Akar Kolonialisme dan Empirialisme di Indonesia (Part 2, Belanda)
Sebuah
perjalanan panjang bangsa indonesia pra kemerdekaan, Kerajaan belanda merupakan
bangsa ketiga selain Portugis dan Spanyol yang tercacat dalam sejarah indonesia
yang telah menjajah Indonesia (Nusantara). Dalam kurun waktu yang tidaklah
singkat, yaitu ± 3,5 abad, Ekspansi kerajaan belanda menjelajahi belahan dunia
dikarenakan sebuah kesadaran kerajaan belanda terhadap kemajuan portugis dan
spanyol dalam berbagai hal dan tercatat dalam berbagai literatur
terkait, Belanda datang ke Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor, antara
lain adalah sebagai berikut:
- Pada mulanya pedagang-pedagang Belanda
yang berpusat di Rotterdam membeli rempah-rempah dari Lisabon.Pada waktu
itu Belanda masih dalam penjajahan Spanyol,kemudian terjadilah perang 80
tahun,dan berhasil melepaskan Belanda terhadap Spanyol,serta menjadikan William
Van Oranye sebagai pahlawan kemerdekaan Belanda.
- Pada tahun 1580 Raja Philip dari
Spanyol naik tahta,ia berhasil mempersatukan Spanyol dan Portugis ,Akibatnya
Belanda tidak dapat lagi mengambil rempah-rempah dari Lisabon yang sedang
dikuasai Spanyol,hal itulah yang mendorong Belanda mulai mengadakan
penjelajahan samudera untuk mendapatkan daerah asal rempah-rempah
- Adanya petunjuk jalan ke Indonesia dari Jan
Huygen Van Linscoten,mantan pelaut Belanda yang berkerja pada portugis
dan pernah keIndonesia.
Meskipun kerajaan belanda tidak seperti
kerajaan Portugis dan Spanyol yang melakukan ekspansi menjelajahi belahan dunia
atas izin paus Alexander VI, tetapi kerajaan belanda tetaplah menggunakan misi
yang sama dalam ekspansinya yaitu Misi “feitoria, fortaleza, dan igreja” atau lebih dikenal dengan istilah 3G “Gold,
Glory and Gospel”.
Perjalanan Belanda ke Indonesia
Pada tahun 1595 Linscoten berhasil
menemukan tempat-tempat di Pulau Jawa yang bebas dari tangan Portugis dan
banyak menghasilkan rempah-rempah untuk diperdagangkan,Peta yang dibuat olehLinscoten diberi
nama Interatio yang artinya keadaan didalam atau situasi di
Indonesia.
Kemudian, berangkatlah 4 buah kapal di
bawah pimpinan Cornelis de houtman pleter de kalzer menuju Indonesia melalui
lautan atlantik. Mereka menyusuri pantai barat afrika dan sanapal di tanjung
harapan. Dari tanjung harapan, mereka mengarungi lautan hHindia dan kemudian
masuk ke Indonesia melalui selat sunda. Mereka menghindari jalur selat malaka
karena portugis menguasai malaka. Tibalah mereka di pelabuhan banten. Banten,dan pada mulanya kedatangan mereka mendapat
sambutan baik dari masyarakat Banten. Kedatangan Belanda diharapkan dapat
memajukan perdagangan dan dapat membantu usaha penyerangan ke Palembang yang
dipimpin oleh raja Maulana Muhammad,akan tetapi sikap De Houtman semakin kaku
dalam perdagangan (hanya mau membeli rempah-rempah pada musim panen dan membeli
melalui pejabat atau cina perantara,akhirnya Ia ditangkap dan dibebaskan
setelah membayar uang tebusan kemudian meninggalkan Banten). Walaupun demikian
de Houtman disambut dengan gegap gempita oleh masyarakat Belanda, ia dianggap
sebagai pelopor pelayaran menemukan jalan laut ke Nusantara.
Pada tanggal 28 November 1598 pelayaran
baru Belanda dipimpin oleh Jacob van Neck dan Wybrect van
Waerwyck dengan 8 buah kapal tiba di Banten.Pada saat itu hubungan
Banten dengan Portugis sedang memburuk sehingga kedatangan Belanda diterima
dengan baik. Karena sikap Van Neck yang sangat
hati-hati dan pandai mengambil hati para pembesar Banten ,maka 3 buah kapalnya
yang penuh muatan rempah-rempah berhasil dikirim ke Belanda dan 5 buah kapal
yang lainnya menuju Maluku. Di Maluku ,Belanda
juga diterima dengan baik oleh rakyat Maluku karena dianggap sebagai musuh
Portugis yang sedang bermusuhan dengan rakyat Maluku.
