Hakekat Manusia
Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
Agama Allah ; tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
sesuai dengan fitrah itu. (Q.S 30 : 30).
Bagaimana anda akan melukiskan diri
anda?
Siapa sebenarnya anda?
Apa yang membedakan anda dari hewan?
Untuk apa sebenarnya anda hidup ?
Dari mana anda berasal?
Dan hendak kemana
anda?
Itulah sekelumit pertanyaan sebagai entry
point pembahasaan mengenai “manusia”. Tulisan ini disusun untuk mencoba
memberikan jawaban atas segenap pertanyaan diatas. Namun, jawaban ini
diupayakan sesedarhana mungkin, agar tidak terkesan sebagai kajian yang sangat
filosofis.
Apakah Manusia ?
Kita ingin mememulai
dengan mencari jawaban atas pertanyaan “apakah manusia ? “. Plato,
sebagai salah seorang filosof besar, mengatakan bahwa “manusia dimaklumkan
sebagai makhluk yang terus-menerus mencari dirinya—makhluk yang setiap saat
harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi eksistensinya”1. Sementara gurunya, Sokrates, mengatakan
bahwa “manusia adalah makhluk yang, bila disodori pertanyaan yang rasional,
dapat menjawab secara rasional pula”2. Namun, dua tokoh filsafat, yang telah
menggemparkan dunia ini, bukanlah satu-satunya jawaban yang dapat digunakan
untuk mengeneralisasi terungkapnya jawaban atas pertanyaan “apakah manusia?”,
Banyak filosof yang hadir setelah mereka, memberikan jawaban yang berbeda-beda
pula, mulai yang beraliran humanisme, rasionalisme, empirisme, positipisme
logis, marxisme , teosofi-transendental dan sebagainya. Masing-masing
berbeda-beda dalam memberikan tanggapannya tergantung dari landasan dan
orientasi berpijak, mazhab pemikiran serta kepercayaannya.
Dr. Alexis Carrel (1873-1944)
menjelaskan tentang kesukaran yang dihadapi dalam menyelidiki hakikat manusia,
beliau menulis “Pengetahuan mengenai makhluk-makhluk hidup secara umum dan
manusia secara khusus belum lagi mencapai kemajuan seperti kemajuan yang telah
dicapai oleh ilmu pengetahuan yang lain. Manusia adalah kesatuan yang tidak
terpisahkan serta amat kompleks. Sehingga tidak mudah untuk untuk mendapatkan
suatu gambaran untuknya, sebagaimana tidak ada suatu carauntuk memahami makhluk
inidalam keadaannya secara utuh maupun dalam bagian-bagiannya, tidak juga dalam
memahami hubungannnya dengan alam sekitarnya” 3.
Kesukaran atas penyajian pengetahuan
atas “manusia” yang komprehensip membuat kita menyadari bahwa manusia adalah
makhluk yang terlalu menakjubkan untuk dilukiskan dalam banyak buah buku,
maupun beberapa lembar tulisan dan makalah. “Bahkan usia manusia tidak cukup
untuk merenungkan dirinya” kata Jalaluddin Rakhmat. Seperti kisahnya Pangeran
Persia Zemire , yaitu :
Alkisah, begitu cerita Anatole france dalam Pendapat
Jerome Coignard, Pangeran Persia Zemire memerintahkan para sarjana untuk
menuliskan sejarah manusia. Dua puluh tahun kemudian, sarjana itu baru
menyelesaikan proyeknya. Mereka datang kepada pangeran—kini sang raja—dengan
satu kafilah yang terdiri atas dua puluh ekor unta. Setiap ekor unta mengangkut
dua ratus jilid buku. Raja meminta riwayat yang lebih ringkas. Para sarjana
bekerja dengan keras dan datang lagi dengan versi yang lebih pendek—kali ini
hanya diangkut dengan tida ekor unta saja. Raja memintanya lebih dipendekkan
lagi. Sepuluh tahun kemudian, mereka membawa satu jilid raksasa—buku tentang
manusia, diangkut dengan satu keledai saja. Raja sudah tua renta dan berbaring
sakit diranjang tidurnya. Ia merintih “Aku akan mati tanpa mengetahuai sejarah
manusia”. Seorang diantara sarjana yang masih hidup berkata : “ Baginda,
saya dapat meringkaskannya untuk baginda dalam tiga kalimat. Mereka Lahir.
