Pemberantasan Korupsi Dalam Perspektif Filsafat Hukum
Berbagai upaya telah
dilakukan untuk memberantas memberantas korupsi. Diantaranya dengan
mengeluarkan peraturan perundang-undangan terkait tindak pidana korupsi seperti
UU No. 32 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Pencucian Uang, dan sebagainya. UU yang
ada ini tentu diharapkan dapat memberi pengaturan dalam hal pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Bahkan Negara membentuk sebuah lembaga
khusus pemberantasan tindak pidana korupsi bernama Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). KPK merupakan lembaga dengan kewenangan luar biasa dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi. Namun, sampai saat ini Indonesia masi harus berjibaku
dengan korupsi. Selain dar pandangan teori dan ilmu hukum, pemberantasan tindak
pidana korupsi dapat juga dilihat dari perspektif filsafat hukum.
1. Aliran Positivisme Hukum
Bagi aliran ini, hukum
hanya ditangkap sebagai aturan yuridis.[1] Teori hukum positif
mengajarkan bahwa hukum berasal dari ketentuan positif baik berupa undang-undang,
putusan hakim, kenyataan-kenyataan social dalam msyarakat, prinsip-prinsip umum
dalam hukum dan lain-lain.[2] menurut Austin, tata hukum
itu nyata berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan social, bukan
pula karena hukum itu bersumber pada jiwa bangsa, bukan pula karena cermin
keadilan dan logos, tetapi karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari
institusi yang berwenang.[3] Jadi dapat disimpulkan
bahwa hukum itu akan berlaku dipositifkan dalam bentuk undang-undang. Dalam
kasus Akil ini, salah satu penyebabnya adalah lemahnya pengawasan hakim MK.
Karena dalam aturan hukum positif yang ada, pengawasan hakim MK hanya dilakukan
oleh internal MK yang majelis kehormatannya bersifat ad hoc. Akibatnya pengawasan
MK tidak berjalan maksimal. Sehingga ketika MK diguncang skandal suap seperti
ini banyak pihak yang menyerukan agar perlu dipositifkannya pengaturan pengawasan
hakim MK. Poin ini pada akhirnya menjadi salah satu poin pengaturan yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan atas Undang-Undang MK.
Dengan adanya perppu ini
diharapkan dapat menjadi sebuah dasar hukum yang tegas dalam penyelematan MK.
Sebagaimana yang dinyatakan Austin, “law as command”. Bahwa hukum positif
adalah perintah berbuat atau tidak berbuat dari penguasa yang dipatuhi oleh
warga sebagai sebuah kebiasaan (habit). Austin pun merinci unsur-unsur perintah
sebagi berikut:[4]
1)
Adanya
kehendak dari satu pihak untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya itu
2)
Pihak
yang diperintah itu akan mengalami siksaan jika kehendak itu tidak dijalankan atau
ditaati dengan baik.
3)
Perintah
itu merupakan pembedaan kewajiban antara yang diperintah yang diperintah dengan
memerintah.
4)
Ketiga
unsur unsur di atas tidak terlaksana jika yang memerintah itu bukan orang yang
berdaulat.
Teori
ini menggambarkan betapa mengikatnya hukum positif. Oleh sebab itu perppu MK
ataupun UU yang akan dihasilkan tentang MK nantinya harus dipatuhi oleh semua
pihak, termasuk MK.
2.