Berdirinya VOC (Vereenigde Oost
Compagnie)
Keberhasilan ekspedisi-ekspedisi Belanda
dalam mengadakan perdagangan rempah-rempah mendorong pengusaha-pengusaha
Belanda yang lainnya untuk berdagang ke Nusantara.Diantara mereka terjadi
persaingan.Disamping itu mereka harus harus menghadapi persaingan dengan
Portugis,Spanyol dan Inggris.Akibatnya mereka saling menderita kerugian,lebih
lebih dengan sering terjadinya perampokan perampokan oleh bajak laut.
Atas prakarsa dari 2 orang tokoh Belanda
yaitu Pangeran Maurits dan Johan van Olden Barnevelt pada
tahun 1602 kongsi-kongsi dagang Belanda dipersatukan menjadi sebuah kongsi
dagang besar yang diberinama VOC (Verenigde Oost Indesche Compagnie ) atau
‘Persekutuan Maskapai Perdagangan HHindia Timur’, pengurus pusat VOC
terdiri dari 17 orang. VOC membuka kantor pertamanya di Banten yang dikepalai
oleh Francois Witter .Selain untuk menjaga persaingan dengan
Bangsa lain yang mencoba masuk ke Indonesia, VOC didirikan untuk tujuan lain,
yaitu:
- Menghindari persaingan tidak sehat
diantara sesama pedagang Belanda untuk keuntungan maksimal.
- Memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi
persaingan,baik dengan bangsa-bangsa Eropa lainnya maupun dengan bangsa-bangsa
Asia.
- Membantu dana pemerintah Belanda yang
sedang berjuang menghadapi Spanyol.
Dengan berdirinya VOC maka pemerintah Belanda pun
memberikan hak-hak istimewa bagi VOC, agar dapat melaksanakan tugasnya dengan
maksimal dan hak-kak itu adalah: Memonopoli perdagangan, Mencetak dan
mengedarkan uang, Mengangkat dan memperhentikan pegawa, Mengadakan perjanjian
dengan raja-raja, Memiliki tentara untuk mempertahankan diri, Mendirikan
benteng, Menyatakan perang dan damai dan Mengangkat dan
memberhentikan penguasa-penguasa setempat.
Legalisasi Perbudakan
dimulai oleh VOC
Perbudakan
memang telah ada sebelum orang-orang Eropa datang ke Asia Tenggara, namun di
masa VOC, berdasarkan Bataviase Statuten (Undang-Undang Batavia)
tahun 1642, perbudak diresmikan dengan adanya Undang-Undang Perbudakan.
Sebagian besar perbudakan terjadi di Jawa, namun budak-budak tersebut berasal
dari luar Jawa, yaitu para tawanan dari daerah-daerah yang ditaklukkan Belanda,
seperti dari pulau Banda tahun 1621, di mana 883 orang (176 orang mati dalam
perjalanan) dibawa ke pulau Jawa dan dijual sebagai budak. Perdagangan budak di
seluruh dunia memang telah terjadi sejak ribuan tahun lalu, terutama di zaman
Romawi. Yang diperdagangkan di pasar budak adalah rakyat, serdadu, perwira dan
bahkan bangsawan dari negara-negara yang kalah perang dan kemudian dijual
sebagai budak. Selama Perang Salib/Sabil yang berlangsung sekitar 200 tahun,
ratusan ribu orang dari berbagai etnis yang ditawan, dijual sebagai budak
sehingga membanjiri pasar budak, dan mengakibatkan anjloknya harga budak waktu
itu.
Dari
abad 15 sampai akhir abad 19, seiring dengan kolonialisme negara-negara Eropa
terhadap negara-negara atau wilayah yang mereka duduki di Asia, Afrika dan
Amerika, perdagangan budak menjadi sangat marak, juga terutama untuk benua
Amerika, di mana para penjajah memerlukan tenaga kerja untuk menggarap lahan
pertanian dan perkebunan. Di Amerika Serikat –negara yang mengklaim sebagai
sokoguru demokrasi- perbudakan secara resmi baru dihapus tahun 1865, namun
warga kulit hitam masih harus menunggu seratus tahun lagi, sampai mereka
memperoleh hak memilih dan dipilih.
Walaupun
kekuasaan dari VOC berpindah kepada Pemerintah Hindia-Belanda, perdagangan
budak berlangsung terus, dan hanya terhenti selama beberapa tahun ketika
Inggris berkuasa di Hindia-Belanda (The British inter-regnum). Perang
koalisi di Eropa juga berpengaruh terhadap masalah perbudakan di Hindia-Belanda.
