Pengatar Politik Hukum

Kompleksitas hukum menyebabkan hukum itu dapat dipelajari dari berbagai sudut pandang. Lahirnya berbagai disiplin hukum di samping filsafat hukum (philosophy of law) dan ilmu hukum (science of law), seperti : teori hukum (theory of law), sejarah hukum (history of law), sosiologi hukum (sociology of law), antropologi hukum (anthropology of law), perbandingan hukum (comparative of law), logika hukum (logic of law), psikologi hukum (psychology of law) dan kini sedang tumbuh politik hukum (politic of law), adalah bukti kompleksitas dari sebuah perkembangan ilmu hukum. Meskipun masing-masing ragam displin hukum diatas bisa disikapi sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri (mandiri), akan tetapi bukan berarti kesemuanya bekerja secara sendiri-sendiri pula, karena sesungguhnya kesemuanya saling berkelidan satu sama lainnya. Artinya, satu disiplin hukum tidak memiliki makna apa-apa tanpa melibatkan disipilin hukum yang lain. Kesemuanya secara sinergis bekerja secara sistemik dan komprehensif untuk dapat menggali dan menjelaskan apa sesungguhnya hukum itu dan bagaimana proses-proses pembentukan hukum itu dapat dijelaskan secara baik.

Dari masing-masing disiplin ilmu hukum yang telah dijabarkan diatas, perlu diketahui bahwa politik hukum merupakan satu disiplin hukum yang tergolong paling muda dibandingkan dengan disiplin-disiplin hukum lain. Politik hukum belum memiliki struktur keilmuan yang mapan. Pengertian politik hukum pada tataran teori ilmu hukum murni diartikan sebagai suatu ilmu hukum yang membahas atau menguraikan perbuatan aparat yang berwenang dalam memilih salah satu arternatif yang sudah tersedia untuk menciptakan suatu produk hukum guna mewujudkan tujuan negara.

Adapun akar sejarah timbulnya politik hukum dilatarbelakangi oleh adanya rasa ketidakpuasan para teoretisi hukum terhadap model pendekatan hukum selama ini (raison d’entre). Seperti diketahui, dari aspek kesejarahan, studi hukum telah berusia sangat lama yakni sejak era Yunani kuno hingga era postmodern. Selama kurun waktu sangat lama tersebut studi hukum mengalamai pasang surut, perkembangan dan pergeseran terutama berkaitan dengan metode pendekatannya. Adanya pasang surut, perkembangan dan pergeseran studi hukum itu disebabkan karena terjadinya perubahan struktur sosial akibat moderenisasi, politik, ekonomi, dan pertumbuhan piranti lunak ilmu pengetahuan.

Analisis menarik berkaitan dengan hal ini dijelaskan oleh Satjipto Raharjo. Ia menjelaskan, pada abad ke 19 di Eropa dan Amerika, individu merupakan pusat pengaturan hukum, sedang bidang hukum yang berkembang adalah hukum perdata (hak-hak kebendaan, kontrak, perbuatan melawan hukum). Keahlian hukum dikaitkan pada soal keterampilan teknis atau keahlian tukang (legal craftsmanship).[1] Analisis normatif dan dogmatis merupakan satu-satunya cara yang dianggap paling memadai, dan tidak diperlukan metode atau ancangan (approach) yang lain untuk membantu melakukan pengkajian  hukum. Metode normatif dan dogmatis demikian, dipandang mencukupi kebutuhan sedang hukum makin menjadi bidang yang eksentrik.

Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari duka kata recht dan politiek dan dalam sistem hukum Anglo Section politik hukum dikenal dengan sebutan Political Law. Sementara dari perspektif Terminologis dikuatkan guna melengkapi penjelasan etimologis yang tidak memuaskan karena begitu sederhana, sehingga dalam banyak hal dapat membingungkan dan merancukan pemahaman kita tentang apa itu politik hukum. Padmo Wahyono dalam bukunya Indonesia Berdasarkan Atas Hukum[2] mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Soedarto (Ketua Perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), mendefinsikan politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan  untuk mengekspresikan apa yang terkadung dalam masyarakat dan untuk mencapai hukum yang dicita-citakan. Berbeda dengan dua pengertian sebelumnya, Soedarto tidak hanya berbicara pada kurun waktu apa hukumyang diterapkan (ius constituendum), tetapi tampaknya sudah pula menyinggung kerangka pikir macam apa yang harus digunakan ketika menyusun sebuah produk hukum. Sementara menurut Satjipto Rahardjo mendefiniskan politik hukum sebagai aktivitas memilih cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.[3] Menurut beliau terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang muncul dalam study politik hukum yaitu :
  1. Tujuan ada yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada ?
  2. cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut ?
  3. Kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaimana perubahan tersebut sebaiknya ?
  4. Dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa membantu memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik ?
           
Sementara Abdul Hakim Garuda Nusantara memandang politik hukum secara harfiah sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh pemerintahan negara tertentu. Politik Hukum Nasional meliputi : pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten, pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan dianggap usang atau dengan kata lain penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya, dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.

Hukum sebagai suatu kaidah sosial tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan kongkretisasi dari nilai-nilai yang ada pada suatu saat berlaku dalam masyarakat.[4]  Artinya, hukum sedikit banyak akan selalu mengikuti tata nilai yang menjadi kesadaran bersama masyarakat tertentu dan berlaku efektif dalam mengatur kehidupan mereka. Hal ini sama terjadi dengan politik hukum. Politik hukum satu negara berbeda dengan politik hukum negara yang lain. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan latar belakang kesejarahan, pandangan dunia, sosio-kultural dan political will masing-masing pemerintah. Jadi dapat dikatakan, politik hukum bersifat lokal dan particular, bukan universal.




[1] Satjipto Raharjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung : Sinar Baru, 1985),hlm. 2; lihat pula Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum Indonesia : Penyebab dan Solusinya, ( Jakarta: Ghalia Indonesia,2002), hlm.33.
[2] Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Cet.II (Jakarta:Ghalia Indonesia,1986),hlm.160.
[3] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,Cet.III, (Bandung: Citra Aditya Bakti,1991), hlm.352.
[4] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Edisi I, Cet.IX, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,1999), hlm.14.

Komentar

Postingan Populer