Corruption ; Diskresi Neoliberalisme
Hari anti korupsi sedunia yang diperingati dalam setiap
tanggal 9 desember merupakan refleksi kesadaran diri bahwa selama masih membumi
fenomena peringatan hari anti korupsi di suatu negara itu membuktikan bahwa
ketimpangan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) masih mengakar
pada sistem pemerintahan dalam suatu Negara
tersebut. Hal
ini kiranya secara empirik dapat diarahkan pada fenomena korupsi, kolusi dan
nepotisme di yang terjadi Negara Indonesia.
Sebagai
negara yang populis dalam konteks fenomena korupsi, kolusi dan nepotisme telah
menghantarkan indonesia menduduki peringkat 107 negara paling korup di dunia
berdasarkan hasil indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2014 yang dirilis Transparency Internasional. Ini merupakan sebuah prestasi negatif yang telah lama mencoreng citra Indonesia
di mata internasional, Hal inilah yang mengimplikasikan
perekonomian indonesia tidak mampu mencapai fase kemapanan karena melalui celah
korupsi, kolusi dan nepotisme negara-negara adi-economi menggunakan
strategi vis a vis yang membenturkan antara penguasa dan penegakan supremasi hukum
guna memonopoli perekonomian dan pasar.
Supremasi Hukum Vs Neoliberalism
Menyikapi
vis a vis penguasa dan penegakan supremasi hukum, kiranya menjadi satu
proposisi ideal jika disandingkan melalui orientasi faktual yang dapat menjadi sebuah
analisis. Menarik satu problematika perekonomian yang sifatnya vis a vis di kota
Makassar yaitu tsunami Minimarket yang telah menjamur di kota makassar
yang tentunya secara tinjauan yuridis, ratusan minimarket di kota makassar tidak
memenuhi syarat azas legalitas. Hal ini kiranya terjadi melalui
polarisasi
tendensi politik dalam bentuk gerakan
laten hegomoni
dan diskursus "money" sebagai perangsang terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme yang dijadikan sebagai jembatan
perselingkuhan antara investor dan pemerintah terkait sehingga yang terjadi
adalah rapuhnya penegakan supremasi hukum di kota makassar dalam menangani kasus ini.
Menyikapi contoh kasus diatas sekiranya
berkenaan dengan telaah aksiologi The Luxicon Webster
Dictionary (1978) yang memaknai korupsi sebagai tindakan kebejatan, ketidakjujuran,
tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Kebijakan
(beschiking)
anormatif yang dikeluarkan oleh
pemerintah sebagai pemegang mandat kekuasaan pada kasus diatas telah menggeser
paradigma ekonomi kerakyatan kearah liberal, hal ini kiranya tidaklah
berlebihan jika diskresi pemerintah tidak melampaui batasan, tetapi jika
pemerintah menyandarkan pemahaman wewenang dalam sebagai bentuk diskresi freis ermessen
berarti salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagi pejabat atau badan
administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya
pada undang-undang, maka implikasi yang
memungkinkan tindakan yang melampaui wewenang (detournement de pouvoir), bahkan dapat
melawan hukum (onrechmatigover-heidsdaad), atau penyalahgunaan wewenang
(misbruik van recht).
Telaah
kritis dari contoh kasus diatas menggunakan sandaran analisis onrechmatigover-heidsdaad dan misbruik van recht
karena jika pemerintah secara sadar melakukan diskresi freis ermessen, maka menjadi
sebuah keniscayaan penegakan supremasi hukum akan berjalan sebagaimana mestinya
tanpa mengorbankan masyarakat dalam menghadapi dampak negative neolib yaitu
monopoli perekonomian dan pasar.
Komentar
Posting Komentar