Faktor Terjadinya Korupsi
Korupsi sudah melanda
negeri ini sejak lama dan hampir menyentuh semua lini kehidupan masyarakat dan
berlangsung terus dalam bentuk yang lebih rumit (complicated) dan canggih
(sophisticated). Hal ini, juga menjadi salah satu penyebab sulitnya
memberantas tindak pidana korupsi ini. Sepertinya, korupsi sudah sampai pada
apa yang disebut oleh Robert Klitgaard sebagai "budaya korupsi".[1]
Tentu saja yang dimaksud
Klitgaard di sini bukan pada hakikat keberadaan “budaya” atau semua orang
Indonesia melakukan korupsi sehingga sulit untuk diperangi dengan cara apapun
karena kadangkala situasi kondusif yang menjadikan korupsi itu merasa nyaman
keberadaanya di tengah-tengah masyarakat karena korupsi sudah menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat juga yang dianggap biasa, seperti dalam kehidupan sehari-hari,
dimana untuk mempercepat suatu urusan, seseorang biasa memberikan “uang pelicin”
atau kebiasaan memberikan uang rokok (bakshish system),[2] serta memberikan fasilitas
dan hadiah, atau juga lebih diarahkan pada keengganan sebagian besar warga
masyarakat melaporkan oknum pejabat negara, birokrat, konglomerat, dan oknum
aparat hukum yang melakukan korupsi.
Apabila masyarakat mengetahui dan melihat
praktik korupsi secara kasat mata namun tidak berdaya mengatasinya, maka
hendaknya hal ini dilihat sebagai suatu ”fenomena” yang kemungkinan besar tidak
disadari oleh mereka dimana seolah-olah akar korupsi sudah sedemikian dalam dan
meluas.
Untuk mengetahui penyebab
atau causa dari tindak pidana korupsi perlu dikaji faktor yang
menstimulusnya, yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana korupsi.
Misalkan perbuatan korupsi yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara,
maka aspek organisasi adalah yang paling dominan penyebab terjadinya korupsi,
selain faktor aturan pijaknya yang ambiguistik dan masalah kesejahteraan yang
belum memadai. Faktor lain adalah karena lemahnya pengawasan dan kurang adanya
teladan dari pimpinan. Kelemahan sistem pengendalian manajemen, tidak sekedar
memberi peluang, bahkan cenderung telah menjadi kultur di dalam menutupi
korupsi pada suatu organisasi. Penyimpangan keuangan Negara tersebut seringkali
terjadi mulai pada saat persiapan, perencanaan, pembentukan maupun pada saat
pelaksanaan suatu anggaran keuangan negara atau pemerintahan daerah yang
biasanya termuat dalam suatu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Adapun sebab-sebab
terjadinya suatu tindak pidana korupsi menurut Soedjono Dirdjosisworo adalah
sebagai berikut :[3]
- Kurangnya kesadaran dan kepatuhan hukum di berbagai bidang kehidupan.
- Ketidaktertiban di dalam mekanisme administrasi pemerintahan.
- Pengaruh samping dari meningkatnya volume pembangunan yang meningkat secara relatif cepat.
- Masalah kependudukan, kemiskinan, pendidikan dan lapangan kerja, berkaitan dengan akibat dari padanya yakni kurangnya gaji pegawai dan buruh.
- Faktor-faktor sosial budaya yang berpengaruh terhadap psikologi perilaku misalnya kultur malu pada suatu keluarga apabila keluarga tersebut termasuk berkedudukan dan terpandang tetapi tidak mampu menampung dan memberi kesenangan kepada saudara-saudaranya. Keadaan ini akan mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan korupsi hanya karena sebuah gengsi status sosial.
