Solusi Ideal Dalam Pengembalian Jati Diri Bangsa



Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah dijabarkan dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai sumber dari keseluruhan politik hukum nasional Indonesia. Pancasila mengandung nilai dasar yang bersifat tetap, tetapi juga mampu berkembang secara dinamis. Dengan perkataan lain, Pancasila menjadi dasar yang statis, tetapi juga menjadi bintang tuntunan (lightstar) dinamis. Dalam kapasitasnya Pancasila merupakan cita-cita bangsa yang merupakan ikrar segenap bangsa Indonesia dalam upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil maupun spiritual. Nilai-nilai luhur yang tercantum dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang diharapkan mampu mewarnai perbuatan manusia Indonesia baik dalam melaksanakan secara objektif dalam penyelenggaraan negara maupun dalam kehidupan sehari-hari sebagai individu.

Ada faktor kesinambungan yang sangat mendasar yang kita anggap luhur dan menyatukan kita sebagai bangsa. Faktor kesi­nambungan yang mendasar itu ialah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Intisari dari faktor kesinambungan yang sangat men­dasar inilah yang tidak boleh berubah. Yang kita lakukan adalah melaksanakan dan mengamalkannya secara kreatif dalam menja­wab tantangan-tantangan baru yang terus menerus muncul dalam perkembangan masyarakat kita dan masyarakat dunia yang sangat dinamis. Dalam peralihan dari masyarakat terjajah menjadi masyara­kat nasional, Pancasila telah menjalankan fungsinya yang sangat penting. Tanpa Pancasila, masyarakat nasional kita tidak akan pernah mencapai kekukuhan seperti yang kita miliki sekarang ini. Hal ini akan lebih kita sadari jika kita mengadakan perban­dingan dengan keadaan masyarakat nasional di banyak negara, yang mencapai kemerdekaannya hampir bersamaan waktu dengan kita.

Selain itu , Pancasila telah menjadi obyek aneka kajian filsafat, antara lain temuan Notonagoro dalam kajian filsafat hukum, bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Sekalipun nyata bobot dan latar belakang yang bersifat politis, Pancasila telah dinyatakan dalam GBHN 1983 sebagai "satu-satunya azas" dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Tercatat ada pula sejumlah naskah tentang Pancasila dalam perspektif suatu agama karena selain unsur-unsur lokal ("milik dan ciri khas bangsa Indonesia") diakui adanya unsur universal yang biasanya diklim ada dalam setiap agama.

Pancasila selain sebagai akumulasi cerminan tatanan sosial budaya (local genius) bangsa indonesia, pancasila juga merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara. Suasana kebatinan itu di antaranya adalah cita-cita negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Pancasila mengandung nilai-nilai dasar seperti tentang cita-cita, tujuan, dan nilai-nilai instrumental yang merupakan arahan kebijakan, strategi, sasaran yang dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman. Ada cita-cita untuk mewujudkan persatuan yang melindungi dan meliputi seluruh bangsa, mengatasi paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan, mewujudkan keadilan sosial, dan negara yang berkedaulatan rakyat.

Mengenai hal evidensi atau isyarat yang tak dapat diragukan mengenai Pancasila terdapat naskah Pembukaan UUD 1945 dan dalam kata "Bhinneka Tunggal Ika" dalam lambang negara Republik Indonesia. Dalam naskah Pembukaan UUD 1945 itu, Pancasila menjadi "defining characteristics" = pernyataan jatidiri bangsa = cita-cita atau tantangan yang ingin diwujudkan = hakekat berdalam dari bangsa Indonesia. Dalam jatidiri ada unsur kepribadian, unsur keunikan dan unsur identitas diri. Namun dengan menjadikan Pancasila jatidiri bangsa tidak dengan sendirinya jelas apakah nilai-nilai yang termuat di dalamnya sudah terumus jelas dan terpilah-pilah.

Ketidakpastian, ikonsistensi, diskriminasi/tebang pilih dan kelambanan dalam segala aspek kehidupan yang telah menimbulkan kondisi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan dan pemerintah, terutama dengan dengan semakin marak dan terbukanya kegiatan dan atau tindakan amoral yang dilakukan secara bersama-sama di muka umum dengan mengatasnamakan suku, agama dan/atau daerah yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya kerugian, ketidak-nyamanan, keresahan dan hilangnya rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, belum berjalannya reformasi sikap mental, perilaku dan rasa pengabdian di kalangan serta institusi legislatif menimbulkan kekuatiran yang mendalam akan semakin sulitnya mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat adil dan makmur. Semakin berkembangnya egoisme, oportunisme dan primordialisme yang terefleksi dari berbagai kegiatan kelompok masyarakat, elit politik di berbagai daerah dan kebijakan publik berbagai pemerintah daerah semakin mengikis rasa kebangsaan dan mempersulit tumbuh kembangya sistim hukum nasional yang berbasis pada nilai-nilai kebhinekaan sebagai ciri utama dan kepribadian bangsa Indonesia.

