Refleksi Pelanggaran HAM di Masa Lalu
Dalam
salah satu buah pemikirannya, Satjipto Rahardjo pernah mengajarkan penegakan
hukum “mesu budi”, yaitu pengerahan seluruh potensi kejiwaan dalam diri.
Satjipto
mengajarkan perlu individu-individu yang mau menjadi vigilante (pejuang) dalam
penegakan hukum. Diperlukan aparat penegak hukum seperti Hakim Agung Andi
Andojo yang berani melakukan “mesu budi”, bukan penegak hukum yang hanya mementingkan
keselamatan karier.
Gagasan
besar tersebut sangat relevan untuk memotret penegakan hukum dan hak asasi
manusia (HAM) saat ini. Praktis sulit sekali menemukan perangkat hukum, baik
jaksa, hakim, polisi maupun pengacara yang mau berhukum secara “mesu budi”,
tidak hanya menirukan bunyi undang-undang tetapi berani melakukan ijtihad
untuk menghadirkan keadilan substansi.
Sepanjang
tahun 2010, upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu berjalan
di tempat. Beberapa kasus antara lain: kasus 1965–1966, kasus penembakan
misterius 1981–1983, kasus Talangsari Lampung 1989, kasus Trisakti,
Semanggi I dan II, kasus 13–15 Mei 1998, Penculikan dan Penghilangan Paksa
Aktivis 1997–1998, tak satu pun menghadirkan cerita manis untuk para korban serta pembunuhan aktivis HAM Munir yang hingga saat ini tenggelam dan tidak terungkap modus pembunuhannya.

Secara
keseluruhan, konstelasi penanganan kasus tidak mengalami perubahan signifikan,
praktis hanya kasus penghilangan paksa akivis 1997–1998 mengalami sedikit
kemajuan, pascaparipurna DPR mengeluarkan empat rekomendasi politik pada 28
September 2009, antara lain: pembentukan pengadilan HAM ad hoc, pencarian 13
orang aktivis yang masih hilang, pemulihan hak para korban dan ratifikasi
Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
Sementara
itu, berdasarkan catatan Kontras, nasib yang tidak kalah tragis juga dialami
oleh sejumlah kasus pelanggaran HAM di masa lalu lainnya: kasus DOM Aceh
1989-1998, darurat militer Aceh 2003, pembunuhan Theys Hiyo Eluay, dan DOM
Papua.
Selain
itu, beberapa kasus berdimensi hak ekonomi, sosial, budaya: kasus lumpur
Lapindo, sengketa tanah warga dengan TNI, penembakan petani di Alas Tlogo,
kasus BuluKumba, Manggarai, dan beberapa kasus lainnya, tidak satu pun dari
kasus tersebut yang diselidiki oleh Komnas HAM. Penanganan kasus-kasus tersebut
hanya sebatas pengkajian dan pemantauan tanpa kejelasan tindak lanjut.
Kondisi
para korban dan keluarga korban dari berbagai kasus tersebut secara umum sangat
memprihatinkan, dan dari tahun ke tahun sepanjang 12 tahun reformasi terus
mengalami kemunduran kualitas hidup, antara lain hidup dalam kemiskinan,
trauma, dan gangguan psikologis serta masih mendapatkan perlakuan
diskriminatif.
Potret
HAM 2010
Sepanjang
tahun 2010, praktis pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM tidak berjalan efektif. Mandat penyelidikan oleh Komnas HAM,
pasal 18–20 UU No 26 Tahun 2000, tidak cukup mampu menghadirkan terobosan untuk
mendongkrak kualitas laporan, tumpul dalam berdiplomasi dengan sesama lembaga
negara dan tidak cukup memiliki nilai tawar sebagai institusi penegak HAM. Salah satu contohnya yaitu dalam
upaya menghadirkan orang yang diduga kuat bertanggung jawab dalam sebuah
kejahatan HAM.
Fenomena
di atas terjadi karena absennya mekanisme vetting, yakni sebuah mekanisme untuk
menyeleksi seseorang menjadi pejabat publik atau menduduki jabatan setrategis,
baik dalam institusi sipil maupun militer. Mekanisme vetting sendiri pada prinsipnya dapat
dikategorikan menjadi dua, pertama vetting klasik, yakni didasarkan pada
kemampuan dan kecerdasan seseorang untuk menduduki jabatan publik atau
strategis dalam institusi negara. Yang kedua, vetting modern, yakni mekanisme
seleksi didasarkan pada rekam jejak atau catatan masa lalu, apakah pernah
melakukan pelanggaran HAM atau tidak.
Di
Indonesia, sebenarnya memiliki mekanisme fit and proper test untuk menyeleksi
pejabat publik selevel panglima TNI, ketua komisi negara, bahkan kapolri.
Namun, mekanisme ini tidak cukup efektif menyaring calon dengan standar
vetting, karena fit and proper test tidak jarang berujung dengan transaksi
politik. Selain itu, hal ini menyebabkan tidak cukupnya ruang partisipatif
bagi masyarakat sipil untuk memberikan masukan atau menyodorkan kandidat.
Jikapun ada, itu masih sebatas formalitas karena tidak cukup memberi warna dalam
pengambilan keputusan.
Untuk
respons negara, berdasarkan catatan Kontras: beberapa institusi negara
setingkat menteri politik hukum dan keamanan, menteri hukum dan HAM, staf
khusus presiden bidang hukum dan HAM, bahkan Dewan Pertimbangan Presiden
(Watimpres), secara keseluruhan memberikan respons yang cukup baik dan
konstruktif. Hal ini terlihat dari interaksi dengan korban dan keluarga korban
melalui
forum audiensi.
Namun,
sayang, pernyataan dan tanggapan dari beberapa institusi tersebut tidak kunjung
dikonversi menjadi sebuah kebijakan konkret terkait penyelesaian kasus HAM
masa lalu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono semestinya memegang peran penting,
namun hingga di pengujung tahun 2010, Presiden SBY tidak mengeluarkan
kebijakan terkait HAM. Kebijakan lebih banyak terfokus pada soal korupsi,
perbaikan sektor ekonomi, dan penanganan terorisme.
Setelah
dicabutnya UU 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR),
pemerintah akhir akhir ini kembali merumuskan RUU KKR sebagai komponen tambahan
mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Saat ini, RUU KKR
masuk dalam salah satu RUU yang mendapat prioritas dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas). Hal ini juga mengacu pada Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
(RAN HAM) 2010–2015 yang memasukkan pengesahan RUU KKR. Meski RUU KKR kembali hadir, itu sulit diharapkan mampu
memberikan solusi alternatif untuk para korban, mengingat isi dari RUU ini
tidak lebih baik dari UU sebelumnya.
Kelangkaan
cara berhukum dengan metode “mesu budi” adalah pangkal dari buruknya
penyelesaian kasus HAM masa lalu. Mestinya, spirit ini harus ditanam kuat-kuat
dalam sanubari setiap perangkat penegak hukum dan segenap penyelenggara negara
ini. Penegakan hukum normatif kita menjadi semakin mengerikan karena telah
dibingkai dengan politik transaksional.
Untuk
itu, tidak ada pilihan bagi para korban selain menjaga dan terus menggelorakan
semangat dan harapan. Hal ini penting untuk menjaga kewajiban negara dalam
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang terus mengapung ke permukaan.
Ini karena potret peradaban yang akan datang sama dengan bagaimana negara ini
memperlakukan masa lalu.
Penulis
adalah Advokat HAM dan Aktif dalam Advokasi Kasus Pelanggaran HAM berat.
Komentar
Posting Komentar