Ketika Inggris menaklukkan Belanda dan mengambil alih kekuasaan di Hindia
Belanda tahun 1811, pada tahun 1813 Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford
Raffles melarang perdagangan budak. Namun dengan adanya perjanjian perdamaian
di Eropa, kembali membawa perubahan di HHindia Belanda di mana Belanda
“menerima kembali” HHindia-Belanda dari tangan Inggris pada tahun 1816. Pada
tahun itu juga Pemerintah HHindia Belanda memberlakukan kembali perdagangan
budak.
Tahun
1789 tercatat 36.942 budak di Batavia dan sekitarnya.
Tahun
1815 tercatat 23.239 budak, ketika di bawah kekuasaan Inggris.
Tahun
1828 tercatat 6.170 budak.
Tahun
1844 masih terdapat 1.365 budak di Batavia.
Dari
data/tabel di bawah ini terlihat, bahwa antara tahun 1679 – 1699, lebih dari
50% penduduk Batavia adalah budak.
Runtuhnya VOC
Penjajahan Pemerintah Hindia-Belanda Sejak
tahun 1780-an terjadi peningkatan biaya dan menurunnya hasil penjualan, yang
menyebabkan kerugian perusahaan dagang tersebut. Hal ini disebabkan oleh
korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para pegawai VOC di Asia
Tenggara, dari pejabat rendah hingga pejabat tinggi, termasuk para residen.
Misalnya beberapa residen Belanda memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil
produksi kepada mereka dengan harga yang sangat rendah, dan kemudian dijual
lagi kepada VOC melalui kenalan atau kerabatnya yang menjadi pejabat VOC dengan
harga yang sangat tinggi.
Karena korupsi, lemahnya pengawasan
administrasi dan kemudian konflik dengan pemerintah Belanda sehubungan dengan
makin berkurangnya keuntungan yang ditransfer ke Belanda karena dikorupsi oleh
para pegawai VOC di berbagai wilayah, maka kontrak VOC yang jatuh tempo pada 31
Desember 1979 tidak diperpanjang lagi dan secara resmi dibubarkan tahun 1799.
Setelah dibubarkan, plesetan VOC menjadi Vergaan Onder
Corruptie (Hancur karena korupsi).
Setelah VOC dibubarkan, daerah-daerah yang
telah menjadi kekuasaan VOC, diambil alih –termasuk utang VOC sebesar 134 juta
gulden- oleh Pemerintah Belanda, sehingga dengan demikian politik kolonial
resmi ditangani sendiri oleh Pemerintah Belanda. Yang menjalankan politik
imperialisme secara sistematis, dengan tujuan menguasai seluruh wilayah, yang
kemudian dijadikan sebagai daerah otonomi yang dinamakan Hindia-Belanda
(Nederlands-Indië) di bawah pimpinan seorang Gubernur Jenderal.
Gubernur Jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van Overstraten (1797 – 1799),
menjadi Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia-Belanda pertama (1800 – 1801).
Kolonialisasi
Belanda
Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 dan
setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih
kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa
berhasil ditumpas dalamPerang Diponegoro pada
tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang
dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai
diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil
perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll. Hasil tanaman itu
kemudian diekspor ke mancanegara. Sistem ini membawa kekayaan yang besar kepada
para pelaksananya - baik yang Belanda maupun yang Indonesia. Sistem tanam paksa
ini adalah monopoli pemerintah dan dihapuskan pada masa yang lebih bebas
setelah 1870.
Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi apa
yang mereka sebut Politik Etis (bahasa
Belanda: Ethische Politiek), yang termasuk investasi yang lebih
besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan
sedikit perubahan politik. Di bawah gubernur-jendral J.B. van Heutsz pemerintah Hindia-Belanda
memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda,
dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini.
Akhir Penjajahan Belanda
Politik etis “Ethische Politiek” Belanda ternyata
berdampak sistemik terhadap rakjat Indonesia, sejak didirikannya STOVIA pada
tahun 1901, kesadaran untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan hadir,
sehingga ada 1905 gerakan nasionalis yang pertama, Serikat Dagang Islam dibentuk
dan kemudian diikuti pada tahun 1908 oleh gerakan nasionalis berikutnya, Budi Utomo. Belanda merespon gerakan-gerakan SDI dan Boedi
Oetomo tersebut setelah Perang Dunia I dengan langkah-langkah penindasan. Para
pemimpin nasionalis berasal dari kelompok kecil yang terdiri dari profesional
muda dan pelajar, yang beberapa di antaranya telah dididik di Belanda. Banyak
dari mereka yang dipenjara karena kegiatan politis, termasuk Presiden Indonesia
yang pertama, Soekarno.
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia
II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli
mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Amerika
Serikat dan Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk
mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan
Desember tahun itu. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan
Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda
yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942.
Komentar
Posting Komentar