Perkembangan-perkembangan yang telah diuraikan diatas tadi merupakan sebagian kecil masalah-masalah yang sering timbul dalam hal mempersoalkan tatanan kehidupan dan system yang merupakan pilar pentinga dalam tongkat estafet aktualisasi cita-cita bangsa. Kita harus sungguh-sungguh mengonkretkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk juga di dalam menghasilkan berbagai produk hukum. Pada waktu lalu Pancasila sudah dinyatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Kalau benar-benar ingin merevitalisasikannya, kita harus konsisten melaksanakan prinsip ini.

Indonesia adalah sebuah novum di dalam sejarah. Ia terdiri dari sekumpulan orang dengan derajat kemajemukan yang tinggi, namun ingin bersatu menyelesaikan berbagai persoalan bersama. Inilah keindonesiaan itu. Inilah yang mesti terus-menerus dibina. Keindonesiaan mesti tertanam di dalam hati sanubari setiap anak bangsa yang berbeda-beda ini sebagai miliknya sendiri dan inilah sebenarnya kunci untuk bagaimana indonesia tetap dapat terus maju melangkah mewujudkan visi ASEAN Community 2015 tanpa takut akan ASEAN Global Impact yang diperkirakan akan menggerus habis-habisan segala nilai-nilai luhur  bangsa. Sehingga pancasila seharusnya disikapi dengan arif dan kepala dingin, dengan berpikir dan bertindak agar Pancasila tetap sakti dan lestari sebagai falsafah, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan sebagai dasar dan ideologi negara. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan perjanjian luhur seluruh anak bangsa Indonesia yang sangat majemuk, dan menghormati serta menjamin hak dan martabat kemanusiaan.

Yang dimana kondisi kekinian ekonomi indonesia berada pada posisi yang konirmatif terhadap pendekatan Gramscian-Foucauldian yang dijadikan sebagai panduan. Temuan-temuan yang diperoleh memperlihatkan bahwa memang terdapat keyakinan mendalam akan paradigma neoliberal dalam formasi kebijakan ekonomi di Indonesia, yang mempengaruhi minimnya langkah-langkah dan strategi persiapan ekonomi Indonesia selama periode 2025 menuju agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.[1]

Hal ini diakui oleh komunitas epistemis liberal tidak dapat dilepaskan dari kampanye penyebarluasan gagasan-gagasan atau visi liberal, di mana pada titik inilah mekanisme konsensual hegemoni tersebut diterapkan. Kampanye gagasan yang dilakukan oleh komunitas liberal telah berhasil mentransformasikan arah kebijakan ekonomi Indonesia dari yang bersifat sentralistis menuju kepada liberalisme. Oleh karena itu, gerakan-gerakan sosial yang terdiri kelompok-kelompok yang tidak terjebak dalam ilusi pasar bebas dan liberalisasi perdagangan harus terus melakukan upaya dekonstruksi, suatu upaya untuk meruntuhkan neoliberalisme dari posisi hegemoninya dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Kapasitas negara dalam menjalankan dua fungsi dasarnya harus ditingkatkan. Dalam mekanisme perjuangan hegemoni, posisi dominan neoliberalisme sebagai visi dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia dapat diperoleh melalui cara-cara yang bersifat konsensual. Dengan demikian, terdapat persetujuan dari dalam tubuh pemerintah sendiri atas visi neoliberal yang telah terinternalisasikan ini. Karenanya, sulit untuk mengharapkan perubahan dan kesadaran hegemoni dapat muncul dari dalam pemerintahan. Keberhasilan gerakan sosial untuk melakukan counter hegemoni, dengan demikian dapat membebaskan pemerintah Indonesia dari hegemoni neoliberalisme. Suatu visi yang baru, suatu paradigm pembangunan yang memihak kepada rakyat harus dibangun dan disebarkan untuk menggantikan posisi dominan dari neoliberalisme.[2]

Ketika telah muncul suatu paradigma yang tegas dan jelas dengan posisi dan kapasitas pemerintah yang kuat dalam membangun perekonomian, sebagaimana cita-cita pendirian negara ini dalam Pembukaan UUD 1945, maka akan terwujud kebijakan-kebijakan yang secara substantif dapat meningkatkan kinerja dan daya saing perekonomian. Berbagai kebijakan-kebijakan yang membawa dampak negatif terhadap perekonomian rakyat dan melemahkan negara dalam menjalankan fungsi dasarnya, terutama dalam bentuk kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas, seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN, harus ditinjau ulang di bawah paradigma memihak kepada rakyat / ekonomi kerakyatan.




[1]  Dodi Mantra (2011), Hegomoni dan Diskursus Neoliberalisme, Bekasi ; Mantrapress.hlm.235.
[2]  Ibid…….hlm.236-237.

Komentar

Postingan Populer