Tingkatan - Tingkatan Persepsi Mulla Sadra

Pada daftar istilah penting yang sama, Mulla Sadra juga memberikan defenisi lain yang dapat membantu kita dalam memahami tujuan akhir dari suatu persepsi. Istilah tersebut adalah “dzihn” yang artinya “pikiran.” [1])  Mulla Sadra menulis, “Pikiran adalah potensi jiwa untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang belum pernah dicapai sebelumnya.” (3:515, 325.35).
Dengan mengikuti pandangan umum filsafat Islam-Yunani (Graeco-Islamic), Mulla Sadra memahami bahwa jiwa atau diri manusia mempunyai beberapa fakultas dan tingkatan-tingkatan aktualisasi yang dimulai dari tingkatan tumbuhan dan hewan. Jiwa tersebut mengatualkan dirinya melalui potensi pemahamannya. Tujuan jiwa di dalam wujudnya adalah untuk bergerak dari potensi mengetahui ke mengetahui secara aktual. Ketika pengetahuan potensialnya menjadi benar-benar aktual, ia tidak lagi disebut sebagai ‘jiwa,’ ia sudah menjadi ‘akal,’ atau ‘akal dalam perbuatan.’ Dalam pandangan Mulla Sadra, potensi jiwa manusia untuk mencapai pengetahuan aktual disebut ‘pikiran.’
Pikiran dapat mengetahui segala sesuatu melalui persepsi. “Persepsi” adalah penyebutan bagi perbuatan yang dilakukan oleh jiwa untuk mengetahui, apapun objek yang diketahuinya. Jika kita memandang persepsi dari sisi ‘yang mempersepsi,’ maka persepsi tersebut mempunyai empat jenis dasar. Dalam setiap persepsi, pikiran bertemu dengan ‘bentuk’ sesuatu, yakni kuiditas atau realitas akalnya, bukan materinya. Namun, keempat persepsi tersebut mempunyai keadaan yang berbeda-beda dalam masing-masing ‘pertemuannya.’ Perbedaan-perbedaan tersebut berhubungan dengan instrumen persepsi dan modalitas eksistensi objek yang dipersepsi (perceptible’s existence).
Tingkatan persepsi yang pertama adalah persepsi indra (al-hiss). Pada tingkatan ini bentuk objek persepsi mewujud di dalam materi, dan yang mempersepsi menemukan bentuk tersebut di dalam wujud-wujud material. Pada dasarnya wujud dari objek-objek tersebut adalah aksiden-aksiden [2]) Aristotelian, misalnya kuantitas, kualitas, waktu, tempat, dan keadaan. Di dalam eksistensi eksternalnya sebagai sesuatu, bentuk tersebut terpisah dari atribut-atribut aksidental, dan sebenarnya melalui atribut-atribut itulah kita dapat memahami objek tersebut melalui indra. Dan materi yang menjadi wadah tempat bentuk tersebut mewujud, tidak akan pernah dapat dipahami dalam hakikat kemateriannya, karena ia adalah eksistensi yang terjauh dan paling gelap, suatu wujud yang hampir tidak akan bisa diketahui secara tepat sampai kapanpun.
Tingkatan persepsi yang kedua adalah imajinasi (khayal, takhayyul) yang sebenarnya juga mempersepsi objek-objek indrawi dalam semua karakteristik dan kualitasnya. Namun, berbeda dengan persepsi indra, imajinasi dapat memahami suatu objek tanpa perlu mensyaratkan kehadiran objek tersebut bagi indra.
Tingkatan persepsi yang ketiga adalah wahm. (Para filosof) abad pertengahan menterjemahkan kata ini sebagai “estimao,” tetapi pemikir modern tidak sependapat dengan makna yang sebenarnya dari kata ini dan bagaimana menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris (yang tepat). Saya (W.C. Chittick, ed.) sendiri menterjemahkannya sebagai “intuisi indra” (sense intuition), hanya untuk memaksudkan statusnya sebagai perantara antara akal dan indra. [3]) Menurut Mulla Sadra, wahm adalah persepsi dalam makna pahaman akal tetapi pensifatan makna tersebut adalah sesuatu yang partikular, sesuatu yang bersifat indrawi. Di dalam intuisi indra, jiwa memahami sesuatu yang universal, tetapi masih di dalam suatu partikular dan bukan universal itu sendiri.
Tingkatan persepsi yang tertinggi adalah inteleksi (ta’aqqul), [4]) yakni persepsi terhadap kuiditas sesuatu dan bukan yang lain. 3)
Apa yang membedakan tingkatan-tingkatan persepsi tersebut adalah derajat “keterlepasan” (disengagementtajarrud), suatu istilah yang memiliki makna penting di dalam tulisan-tulisan Mulla Sadra. Sekali lagi, tajarrud adalah salah satu istilah dimana pemikir modern tidak sependapat dalam menerjemahkannya. Umumnya, kata ini diterjemahkan sebagai “abstraksi,” suatu kata yang mengaburkan makna kata tajarrud yang sebenarnya. 4) Sesuatu “yang terlepas” bukan hanya bebas dan berada di luar materi, tetapi juga berada di dalam suatu wilayah eksistensi dan kesadaran yang kuat. Secara umum, di dalam filsafat Islam, beberapa konsep yang menjelaskan tujuan akhir penyempurnaan manusia, telah memaknai kata tajarrud ini dengan makna yang lebih signifikan. Di dalam arti yang sebenarnya, tajarrud ini dinisbatkan (hanya) kepada Allah, yakni Wujud Wajib dalam diriNya sendiri, karena (hanya) Wujud Wajib-lah yang tidak memiliki keterhubungan maupun keterikatan dengan apapun selain diriNya sendiri. Dalam pengertian yang lebih khusus lagi, tajarrud adalah atribut akal yang mampu melihat segala sesuatu dalam hakikatnya, yakni tanpa gangguan kekaburan yang disebabkan oleh imajinasi dan persepsi indra. 5)  Tajarrud ini juga menjadi atribut [5]) dari bentuk-bentuk atau kuiditas-kudiditas yang dipahami oleh akal.
Menurut Mulla Sadra, empat tingkatan persepsi harus dibedakan berdasarkan derajat keterlepasan yang dicapai oleh objek-objek persepsi (perceptibles).
Tingkatan pertama, yakni persepsi indra, dapat dipahami di dalam tiga kondisi yang ditentukan oleh sifat-sifatnya: pertama, materi harus hadir pada instrumen persepsi, yakni bahwa jiwa memahami sesuatu secara eksternal di dalam wujud materialnya. Kedua, bentuk sesuatu tertutupi oleh kualitas-kualitas dan sifat-sifatnya yang bisa dipahami. Ketiga, sesuatu yang dipersepsi secara indrawi adalah sesuatu yang partikular, bukan universal.
Pada tingkatan kedua, yakni imajinasi, objek-objek persepsi terlepas dari syarat pertama dari tiga syarat pada persepsi indra, yakni objek tersebut terlepas dari wujud material karena kehadiran eksternal sesuatu dalam persepsi imajinasi tidak dipersyaratkan.
Pada tingkatan ketiga, objek-objek intuisi indra terlepas dari wujud material maupun kualitas-kualitas dan sifat-sifat khususnya.
Pada tingkatan terakhir, objek-objek pahaman akal terlepas dari ketiga syarat di atas, karena akal hanya memahami objek-objek universal. 6)
Mulla Sadra menyimpulkan penjelasannya tentang tingkatan-tingkatan persepsi dengan mengatakan bahwa keempat tingkatan tersebut dapat direduksi menjadi tiga saja, karena baik imajinasi maupun intuisi indra, keduanya merupakan penghubung antara akal dan indra. 7)


