cetakan kedua, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993, hlm. 117. Lihat juga dalam Lilik Mulyadi, Teori Hukum, diktat Kuliah, Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta: 2012, hlm. 2.
[5] Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Bandung: Cetakan II Edisi Revisi, Pustaka Mizan, 1997, hlm. 1-15.
[6] Robert B. Seidman & William J. Chambliss, “Law, Order, and Power”, Addison Wesley Publishing Company, Phillipines, 1971. Lihat juga Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Alumni, 1980, hlm. 29.
[7] J.J.H. Bruggink., alih bahasa, Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996,  hlm. 127.
[8] Satjipto Rahardjo adalah salah seorang pemikir hukum, karyanya ilmiahnya tersebar di berbagai buku, jurnal dan media. Karena dinilai sangat produktif dalam menyumbangkan gagasannya, Satjipto Rahardjo dijuluki sebagai Begawan Hukum. Hukum progresif dapat dipandang sebagai refleksi dari perjalanan intelektualnya selana menjadi musafir ilmu. Dalam pidato untuk mengakhiri jabatan sebagai Guru Besar di FH UNDIP, Satjipto Rahardjo membacakan karya yang sangat menarik dengan judul, “Mengajarkari Keteraturan, Menemukan Ketidak-ieraturan (Teaching Order, Finding Dis-Order), Tiga puluh Tahun Perjalanan Intelektual dari Bojong ke Pleburan”, Pidato Emiritus Guru Besar UNDIP, 15 Desember 2000.
[9] Joseph Fletcher, Situation Ethics: The New Morality, Philadelphia: The Westminster Press, 1966, hlm. 48.
[10] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007, hlm. 151.
[11] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007, hlm. 139.
[12] Like Wilardjo, Mission Satre, Artikel dalam Harian Umum Kompas, 4 April 1998.

Komentar

Postingan Populer