Persepsi Menurut Mulla Sadra

Pada bagian akhir dari bagian pertama empat kitab al-Asfar, Mulla Sadra memberikan berbagai defenisi sekitar tiga puluh kata yang dianggap perlu di dalam mendiskusikan modalitas pengetahuan (al-‘ilm). Dalam daftar kata tersebut, Mulla Sadra menempatkan kata “persepsi” sebagai kata pertama. Di dalam mendefenisikannya, Mulla Sadra memulai penjelasannya dengan makna literal kata persepsi tersebut. Sebagaimana yang terdapat di dalam banyak kamus bahasa Arab, memang kata “persepsi” ini memiliki banyak makna, seperti halnya perolehan (attaining), pencapaian (reaching), kedatangan (arriving), penangkapan (catching), penggenggaman (grasping), pemahaman (comprehending), dan kecerdasan (discerning). Mulla Sadra menulis,
Idrak adalah “perjumpaan (liqa’) dan kedatangan (wusul).” Ketika potensi akal sampai pada kuiditas [1]) pahaman akal dan mencapainya, inilah yang disebut persepsi. Di dalam filsafat, makna yang dimaksud dalam suatu kata berhubungan dengan makna harfiahnya. Artinya, persepsi dan perjumpaan yang benar hanyalah perjumpaan dalam pengertian ini, yakni persepsi oleh pengetahuan. Perjumpaan dalam pengertian pisik bukanlah perjumpaan yang sebenarnya. (al-Asfar 3:507, 323.31) 1)
Sebelum sampai pada pembahasan selanjutnya, terlebih dahulu kita harus menyinggung beberapa issu yang muncul dari defenisi persepsi ini. Seperti filosof Muslim yang lain, Mulla Sadra juga menganalisa diri manusia (human self) dengan membaginya dalam berbagai fakultas. Namun di dalam bahasa Arab, kata “fakultas” diterjemahkan menjadi “quwwah” yang juga bisa berarti “potensialitas,” suatu kata yang maknanya diperlawankan dengan “aktualitas.” Dengan demikian, setiap fakultas pada saat yang sama juga adalah suatu potensialitas; dengan kata lain, quwwah pun dapat diterjemahkan sebagai “potensi.” Dua pengertian ini memiliki makna yang sangat penting di dalam semua karya-karya Mulla Sadra, karena analisis-analisisnya terhadap jiwa manusia sangat tergantung pada suatu pandangan yang menganggap jiwa manusia sebagai suatu potensialitas besar yang mengarahkan setiap potensialitas yang lain yang diberi nama sesuai dengan fakultas-fakultas tersebut.
Di dalam defenisi persepsi ini, Mulla Sadra memaksudkan bahwa kekuatan dan potensi diri untuk mengetahuai adalah dengan “potensi akal” (intellective potency). Ketika kekuatan ini mencapai suatu objek, maka ia akan bergerak dari potensialitas ke aktualitas. Adapun derajat aktualitas yang dicapainya menjadi tema dasar yang harus dijelaskan selanjutnya.
Di dalam defenisi ini, Mulla Sadra mengatakan bahwa melalui persepsi, potensi akal akan sampai pada “kuiditas” sesuatu. Dengan kata lain, ketika persepsi terjadi, kita sampai pada pengetahuan “apa” yang menjadi objek persepsi tersebut. Demikian juga, Mulla Sadra menekankan di dalam kata kedua pada daftar kata atau istilah teknis yang dibuatnya, yakni kata syu’ur atau “kesadaran,” bahwa persepsi memerlukan pengetahuan terhadap kuiditas sesuatu. Menurutnya, kesadaran adalah pemahaman sesuatu tanpa “pencapaian kestabilan” (achieving fixity, istitsbat), yakni tanpa (perlu) mengetahui dengan pasti (ascertain) tentang keapaan sesuatu. 2) Mulla Sadra menambahkan, “kesadaran adalah tingkatan pertama dari kedatangan pengetahuan pada potensi akal. Dengan demikian, kesadaran hanyalah persepsi yang belum stabil. Itulah karenanya tidak dikatakan bahwa Allah ‘sadar’ terhadap segala sesuatu” (3:508, 323.34), tetapi dikatakan bahwa Dia ‘memahami’ segala sesuatu.
Sesuatu yang dipahami adalah suatu “pahaman akal” (intelligible), yakni suatu objek yang diketahui oleh akal (intelligence). [2]) Pahaman akal disebut “bentuk” (surah) sesuatu. Disini, ‘bentuk’ tersebut diperlawankan dengan ‘materi’ (maddah), yakni yang bukan pahaman akal (unintelligible) di dalam  dirinya sendiri. Sesuatu yang bisa kita dapat pahami dengan sebenarnya adalah ‘bentuk,’ bukan materi. [3])
Akhirnya, di dalam defenisi ini Mulla Sadra ingin menegaskan bahwa idrak yang sebenarnya – yakni perolehan, pencapaian, kedatangan, dan perjumpaan yang sebenarnya – berhubungan dengan pengetahuan dan bukan dengan tubuh pisik. Hal ini mengingatkan kita bahwa persepsi terhadap sesuatu yang benar akan tercapai jika pelaku akal (intelligent agent) bertemu dengan objek pahaman akal (intelligible object). Setiap perolehan yang sifatnya pisik hanya akan cepat hilang dan cepat berlalu. Demikian juga, pada tingkat tertentu, nilai kebenaran suatu persepsi yang ‘dikotori’ oleh materialitas pisik akan menjadi tidak sempurna, karena ‘bentuk’ yang dipahami akan dikaburkan oleh media persepsi dan situasi eksternal objek yang dipersepsi tersebut.