[1]) Isim nakirah-nya adalah dzihnun, artinya sama dengan adzhaanun. Di dalam kamus-kamus umum kedua kata ini sering diartikan ingatan (mind) atau akal (intellect)

[2]) Aksiden secara harfiah berarti “sesuatu yang jatuh pada yang lain.” Dalam pengertiannya yang lebih luas, aksiden adalah sesuatu yang ditambahkan kepada substansi atau hakikat. Sebagai contoh, apel merah. Dalam hal ini, warna merah adalah aksiden bagi apel, namun warna merah tersebut bukanlah apel itu sendiri, tetapi warna merah tersebut adalah sifat yang ditambahkan kepada apel. Jika karena sesuatu hal apel tadi berubah menjadi warna hitam, maka ke-apel-an apel tadi akan tetap lekat pada apel tersebut, inilah yang disebut substansi, yakni wadah atau tempat sifat-sifat, sehingga walaupun apel tadi sudah berubah warna menjadi hitam, ia tetap disebut apel, yaitu apel hitam. Warna merah dan hitam bagi apel tersebut disebut aksiden. Aksiden biasanya digunakan untuk menjelaskan suatu substansi secara lebih rinci. Harus diingat, substansi boleh ada tanpa tergantung kepada aksiden. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Cetakan ketiga, hal. 31-32 dan Robert Audi (editor), The Cambridge Dictionary of Philosophy, Cambridge University Press, edisi kedua, hal. 5
[3]) Menurut Ibn Sina, wahm adalah kemampuan untuk merasakan suatu pengalaman mental dari suatu kejadian yang berbeda dengan kejadian yang aktual. Lihat Prof. Parviz Morewedge, The Metaphysics of Ibn Sina;  Prof. M. Said Syaikh, Dictionary of Muslim Philosophy, Institute of Islamic Culture, Lahore, 1970; juga lihat Dictionary of Islamic Philosophical Terms di www.muslimphilosophy.com.
[4]) Inteleksi (intellection) adalah persepsi akal.
[5]) Atribut adalah sifat-sifat yang dilekatkan pada sesuatu. Secara umum, atribut dapat dibedakan menjadi yakni atribut esensial, yakni sifat yang harus melekat pada sesuatu yang tanpa sifat tersebut maka sesuatu itu tidak bisa meng-ada, serta atribut akidental dimana wujud sesuatu tidak tergantung pada sifat-sifat ini, yakni sifat tersebut bisa ada dan bisa tidak. Misalnya “buku baru.” Dalam pernyataan ini, “baru” adalah atribut, tepatnya atribut aksidental, karena buku tidak tergantung kepada sifat baru, maksudnya buku tersebut akan tetap disebut buku walaupun tidak baru lagi. Lihat penjelasan yang lebih lengkap pada penjelasan kata “property” di dalam Robert Audi (editor), The Cambridge Dictionary of Philosophy, Cambridge University Press, edisi kedua, hal. 751-752.
Dalam pemahaman filsafat dan metafisika, atribut sering disamakan dengan predikat.

Komentar

Postingan Populer