Asean Global Impact ; Tantangan dan Ancaman Indonesia
Perubahan-perubahan
dalam bidang ekonomi yang terjadi di Asia, utamanya Asia Timur merupakan salah
satu perkembangan yang paling signifikan yang terjadi di dunia selama paro abad
XX. Selama tahun 1990-an, perkembangan ekonomi ini menjadi sebab terjadinya ueforia ekonomi di kalangan pengamat
yang melihat Asia Timur dan seluruh lingkaran pasifik yang menghubungkan
jaringan perluasan perdagangan yang dapat memberikan jaminan bagi terciptanya
perdamaian dan keharmonisan antarbangsa. Optimism ini didasari pada asumsi,
yang bagaimanapun juga masih diragukan bahwa hubungan timbal balik dalam bidang
perdagangan tidak lebih sebagai sebuah hubungan yang dilakukan demi kekuatan.
Namun, bagaimanapun juga, bukan itu yang menjadi persoalan. Pertumbuhan ekonomi
dapat menjadi sebab terjadinya instabilitas politik baik dalam negeri maupun
dalam konteks hubungan antarnegara, memcu terjadinya balance of power diantara perlbagai Negara dan wilayah regional.
Perdagangan antarnegara dapat memicu terjadinya konflik sebagaiamana ia dapat
menghasilkan keuntungan jika pengalaman masa lalu terulang kembali, kejayaan
ekonomi Asia menggerakkan sebuah bayang-bayang politis Asia, instabilitas dan
konflik di wilayah Asia.[1]
Pada tahun
1950-an, Lester Pearson mengingatkan bahwa manusia akan memasuki “suatu abad
ketika berbagai peradaban yang berbeda mulai belajar hidup berdampingan secara
damai, saling memahami antara saru dengan yang lain, mempelajari sejarahm
cita-cita, seni dan kebudayaan serta saling memperkaya kehidupan masing-masing.
Sebagai dampak dari kondisi dunia yang semakin menyempit ini terjadi
kesalahpahaman, syarat ketegangan, benturan dan bencana.[2]
Analisis Lester
Pearson dan Samuel.P Huntington terbukti disaat memasuki era globalisasi, ASEAN
menjadi salah satu kekuatan besar Asia yang dapat berdampak sistemik dan dapat
mempengaruhi perekonomian Asia bahkan perekonomian dunia tetapi dibalik semakin
intens dan kuatnya kerjasama antarnegara Asia Tenggara ini berdampak pada
keharmonisan antarmasyarakat bahkan antarnegara, seperti konflik SARA terjadi
di Myanmar selatan yang dimana kelompok minoritas rohingya mendapatkan
penindasan, Reformasi yang berulang-ulang yang terjadi di Thailand yang
menyebabkan kudeta perdana menteri Thailand serta konflik Turatorial (wilayah)
antara Indonesia dan Malaysia yang seringkali menyebabkan ketegangan kerjasama
antarnegara.
Menurut Li
Xiangiu (1992), Masyarakat-masyarakat Asia memiliki kepentingan-kepentingan
yang vis-à-vis dengan kepentingan barat untuk mempertahankan nilai-nilai
tersebut dan mengedepankan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka sendiri
sehingga menuntut adanya bentuk kerjasama baru. Hal itulah yang kemudian
menjadi sebab lahirnya Persatuan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan
pertemuan masyarakat ekonomi Asia Timur. Kepentingan menbekas dari masyarakat
Asia Timur adalah untuk memperoleh akses pasar ke Barat, dan tampaknya dalam
jangka panjang, regionalism ekonomi mulai diberlakukan dan karenanya masyarakat
Asia Timur harus meningkatkan penanaman modal serta perdagangan di Asia itu
sendiri.[3]
Sekiranya dari
akar pemikiran Li Xiangiu inilah yang menjadikan ASEAN melahirkan desainan
komunikasi politik baru dalam berbagai hal dengan Negara-negara Non-ASEAN untuk
bagaimana melakukan perputaran perekonomian secara global yang menjadi cikal
bakal lahirnya kesepakatan ASEAN Community 2015. Pada saat ini ASEAN Community
2015 belum terlaksana tetapi derasnya arus pasar bebas telah menjadi salah satu
faktor negatif antarnegara Asia Tenggara yang menyebabkan distabilitas
perekonomian dikarenakan ketidaksiapan Negara menghadapi Global Impact
mempengaruhi tatanan system politik dan pemerintahan.
Secara
komprehensif hal ini dapat dilihat dari efek domino arus pasar bebas dan
investasi asing yang terjadi di indonesia, sektor perekonomian indonesia
didominasi oleh kacamata asing, hasil bumi indonesia di kuasai oleh asing. Bahkan
di perparah lagi indonesia seakan-akan telah kehilangan jati diri tergerus oleh
system capitalism yang menghancurkan local genius bangsa dan menyulam
westernisasi masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Bahkan dibalik ASEAN
Community 2015 terselip persaingan antara AS dan Cina yang dimana diplomasi
ekonomi-politik Cina telah meningkat menjadi sangat tidak terlihat dan cerdik.
