Kriteria Perilaku Abnormal
Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan
suatu perilaku abnormal, antara lain:
1) Statistical infrequency
Perspektif ini menggunakan pengukuran statistik dimana semua variabel yang
yang akan diukur didistribusikan ke dalam suatu kurva normal atau kurva dengan
bentuk lonceng. Kebanyakan orang akan berada pada bagian tengah kurva,
sebaliknya abnormalitas ditunjukkan pada distribusi di kedua ujung kurva.
Digunakan dalam bidang medis atau psikologis. Misalnya mengukur tekanan
darah, tinggi badan, intelegensi, ketrampilan membaca, dsb.
Namun, kita jarang menggunakan istilah abnormal untuk salah satu kutub
(sebelah kanan). Misalnya orang yang mempunyai IQ 150, tidak disebut sebagai
abnormal tapi jenius.
Tidak selamanya yang jarang terjadi adalah abnormal. Misalnya seorang atlet
yang mempunyai kemampuan luar biasa tidak dikatakan abnormal. Untuk itu
dibutuhkan informasi lain sehingga dapat ditentukan apakah perilaku itu normal
atau abnormal.
2) Unexpectedness
Biasanya perilaku abnormal merupakan suatu bentuk respon yang tidak
diharapkan terjadi. Contohnya seseorang tiba-tiba menjadi cemas (misalnya
ditunjukkan dengan berkeringat dan gemetar) ketika berada di tengah-tengah
suasana keluarganya yang berbahagia. Atau seseorang mengkhawatirkan kondisi
keuangan keluarganya, padahal ekonomi keluarganya saat itu sedang meningkat.
Respon yang ditunjukkan adalah tidak diharapkan terjadi.
3) Violation of norms
Perilaku abnormal ditentukan dengan mempertimbangkan konteks sosial dimana
perilaku tersebut terjadi.
Jika perilaku sesuai dengan norma masyarakat, berarti normal. Sebaliknya
jika bertentangan dengan norma yang berlaku, berarti abnormal.
Kriteria ini mengakibatkan definisi
abnormal bersifat relatif tergantung pada norma masyarakat dan budaya pada saat
itu. Misalnya di Amerika pada tahun 1970-an, homoseksual merupakan perilaku
abnormal, tapi sekarang homoseksual tidak lagi dianggap abnormal.
Walaupun kriteria ini dapat membantu untuk mengklarifikasi relativitas
definisi abnormal sesuai sejarah dan budaya tapi kriteria ini tidak cukup untuk
mendefinisikan abnormalitas. Misalnya pelacuran dan perampokan yang jelas
melanggar norma masyarakat tidak dijadikan salah satu kajian dalam psikologi
abnormal.
4)
Personal distress
Perilaku dianggap abnormal jika hal itu menimbulkan penderitaan dan
kesengsaraan bagi individu.
Tidak semua gangguan (disorder) menyebabkan distress. Misalnya psikopat
yang mengancam atau melukai orang lain tanpa menunjukkan suatu rasa bersalah
atau kecemasan.
Juga tidak semua penderitaan atau kesakitan merupakan abnormal. Misalnya
seseorang yang sakit karena disuntik.
Kriteria ini bersifat subjektif karena susah untuk menentukan setandar
tingkat distress seseorang agar dapat diberlakukan secara umum.
Disability
Individu mengalami ketidakmampuan (kesulitan) untuk mencapai tujuan karena
abnormalitas yang dideritanya. Misalnya para pemakai narkoba dianggap abnormal
karena pemakaian narkoba telah mengakibatkan mereka mengalami kesulitan untuk
menjalankan fungsi akademik, sosial atau pekerjaan.
Tidak begitu jelas juga apakah seseorang yang abnormal juga mengalami
disability. Misalnya seseorang yang mempunyai gangguan seksual voyeurisme
(mendapatkan kepuasan seksual dengan cara mengintip orang lain telanjang atau
sedang melakukan hubungan seksual), tidak jelas juga apakah ia mengalami
disability dalam masalah seksual.
Dari semua kriteria di atas menunjukkan bahwa perilaku abnormal
sulit untuk didefinisikan. Tidak ada satupun kriteria yang secara sempurna
dapat membedakan abnormal dari perilaku normal. Tapi sekurang-kurangnya
kriteria tersebut berusaha untuk dapat menentukan definisi perilaku abnormal.
Dan adanya kriteria pertimbangan sosial menjelaskan bahwa abnormalitas adalah
sesuatu yang bersifat relatif dan dipengaruhi oleh budaya serta waktu.
Komentar
Posting Komentar