[1]) “Kuiditas” mempunyai pengertian yang sama dengan “esensi,” yakni “keapaan” sesuatu. Aristoteles menjelaskannya sebagai “to ti ein einai,” maksudnya “apa yang seharusnya,” ungkapan yang biasanya diikuti oleh pernyataan lainnya, misalnya “apa yang seharusnya menjadi kuda” dan lain-lain.  Dalam hal ini, kuiditas atau esensi kuda adalah “sesuatu yang menjadikan kuda itu kuda.” Dalam bahasa Arab “kuiditas” atau “esensi” disebut “mahiyah” yang merupakan lawan kata dari “anniyah” atau “eksistensi” atau “wujud.” Wujud Wajib adalah wujud yang esensinya sama dengan eksistensinya, dan Wujud wajib ini hanya bisa dinisbatkan kepada Wujud Allah. Sedangkan untuk wujud mungkin, esensi atau kuiditasnya tidak mengharuskan adanya eksistensi atau wujudnya. Bagi Mulla Sadra, wujud atau eksistensi lebih utama, atau lebih primordial, atau lebih prinsip, dibandingkan dengan esensi atau kuiditas. Hal itu disebabkan karena menurut Mulla Sadra, esensi atau kuiditas hanyalah wujud mental dari wujud tersebut. Inilah yang disebut konsep al-isalat al-wujud di dalam filsafat Mulla Sadra.
Pada bagian selanjutnya, kata kuiditas akan sering dipertukarkan dengan kata esensi.
[2]) Di dalam buku ini, kata intelligent diartikan sebagai akal, intelligible sebagai objek pahaman akal, dan intelligence adalah pemahaman akal terhadap objek pahaman akal. Ketiga kata-kata ini sangat sering dipakai di dalam menjelaskan persepsi akal.
[3]) Yang dimaksud dengan “bentuk” adalah penyatuan antara esensi dan materi, yakni yang menetapkan bahwa materi itu adalah “sesuatu yang ini” atau “sesuatu yang itu.” Jika dalam suatu pernyataan disebutkan “rumah batu,” maka sudah pasti dipersyaratkan adanya “rumah” dan “batu.” Dalam hal ini, tidak akan ada rumah tersebut jika tidak ada batu karena rumah tersebut adalah “rumah batu.” Akan tetapi, batu yang bisa dibuat rumah juga bisa dibuat sebagai pagar, yakni “pagar batu.” Yang membedakan “rumah batu” dan “pagar batu” itulah yang disebut bentuk atau strukturnya. Artinya, “bentuk”-lah yang membedakan antara “rumah batu” dan “pagar  batu” tadi, bukan batu itu sendiri. Untuk penjelasan yang lebih detail, lihat Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Cetakan ke-7 1996, hal. 54 – 55;  Robert Audi (editor), The Cambridge Dictionary of Philosophy, Cambridge University Press, edisi kedua, untuk penjelasan kata “form” di hal. 35; juga lihat penjelasan kata “surah” di dalam Dictionary of Islamic Philosophical Terms di www.muslimphilosophy.com.

Komentar

Postingan Populer