Supersemar Versi Ali Ebram
Turunnya Supersemar selalu menjadi kontroversi sampai saat ini. Ada versi
yang diceritakan oleh ketiga jenderal yang meminta surat tersebut kepada Bung
Karno dan ada pula versi kisah lainnya yang diceritakan Oleh Ali
Ebram seorang staf Asisten I Intelijen Resimen
Cakrabirawa yang pada waktu itu mengetikkan Naskah asli Supersemar atas perintah
Presiden Soekarno. Inilah Kisah Turunnya Supersemar versi
Ali Ebram yang kemudian pernah ditangkap tanpa alasan dan
dipenjara selama 12 tahun tanpa proses peradilan di Era Orde baru.
"Melihat Tingkah Amir machmud ..., Saya Ingin Merogoh Pistol"
"Melihat Tingkah Amir machmud ..., Saya Ingin Merogoh Pistol"
Selama lima tahun (1962-1967) Ali
Ebram menjadi staf Asisten I Intelijen Resimen Cakrabirawa. Sebelumnya, pria
kelahiran Solo yang oleh Bung Karno dipanggil "Kriminil"
tersebut pernah menjadi prajurit Banteng Raiders di Semarang, yang saat itu
Soeharto komandannya. Namun, karier militernya tamat ketika tanpa alasan yang
jelas dia ditangkap tahun 1967, kemudian dipenjara selama 12 tahun tanpa
proses peradilan.
Setelah keluar dari penjara, Ali
sering diancam teror agar tidak membuka mulut seputar peristiwa G-30-S dan SP
11 Maret. Beberapa bulan lalu, Ali datang ke rumah Soeharto untuk
bersilaturahmi. "Dia kan bekas atasan saya. Waktu itu saya
diberi uang untuk memperbaiki makam istri saya di Solo," ungkap
Ali. Sebelum bertemu Soeharto, pria yang kini berusia 71 tahun itu sempat
diundang salah seorang pejabat tinggi Setneg untuk mencarikan naskah asli SP 11
Maret dengan imbalan Rp 1 miliar. Lebih dari 30 tahun, Ali memang berdiam diri
soal SP 11 Maret.
Menurutnya, kini adalah saatnya
untuk mengungkap peristiwa lahirnya SP 11 Maret. "Biarlah nanti saya ditembak atau... Pokoknya, saya Iillahi ta'ala
saja. Saya tidak punya maksud apa-apa," katanya.
Berikut kutipan wawancara DeTAK dengan Ali Ebram, Senin 22 Februari dan Sabtu, 27 Februari 1999, di
rumahnya.
Bisa diceritakan kegiatan Anda pada 11
Maret 1966?
Pagi itu dari Bogor, Bung Karno berangkat
ke Jakarta. Hari Jumat itu ada rapat kabinet 100 menteri di Istana. Bung Karno
berangkat dengan menggunakan helikopter. Sedangkan saya sendiri lewat jalan
darat, begitu heli mengudara.
Malam
hari sebelum sidang kabinet, banyak menteri bermalam di Istana Merdeka. Apa ada
instruksi dari Presiden?
Tidak ada instruksi. Lho, itu kan mereka
mendekat ke Istana karena di luar banyak demonstrasi. Jadi, biar tidak
terlambat saja.
Apa
betui ada tentara liar?
Iya, memang. Bung Karno mendadak
meninggalkan istana karena ada pasukan liar yang akan menyerbu. Bung Karno
memutuskan untuk terbang ke Istana Bogor. Ketika mesin heli mulai menderu, saya
segera menyusul berangkat ke Bogor dengan menggunakan mobil. Sebenarnya
(pasukan itu) bukan liar, hanya mereka tak pakai tanda-tanda pengenal. Tapi
banyak yang tahu itu pasukan Kostrad.
Berarti
Kemal Idris yang waktu itu Kaskostrad tahu?
Tahu bener. Makanya ketika ketemu, saya
bilang, "Hai, Jenderal, Anda kok pakaiannya baru sekarang?" Dia
marah-marah dengan saya. "Kamu dobol, nek ngomong nyakiti ati."
"Lho, pakaian baru kok sakit," saya bilang begitu. "Ya, ngerti
aku maksudnya," katanya.
Pukul
berapa Anda sampai di Istana Bogor?
Perjalanannya satu jam lebih.
Bung
Karno sampai pukul berapa?
Kalau menurut radio, pukul setengah dua
belas sudah sampai. Kalau naik helikopter, dari Jakarta ke Istana Bogor itu
sekitar 10 menit.
