Westernisasi Akar Kehancuran Bangsa
Menurut Widianto (2009) Berbagai
problem mengusik kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita hadapi pada saat
ini. Salah satunya yaitu adanya isu bahwa semakin banyak kebudayaan bangsa
asing yang masuk di Indonesia. Dewasa ini kita dihadapkan kepada tiga masalah
yang saling berkaitan. Pertama Suatu
kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari suku-suku bangsa, dengan latar
belakang sosio-budaya yang beraneka ragam. Kemajemukan tersebut tercermin dalam
berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu diperlukan sikap yang mampu mengatasi
ikatan-ikatan primordial, yaitu kesukuan dan kedaerahan. kedua Pembangunan telah membawa
perubahan dalam masyarakat. perubahan itu nampak terjadinya pergeseran sistem
nilai budaya. Pembangunan telah menimbulkan mobilitas sosial, yang diikuti oleh
hubungan antar aksi yang bergeser dalam kelompok-kelompok masyarakat. Sementara
itu terjadi pula penyesuaian dalam hubungan antar anggota masyarakat. Dapat
dipahami apabila pergeseran nilai-nilai itu membawa akibat jauh dalam kehidupan
kita sebagai bangsa. ketiga Kemajuan
dalam bidang teknologi komunikasi massa dan transportasi, yang membawa pengaruh
terhadap intensitas kontak budaya antar suku maupun dengan kebudayaan dari
luar. Khusus dengan terjadinya kontak budaya dengan kebudayaan asing itu bukan
hanya intensitasnya menjadi lebih besar, tetapi juga penyebarannya berlangsung
dengan cepat dan luas jangkauannya. Terjadilah perubahan orientasi budaya yang
kadang-kadang menimbulkan dampak terhadap tata nilai masyarakat, yang sedang
menumbuhkan identitasnya sendari sebagai bangsa.[1]
Menurut Moestopo (1983) Budaya
asing (westernisasi) yang masuk ke Indonesia tersebut tidak menutup kemungkinan
membawa dampak positif maupun negatif bagi bangsa Indonesia. Pengaruh tersebut
diantaranya yaitu:
a. Pengaruh
Positif
- Memberi
inspirasi bagi kita agar tidak tertinggal informasi tentang kecanggihan
teknologi.
- Menggunakan
sebagai motivasi untuk hidup yang lebih baik dan maju.
- Memberi
semangat bagi kita untuk memperkenalkan dengan Negara asing bahwa kebudayaan
Indonesia yang beragam mampu bersaing dengan kebudayaan mereka.
b. Pengaruh
Negatif
- Etika
atau cara berperilaku akan merubah seorang individu perilaku yang lama ke
perilaku baru. Pada awalnya individu etika yang lama sudah tidak sesuai dengan
peilaku yang ada sehingga ia cenderung merubah etikanya untuk menyesuaikan
dengan yang baru. Padahal etika yang baru belum tentu sesuai dengan norma
yang berlaku pada kehidupannya.
- Cara
berpakaian oleh para remaja yang terkena dampak ini akan menyesuaikan cara
berpakaiannya dengan kebudayaan yang ia pelajari. Pada awalnya individu merasa
tertarik untuk mencoba berpakaian yang berbeda untuk mengikuti tren yang sedang
marak namun lambat laun akan merubah gaya berpakaian untuk seterusnya.
- Adanya
teknologi yang canggih menyebabkan hidup seesorang cenderung ke arah hedonisme
dan arogan.
- Adanya
teknologi yang dirasa lebih berguna sehingga mengesampingkan tenaga manusia.
Padahal sebelum mengenal teknologi, masyarakat Indonesia menghargai jasa
manusia.[2]
Menurut
Habib (2011) kondisi jati diri bangsa Indonesia saat ini dapat kita kaji dan
kita identifikasi dengan melihat prilaku dan kepribadian masyarakat Indonesia
pada umumnya yang tercermin pada tingkah laku masyarakat Indonesia sehari-hari.[3]
Perilaku masyarakat Indonesia pada umumnya yang telah terjerat dalam lingkaran
westernisai saat ini yaitu Banyaknya generasi muda yang saat ini telah
berprilaku tidak sesuai dengan butir-butir pancasila. Sebagai contoh yaitu
sekarang ini banyak generasi muda yang tidak bertaqwa kepada Tuhan YME. Kita
lihat saja, sekarang ini banyak pemuda-pemudi muslim yang tidak memegang teguh
agamanya sesuai syariah Islam. Disamping fakta-fakta tentang sila pertama di
atas, fakta tentang keadaan jati diri bangsa Indonesia saat ini yang
berhubungan dengan sila kedua sebagai jati diri bangsa indonesia.
Sekarang ini banyak diantara pemuda indonesia yang tidak memanusiakan manusia
lain sebagai mana mestinya. Maksudnya yaitu mereka tidak menganggap manusia
berhakekat sebagai manusia yang mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihargai
seperti dirinya. Fakta-fakta lain yang terjadi dan mencerminkan terjadinya
krisis jati diri pada generasi muda sesuai sila ke-3 yaitu seperti memudarnya
rasa persatuan dan kesatuan yang terjadi pada generasi penerus bangsa Indonesia
saat ini.