Aliran
Hukum Alam
Menurut Lily Rasjidi
sebagaimana dikutip Muhammad Erwin,[5] hukum alam adalah hukum
yang sesuai dengan pembawaan kodrat manusia yang rasional. Keadilan dalam hukum
alam dianggap merupakan keadilan tertinggi, sehingga para pembuat hukum harus
tunduk pada hukum alam. Karena hukum yang dibentuk tidak boleh bertentangan dengan
hukum alam.[6]
Dalam hal pemberantasan
tindak pidana korupsi, hukum alam dapat dijadikan sebagai suatu cara untuk
memberi efek jera kepada para koruptor. Sebagaimana yang dirumuskan oleh Thomas
Aquino, salah seorang tokoh hukum alam irasional, bahwa salah satu bagian dari
hukum itu adalah lex naturalis, yaitu penerapan hukum yang tidak bisa dijangkau
oleh pancaindera manusia ke dalam rasio manusia.[7] Sehingga hukum yang telah ditentukan
manusia dapat diterima secara logis oleh manusia. Aliran hukum alam ini selalu
mengaitkan dengan agama.[8] Contohnya, kalau manusia
meyakini bahwa dia pasti akan dihukum oleh Tuhan atas perbuatan korupnya, maka
dia akan berusaha menghindari perbuatan tersebut. Apalagi kalau dia meyakini
bahwa dia pasti akan mati, maka seseorang akan selalu mewaspadai akan
tindakannya.
Sementara dalam aliran
hukum alam rasional, Grotius berpandangan bahwa rasio manusia bukan rasio
Tuhan. Rasio manusialah yang menjadi sumber hukum.[9] Secara rasio, manusia
tentu bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Dalam implementasi hukum dewasa
ini, nilai-nilai hukum alam ini dapat dielaborasi dengan hukum positif. Hukum
alam yang bersumber dari Tuhan, walaupun sanksinya tidak langsung, namun dapat
menjadi efek yang menakutkan bagi para pelakunya. Dalam hal ini, kalau Akil
menyadari akan kekuatan hukum alam dari Tuhan, Akil tentu akan berusaha
menghindari perbuatan suap.
3. Aliran Sociological Jurisprudence
Salah satu tokoh aliran sociological
jurisprudence, Roscue Pound menyatakan law is a tool of social
engineering (hukum sebagai pranata social atau hukum sebagai alat untuk membangun
masyarakat)[10].
Pound juga menyatakan bahwa untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses. Hukum
itu bukanlah kehendak penguasa melainkan merupakan kebiasaan. Hukum itu tidak
dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.[11]
Sehingga kebiasaan dalam
masyarakat merupakan sumber hukum terpenting dan dapat mengalahkan
undang-undang.
Sementara itu, Eungen
Ehrlich menyatakan bahwa Negara merupakan salah satu bentuk dari organisasi
social, sehingga pada perkembangan selanjutnya Negara menjadi sumber hukum utama.
Yang tentu hukum dalam Negara merupakan hukum positif.[12] Dalam upaya pemberantasan
korupsi, perkembangan social dalam msayarakat perlu diamati dengan optimal.
Dengan kebiasaan yang terus berkembang, upaya pencegahan dan pemberantasan
perlu disesuaikan. Seperti kasus suap Akil yang melibatkan pranata social yang
lain , yaitu organisasi poltik dan stratifikasi social. Kasus seperti ini perlu
dicermati pengaruh hukum terhadap gejala dalam masyarakat. Dan hukum dalam
kasus suap ini bisa dikatakan hukum, kalau mampu mengurangi tindakan suap yang
terjadi dengan paksaan fisik maupun psikologis. Sesuai pandangan sociological
jurisprudence, kasus suap yang melibatkan hakim, dapat dicegah kalau hukum
dapat memberi efek menakutkan bagi yang berniat mengerjakan dan hukum dapat
dikatakan hukum, kalau hukum mampu memberi sanksi bagi para koruptor.
[1] Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang
dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, Hlm. 98
[4] Agus Santoso, Hukum, Moral, dan Keadilan, Sebuah Kajian Filsafat Hukum,
Kencana Media Group, Jakarta, 2012, hlm. 54
[5] Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis terhadap Hukum,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.
[8] M. Agus Santoso, Hukum, Moral dan Keadilan, Sebuah Kajian Filsafat
Hukum, Kencana Prenada media Grup, Jakarta, 2012, hlm 50
Komentar
Posting Komentar