Lantas
Soebandrio naik apa?
Naik heli dengan Pak Chaerul Saleh. Bapak
itu dengan heli yang besar, yang berada di lapangan yang sekarang Monas itu.
Sedang Pak Chaerul berangkatnya dengan heli di dalam istana. Mereka berdua
(Soebandrio dan Chaerul —red) itu takut. Takut mau ditembak. Dha mbingungi itu
(pada bingung). Tapi kalau Pak Chaerul almarhum, sih, tenang. Bandrio itu kan
penakut.
Sesampai
di Bogor; kejadian apa saja yang Anda lihat?
Begitu saya datang, tak lama pos jaga
lapor.
"Pak, ini ada jenderal mau
masuk." Saya bilang, "Ya sudah, biarkan masuk." Saya ini
dianggap taek-taek kok oleh mereka, ketiga jenderal itu, Pak Basoeki Rachmat,
Amir (Amirmachmud -red), dan M. Jusuf. Yang menemui pertama kan saya.
Saya tanya, "Mau apa, Pak?"
"Saya mau ketemu Sabur (Brigjen
Sabur, Komandan Cakrabirawa -red)." Lalu saya bilang, "Harap lapor
Posko dulu!"
"Enggak perlu, saya mau ketemu
Sabur."
"Ya sudah, silakan ketemu, itu
rumahnya di belakang."
Yang
jawab itu siapa?
Amirmachmud.
Apa
tiga jenderal itu satu mobil?
Waduh, saya kok enggak ingat persis, ya.
Kalau enggak salah dua mobil.
Tapi
datangnya bersamaan?
lya. Satu datang, lalu disusul di
belakangnya. Selisih waktunya tak jauh. Ketiga jenderal itu ketemu Sabur. Oleh
Sabur dilaporkan ke Bapak (Bung Karno -red), dan mereka dipersilakan masuk
paviliun tempat Bu Hartini. Ketiga jenderal itu akhirnya diajak masuk. Saya
kemudian dipanggil Sabur. "Kamu ditimbali Bapak (Kamu dipanggil
Bapak)," kata Sabur. Saya ikut masuk tapi diam saja. Mereka itu ngomong
antara lain, "Pak, berikan perintah pada Soeharto biar aman." Amirmachmud
yang ngotot agar Bapak membuat surat untuk Soeharto. Pembicaraan cukup lama.
Amir yang banyak bicara. "Sudah,
Bapak bikin saja!" kata Amir sambil berdiri. Padahal Bung Kamo hanya duduk
dengan kepala bersandar pada kursi. Saya marah, "Hee, yang sopan, dong,
Jenderal!" Eh, saya justru dimarahi Bapak. Saya dijawil dan diajak masuk
ke belakang. Pipi saya ditempeleng. "Kowe buntutku ojo melu-melu! Kowe
meneng wae (Kamu itu pembantuku, jangan ikut-ikut! Kamu diam saja!)!
Saya diam saja. Setelah dimarahi itu saya
langsung keluar dari paviliun, dan kembali ke pos jaga. Saya masih marah. Bukan
marah pada Bapak karena ditempeleng, tapi marah melihat Amirmachmud. Waktu
melihat tingkah Amir itu, rasanya sudah ingin merogoh pistol saja. Kalau
tidak ada Bapak, enggak tahu apa yang terjadi.
Jadi,
yang paling aktif bicara Amirmachmud?
Ya. Juru bicaranya Amirmachmud. Yang pasif
itu kan Mas Basoeki Rachmat. Kalau Pak Jusuf masih ngegong-ngegongi.
Apa
bisa dikatakan ada pemaksaan?
Dikatakan paksa? Gimana, ya? Tapi
tindakannya itu... apa ya..., ada penekanan begitulah. Contohnya, "Udah
deh, Bapak itu masa tidak percaya sama Angkatan Darat?"
Bu
Hartini ada di tempat itu?
Ada.
Jadi,
dia tahu ada tiga jenderal?
Ya, tahu dong. Tapi Bu Hartini di
belakang, di dapur, tidak ikut menemui ketiga jenderal itu.
Melihat
sikap Amir, bagaimana reaksi Bung Karno?
Bapak itu enggak pernah mau marah-marahi
orang. Justru kami-kami yang di sekitarnya yang sering kena marah. Saya atau
Mangil itu ibaratnya tempolong. Tahu tempolong? Itu punya orang Jawa tempat
untuk menampung ludah. Ibaratnya semua makian atau ungkapan marah pasti jatuh
ke kami. Bapak itu kalau bicara kepada kami seringkali sengak dan nyakiti hati.