Selain
dari itu menurut Krisna Harahap penyebab dari munculnya korupsi yang menyengsarakan
rakyat itu penyebabnya bisa dari faktor intern atau dari dalam maupun
dari faktor ekstern atau dari luar si pelaku.[4] Secara internal dorongan
untuk melakukan korupsi adalah karena :
Dorongan
kebutuhan
Seseorang
terpaksa korupsi karena gaji atau kesejahteraan mereka yang jauh dari mencukupi
dibanding dengan kebutuhannya yang sangat besar akibat beban dan tanggung jawab
yang sangat berat pula sehingga mereka melakukan segala upaya untuk memenuhi
kebutuhan tersebut.
Dorongan
keserakahan Orang yang korupsi karena serakah tentu saja tidak didorong oleh
kurangnya atau tidak mencukupinya kebutuhan tetapi didorong oleh rasa ingin
hidup lebih dan keinginan untuk memiliki barang-barang atau sesuatu yang tidak
akan terjangkau dengan kemampuan ekonominya. Mereka tidak puas akan apa yang
mereka miliki, jadi sepanjang ada peluang untuk melakukan korupsi maka mereka
akan melakukannya dan akan mengulanginya lagi secara terus menerus.
Sebaliknya
faktor-faktor eksternal atau dari luar si pelaku adalah :
Faktor
lingkungan
Terjadinya
korupsi juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat individu beraktivitas.
Lingkungan yang suasana dan kondisi yang menjadikan korupsi itu sebagai suatu
hal yang dianggap wajar.
Peluang
Terjadinya
korupsi juga sangat didorong oleh kesempatan atau peluang yang didapat oleh seseorang,
hal ini berkembang dan terjadi karena pengawasan yang sangat lemah. Mereka berangapan
bahwa kapan lagi mereka dapat melakukan korupsi ketika kesempatan itu memungkinkan
dan beranggapan bahwa semua orang melakukan hal yang sama.
Selain
dari pendapat di atas faktor yang menjadi penyebab terjadinya perbuatan korupsi
menurut Andi Hamzah adalah:[5]
- Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari semakin meningkat.
- Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang cukup permisif terhadap perbuatan korupsi.
- Manajemen yang kurang baik serta kontrol yang kurang efektif dan efisien.
- Pengaruh adanya modernisasi, karena modernisasi tersebut membawa perubahan- perubahan pada nilai dasar masyarakat, membuka sumber kekayaan dan kekuasaan baru, dan mengakibatkan perubahan dalam sistem politik.
Dari
faktor-faktor penyebab terjadinya perbuatan korupsi di Indonesia di harapkan
dapat menjadi suatu perhatian dalam rangka melakukan upaya pencegahan dan
pemberantasan secara komprehensif baik dari aspek individual, aspek
kelembagaan maupun dari segi aspek peraturan perundang-undangan.
Dilihat
dari faktor-faktor diatas, penyuapan yang melibatkan seorang hakim konstitusi
bisa dilihat dari banyak aspek. Diantaranya aspek sifat pribadi dari hakim itu
sendiri, yaitu dorongan keserakahan. Dengan jumlah pemasukan yang sudah cukup,
tidak logis ketika seorang hakim menerima suap akibat dorongan kebutuhan.
Perbuatan
Akil ini telah mencoreng dan meruntuhkan kepercayaan masyarakat kepada Mahkamah
Konstitusi. Dalam hal ini hukum sebagai sosial kontrol seharusnya mampu membersihkan
masyarakat dari sampah sampah masyarakat yang tidak dikehendaki sehingga hukum
mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok itu.[6]
[2] Syed Hussein Alatas, Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah
Penjelajahan dengan Data Kontemporer, LP3ES, Jakarta, 1982, hal. 19.
[3] Soedjono Dirdjosisworo, Pungli : Analisa Hukum dan Kriminologi,
lihat buku Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Strategi Pemberantasan
Korupsi Nasional, Jakarta, 1999, hal. 106
[5] Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya, Cetakan
Ketiga, Gramedia, Jakarta, 1991, hlm.16-24.
Komentar
Posting Komentar