Hal ini tampak disaat Cina mempertahankan klaimnya atas pulau Spartly dan
paracel yang melingkar di Laut Cina Selatan, dan menolak panggilan untuk pembicaraan
multilateral mengenai konflik Spartly, Cina justru melakukan negosiasi satu per
satu ke masing-masing negara yang terlibat konflik tersebut. Adanya persaingan
eksistensi antara AS dan Cina di kawasan ini, secara tidak langsung membawa
Asia Tenggara kedalam politik strategi AS dalam menghadapi Cina. Ada dua
ancaman militer Cina terhadap Asia Tenggara yang secara tidak langsung
memberikan keuntungan bagi AS dalam strateginya terhadap Cina. Dua ancaman
militer konvensional dari Cina membutuhkan respon AS tersebut adalah. Pertama, hegemoni Cina yang agresif di
Asia Tenggara mengancam kebebasan pelayaran di Laut Cina Selatan, sehingga
membuat AS, Jepang, bahkan negara-negara Asia Tenggara masuk dalam politik Cina
tersebut. Dengan demikian AS dapat memanfaatkan kondisi tersebut dengan akan
mencari dukungan dari negara-negara ASEAN untuk menjada keamanan jalur laut
atau justru sebaliknya, ada kemungkinan negara-negara ASEAN sendiri yang akan
meminta bantuan Angkatan Laut AS. Jika demikian maka AS dapat membawa serta
Angkatan Udaranya dengan dalih untuk mrlindungi pasukan AL-nya, serta
mengamankan fasilitas teritori ASEAN dari serangan militer Cina.
Situasi kedua adalah adalah Cina dapat saja
mencoba membangun dan mempertahankan kontrol fisik atas hampir keseluruhan
kepulauan Spartly, yang diklaim sebagai wilayahnya. Ketidakpastian di perairan
Laut Cina Selatan ini tentu saja menciptakan ketegangan keamanan. Dalam kondisi
tertekan seperti ini akan mendorong negara-negara ASEAN untuk mencari dukungan
dari kekuatan yang dapat mengimbangi Cina. Sehingga sangat mungkin bagi ASEAN
untuk meminta kehadiran militer AS yang lebih tampak dan substansial.
Pada akhirnya,
kepentingan-kepentingan AS di Asia Tenggara akan terus meningkat. Mulai dari
kepentingan ekonomi: Asia Tenggara sebagai patner ekspor dan impor, pasar
produk dan industri jasa, dan investasi. AS juga tidak punya pilihan lain bahwa
jalur Asia Tenggara akan menjadi prioritas utama untuk kelancaran
perekonomiannya dan juga merupakan kawasan kunci dalam pergerakan militer AS.
Secara politis Asia Tenggara akan memberikan pengaruh yang besar dalam
negara-negara kawasan ini terhadap kampanye AS tersebut akan memiliki arti yang
sangat penting bagi AS. Pada akhirnya ada keharusan bagi AS untuk menghadirkan
militernya di kawasan ini dalam konteks pengamanan terhadap kepentingan
tersebut..
Tetapi, diluar
konteks gerakan laten antara AS dan jepang, ada hal yang dapat dijadikan
pembelajaran sebuah Negara yang diaman kesadaran jepang berupa nasionalisasi
local genius sebagai landasan gerak system pemerintahannya sehingga jepang
mampu tampil sebagai Negara yang berada di “garda depan” perkembangan Asia,
untuk berpaling dari “kebijakan Asianisasi dan pro-westernisasi” masa lalunya
serta menempuh “jalan re-Asianisasi”, atau dalam konteks yang lebih luas,
mempromosikan “Asianisasi Asia”, sebuah kebijakan yang dikemukakan oleh para
pejabat singapura.[4]
Dan kemajuan Asia akan dapat terwujud jika suatu bangsa mengedepankan
prinsip-prinsip “nilai-nilai Asia adalah
nilai-nilai universal, nilai-nilai eropa hanya untuk orang-orang eropa” demikian
pernyataan perdana menteri Mahathir di hadapan para para kepala pemerintahan
Negara-negara eropa pada tahun 1996. Pernyataan perdana menteri Mahathir
sebenarnya merupakan akumulasi kemuakan akan gerakan neo kolonialisme Negara
amerika dan eropa yang dilakukan dengan berbagai macam cara sehingga
menghadirkan kebergantungan bangsa-bangsa Asia dan menunjukkan mbuktikan bahwa
Asia merupakan Bangsa yang besar dan beradab.
[1] Huntington.(2003), Benturan
antarperadaban dan masa depan politik dunia. Yogyakarta;
PT.Qalam.hlm.405-406.
[2]
Lester Pearson (1995), Democracy in World
Politics. Princenton ; Princenton University Press.hlm.83-84.
[3]
Li Xiangiu (1992), A Post-Cold War Alternative From East Asia. Straits Times.hlm.24.
[4]
Yotaro Kobayashi (1992), Re-Asianize Japan. New Perspectives
Qarterly.hlm.20 ; Funabashi (1992), The Asianization of Asia.hlm.77 ; George
Yong-Soon Yee (1992), New East Asia in a Multicultural World, Internasional
Herald Tribune.hlm.9.
Komentar
Posting Komentar