Tapi kami ini sudah biasa. Sudah kebal. Karena, tahu, apa yang terlontar dari
Bapak itu hanya ungkapan emosi sesaat. Bapak itu kalau marah bisa keras. Tapi
kalau sudah balik kanan, berarti sudah selesai marahnya Sesudah itu, biasanya
kembali tertawa-tawa dan menyapa kami lagi.
Jadi,
Anda tidak tahu pembicaraan selanjutnya?
Tidak. Lama mereka bicara sekitar dua jam.
Tahu-tahu Sabur panggil saya. Dia minta saya membantu mengetik. Lha, saya kan
tahu diri. Saya itu orang pasukan, masa disuruh buat layang (surat)? "Saya
tidak bisa ngetik," saya biiang. Tapi Sabur memaksa. "Sudahlah, ikut
saja. Bantu saya." Terus saya disuruh cari blangko surat yang berkop
kepresidenan. "Lho, di Jakarta, dong!" balas saya. Sabur jawab,
"Sudah, cari saja!" Blangko itu yang kuasa kan Pak Jamin. Akhirnya
dapat, itu sekitar pukul 15.00. Kami berdua masuk kamar pribadi Bapak.
Sementara tiga jenderal menunggu di ruang tamu.
Siapa
yang mengetik?
Saya, sedang Sabur duduk di samping saya.
Bung Karno sendiri berdiri mondar-mandir sembari mendikte. Bapak waktu itu
tidak pakai baju kebesaran. Baju santai, celana dan tidak pakai peci.
Bagaimana
perasaan Anda ketika mengetik?
Ndredeg (gemetar) saya.
Kenapa Anda yang dipanggil Sabur? Apakah
karena Anda orang kepercayaannya?
Kalau dibilang kepercayaan, ya bukan. Tapi
Pak Sabur itu, kalau ada hal-hal yang rahasia, biasanya manggil saya. Waktu itu
dia dan paviliun Bu Hartini biiang rene (ke sini) sambil memberikan isyarat
tangan. Saya jawab, "Apa?" Terus Sabur biiang, "Rene dobol (ke
sini siaian)."
Apakah
yang ada waktu itu hanya Anda sendiri?
Tidak, ada beberapa orang.
Apakah
Mangil ada di sana?
Ya, waktu itu Mangil ada. Kalau enggak
salah dia ada di ruang agak depan. Kan waktu itu Sabur minta saya untuk bawa
mesin ketik. Saya bawa mesin ketik itu lewat pintu belakang.
Apakah
Soebandrio dan Chaerul Saleh menemani Bung Karno dan tiga jenderal tadi?
Oh, enggak ada di ruang itu.
Tapi
kan sejarah mencatat mereka ada di situ?
Ya, supaya diperkuat bahwa mereka
menyetujui. Pak Bandrio dan Pak Chaerul Saleh memang waktu itu ada di istana.
Tapi mereka tidak di situ (di paviliun tempat Bu Hartini dan Bung Karno -red).
Pak Bandrio dan Pak Chaerul ada di gedung yang letaknya di pinggir pagan Mereka
tidak tahu. Itu karangan kalau dibilang mereka tahu. Sedang Pak Leimena sendiri
meneruskan memimpin sidang kabinet. You boleh tanya sama Bandrio.
Kira-kira
mereka tahu kedatangan tiga jenderal itu?
Wah, saya tidak tahu. Tapi malamnya
mungkin tahu. Kan bisa saja mereka diberi tahu angota Cakrabirawa.
Jadi,
SP 11 Maret yang mengonsep Bung Karno sendiri?
Iya.
Anda
masih ingat apa yang Anda ketik?
Wah... Pokok-pokoknya saja yang saya
ingat. Ada disebut ajaran, koordinasi, terus laporan.
Ada
berapa poin?
Ada empat poin. Soal keluarga, melindungi
keluarga yang tidak ada. Yang keempat itu memberi laporan.
Berapa
lama proses pengetikan itu?
Sekarang kalau orang enggak biasa ngetik
terus diperintah ngetik, bisa dikira-kira berapa lama? Ngetiknya sambil ndredeg
(gemetar). Sebelum mulai, saya bilang sama Bapak, "Pak, saya mohon ampun
kesesa (Pak, saya mohon tidak tergesa-gesa)."