Kemudian
selanjutnya fakta ke-4 yaitu mengenai kepemimpinan yang demokratis. Maksudnya
pemimpin di negara kita ini harus bersifat demokratis baik dalam hal
pemilihannya maupun ketika telah membuat keputusan/kebijakan umum yang terkait
dengan masyarakat karena kekuasaan tertinggi di negara kita ini sebenarnya
berada di tangan rakyat, dan para pemimpin hanya sebagai wakil/pelayan bagi
rakyat untuk mengatur dan mengambil kebijakan dalam negara demi tercapainya
kemakmuran bersama. Sekarang ini fenomena-fenomena pemimpin yang tidak
demokratis sudah banyak terjadi pada generasi muda saat ini, dan apabila hal
itu dibiarka saja berlanjut maka kelak ketika mereka menjadi pemimpin bangsa
ini, mereka akan bertindak seperti apa yang mereka biasakan sejak dini dan keadilan,
banyak fakta-fakta mengenai ketidakadilan yang di lakukan oleh generasi muda
bangsa Inonesia saat ini.
Secara
global dapat kita lihat kerusakan jati diri bangsa Indonesia yang merupakan
efek dari westernisasi saat ini yang berhubungan dengan aspek-aspek kenegaraan
yaitu: Pertama, fenomena besar krisis
multidimensional yang menimpa masyarakat, bangsa dan negara Indonesia adalah
suatu fakta yang signifikan hingga sampai saat ini.Memang telah dilakukan upaya
dan pendekatan untuk menyelesaikan krisis multidimensional yang mengenai
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun hasil dari upaya
national recovery, terutama economic recovery belum cukup memadai dan masih
jauh dari harapan seluruh rakyat Indonesia.
Kedua,
terdapat fenomena pengelolaan masyarakat, bangsa dan negara yang keliru atau
salah, sehingga bangsa dan negara Indonesia yang memiliki sumber daya alam
(SDA) dan sumber dalam manusia (SDM) yang besar, yang pada akhirnya kurang
berhasil membawa masyarakat, bangsa dan negara mencapai tingkat keadilan,
kesejahteraan dan kemakmuran yang memadai. Bahkan cenderung membawa sebagian
rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan.
Ketiga,
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia sedang menghadapi masalah mendasar
dalam memilih peminpin-peminpin bangsa dan negara yang memiliki komitmen
kebangsaan yang kuat dan memiliki kualitas diri yang tinggi, sehingga peminpin
bangsa dan negara tidak mampu memperlihatkan kualitas diri sebagai ‘negarawan
yang sejati’. Atau tidak mampu memiliki jati diri yang berjiwa Pancasilais yang
kokoh. Akibatnya banyak pemimpin bangsa dan negara memiliki moral dan ahlak
yang buruk atau busuk.
Keempat,
persaingan dan perseteruan kekuasaan (power) telah kehilangan dasar-dasar moral
dan akhlak, sehingga dalam kehidupan politik muncul etika materialisme dan
vulger yaitu menghalalkan segala cara atau jalan untuk mencapai tujuan
(kemenangan). Bahkan kondisi tersebut telah memperluas iklim KKN dan praktik
money politics, yang dapat merugikan semua pihak termasuk bangsa dan negara.
Kelima,
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia cenderung kehilangan semangat
kemandirian dan harga dirinya sebagai dampak ketergantungan dengan bangsa dan
negara asing, yang pada akhirnya melahirkan imperialisme gaya baru.
Keenam,
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia cenderung terjebak ke dalam pertarungan
luas antara budaya modern-materialistik yang datang dari luar (Barat) dengan
budaya tradisional dan konservatif yang hidup di masyarakat Indonesia, sehingga
melahirkan kehidupan bangsa dan negara yang paradoks dan permisif terhadap gaya
hidup materialistik, individualistik, liberalistik, hedonistik, dan vulgeristik.
Ketujuh,
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia cenderung tidak bersikap tegas, lugas,
dan tidak memiliki komitmen kuat dalam penegakan hukum, sehingga telah terjadi
kerusakan lingkungan hidup dan kondisi SDA, serta munculnya kerugian-kerugian
lain yang lebih parah.
Kedelapan,
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia belum siap melakukan transformasi
sosial sehingga belum mampu membangun masyarakat Indonesia modern yang lebih
rasional, terbuka, dan menghargai nilai Ipteks, yang pada akhirnya sulit untuk
melaksanakan rule of law.
Kesembilan, masyarakat,
bangsa dan negara Indonesia dapat dinyatakan belum memiliki komitmen yang kuat
untuk membangun kehidupan berdemokrasi yang berkualitas melalui pemilu. Dan,
belum memiliki komitmen dalam membangun pola-pola kehidupan masyarakat sipil
(civil society) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sehingga pembangunan
demokrasi masih diwarnai dengan tindak kekerasan dan konflik sosial yang
berkepanjangan.
Komentar
Posting Komentar