Bung
Karno membawa konsep?
Enggak. Ngomong saja. Karena tidak pernah
mengetik surat resmi kepresidenan, saya dan Sabur sempat kebingungan mau pakai
spasi berapa. Kami bongkar-bongkar. mencari surat-surat lama untuk dijadikan
contoh. Akhimya ketahuan. Saya dan Sabur sepakat memakai spasi dua. Bung Karno
lalu mendikte. Sebelum tempat tanda tangan, kotanya diketik di Bogor. Terus di
bawah tanda tangan ada kode pengetik. Di situ ada singkatan nama saya. Pakai
inisial nama tua saya, YD (nama tua, Yosodiningrat). Setiap surat resmi
presiden waktu itu, selalu di akhimya ada inisial pengetik. Ngetiknya ya
pelan-pelan, satu-satu. Belakangan saya diberi tahu teman-teman bahwa dalam SP
11 yang dikeluarkan resmi, tidak ada lagi inisial itu. Ya, biar.
Bagaimana
ekspresi Bung Karno waktu mendikte?
Saya ndak berani melihat Bapak. Kalau
beliau perkirakan kalimat yang diucapkan sudah diketik, baru tanya, "Uwis
(sudah)?" Sudan, Pak. Tek-tek-tek... "Uwisl" Sudah, Pak.
Tek-tek-tek...
Ada
berapa lembar SP 11 Maret itu?
Dua halaman. Enggak muat kalau cuma satu
halaman. Spasinya itu berapa? Bapak itu orangnya correct. Bung Karno itu
orangnya correct. Jangan main-main sama beliau. Waktu itu kan kertas
pertamanya enggak cukup. Sudah mau habis. "Pak, kertasnya hampir
habis," kata saya. "Wis, dijembeng wae (Sudah, dimolorkan
saja)!" kata Bung Karno. Lalu kami masukkan kertas kedua. Lama pengetikan
satu jam lebih. Begitu selesai, saya serahkan Sabur. Kemudian dibawa Bapak ke
ruang tamu. Itu dibaca Bapak lama sekali sambil merenung. Bapak kan masih ragu.
Diam. Begitu Bapak bilang, "Pulpen!", saya tinggal. Saya ke luar dari
ruang itu menuju ke rumah komando. Tapi saya masih sempat dengar Amirmachmud
bilang, "Iya, Bapak tanda tangan saja. Kenapa sulit-sulit!"
Kenapa
Anda meninggalkan ruangan?
Maksud saya itu, supaya saya... (Tiba-tiba
wajahnya memerah, air matanya menetes. Kata-katanya terputus-putus.)... di
akhirat tidak tanggung jawab. Saya hanya mengamankan beliau saja. Saya di akhirat
enggak bertanggung jawab. Saya saat itu nangis. Sekarang pun saya nangis. Saya
dipesan benar oleh Bung Karno, "Ojo melu-melu! Menengo wae terns (Jangan
ikut-ikut, diam saja terus)! Ada saa-nya..." Oalah, sekarang diam saja
diancam terus, kok.
Anda mengatakan tak pernah mengetik.
Apakah ada kesalahan-kesalahan?
ltulah anehnya. Enggak ada salah itu.
Sepertinya ada yang membimbing. Biar pun pelan-pelan, ternyata semua berjalan
lancar. Mungkin karena sangat pelan-pelan, ya? Cuma kadang ya misalnya ada
huruf "s" yang dobel.
Apakah
dipasang karbon?
Ya, harus dikarbon, dong. Tapi lembar
salinan atau arsipnya saya tidak tahu. Saya kan keluar lebih dulu. Mungkin yang
lebih tahu Sabur. Atau Pak Jamin, sekretaris kabinet Presiden.
Bung
Karno tanda tangan?
Saya ndak tahu. Kan saya keluar. Tapi
beberapa waktu sebelum SP 11 itu, Bapak pernah bilang, "Hen, Bapak wis gak
disenengi rakyat. Bapak arep leren (Bapak sudah tidak disenangi rakyat. Bapak
mau berhenti.)." Mungkin itu firasatnya Bapak.
Setelah Anda keluar, apakah obrolan Bung
Karno dengan tiga jenderal masih berlangsung?
Setelah itu Bapak mungkin langsung sare
(tidur). Tapi enggak tahu ya, wong saya sudah enggak ngurus lagi.
Sumber
:
E-BookMISTERI SUPERSEMAR - Eros Djarot, dkk
Komentar
Posting Komentar