Mereka menderita. Mereka mati “.4
Pandangan Agama Mengenai
“Manusia”
Karena begitu kompleknya pembahasan mengenai manusia, maka penulis dalam hal
ini hanya ingin menyoroti “manusia” dalam perspektif “agama”. Kenapa yang
menjadi pilihan adalah pembahasan “agama”. Penulis kira “agama” adalah Fitrah
Manusia—selanjutnya akan dibahas.
Manusia yang sering disebut oleh
Aristoteles sebagai hewan yang dapat berfikir (thinking animal) ,
tentunya, tidak hanya berdiam diri dan berhenti atas sebuah pernyataan Dr.
Alexxis Carrel diatas, yang mengatakan bahwa sukar untuk mengetahui hakikat
manusia. Jika untuk mengetahui tentang hakikat manusia begitu sukarnya, kenapa
tidak mencoba untuk membahas manusia dari asal muasal kejadiannya (prosesi
penciptaan), fhitrahnya (potensi) dan beragam keunikannya yang lain, yang
mungkin saja, akan mampu untuk mengantarkann kita pada epistemologi tentang
hakikat manusia.
Untuk memahami manusia tidak ada cara lain selain memahami hidup dan tingkah
lakunya, tapi memahami hidup dan tingkah lakunya masih merupakan hal yang
misterius dan mengundang banyak tanda tanya, mengingat manusia yang multikompleks.
Agama, bagaimanapun tidak berpretensi untuk menjernihkan misteri manusia.
Agama, mengakui dan meperdalam misteri ini. Tuhan yang dibicarakan oleh agama
adalah Deus absconditus, Tuhan yang tersembunyi5. Sehingga manusia pun sebagai ciptaannya
adalah hal yang misterius juga, homo absconditus. Maka, agama dapat
dikatakan, ialah logika absurditas, kontradiksi hakiki, sifat ganjil manusia6. Tali temali kondisi kita berpusat dan
berpaling kearah jurang ini ; manusia tanpa misteri ini lebih sukar dipahami
daripada sulitnya manusia memahami misteri itu sendiri7.
Didalam keinginan untuk menanyakan masalah ini. Banyak orang menemukan suatu
unsur transendensi yang mengacu kepada sesuatu yang lebih besar dari
manusia, Tuhan, yang mereka yakin akan memberikan petunjuk benar mengenai
masalah itu.. Bila kita memasukkan unsur-unsur transenden maka mau
tidak mau kita telah mendekat ipandangan-pandangan teologi. Dalam pembahasan
selanjutnya , teologi yang dimaksud adalah “teologi Islam”.
Kecenderungan para teolog, memandang bahwa roh manusia adalah petunjuk
sebenarnya mengenai hakekat “manusia”. Dalam arti, hakekat manusia tidak
dipandang secara fisikya melainkan kesalehan, ketaqwaan, ketundukan kepada
Tuhan yang dianggap sebagai kesejatian manusia. Korelasi hubungan Hamba—dalam
hal ini manusia—dengan Tuhan lah yang menjadi objek studi kaum teolog.
Kenapa Manusia Butuh Agama ?
Beragam opini yang telah mencoba untuk mengekspolarsi kenapa sampai
manusia membutuhkan agama. Embrio atau benih apa yang menyebabkan timbulnya
agama ?. “ Sigmund Freud, ahli ilmu kejiwaan itu, berpendapat bahwa benih agama
munculnya dari kompleks oedipus. Mula-mula seorang anak merasakan doongan
seksualterhadap ibunya yang pada akhirnya membunuh ayahnya sendiri, karena sang
ayah merupakan penghalang bagi tercapainya tujuan itu. Namun pembunuhan
inimelahirkan penyesalandidalam jiwa sang anak, sehingga lahirlah penyembahan terhadap
ruh sang ayah. Dari sinilah bermula rasa agama dalam jiwa manusia”8. Sementra itu, pemuka-pemuka Islam dalam
hal ini ulama, mengatakan bahwa benih agama muncul dari penemuan manusia atas
kebenaran, keindahan dan kebaikan9.
Pada dasarnya, kebutuhan akan agama berawal dari pencarian panjang akan
“pemahaman” ekistensi manusia dan lingkungannya. Informasi dan penjelasan atas
semua itu, ia temukan dia air, tanah, hewan, tumbuh-tumbuhan maupun manusia
lain. Perenungan-perenungan atas penemuan dan pemhaman atas segenap fenomena
alam beserta segenap isinya telah mengantarkan manusia akan ketakjuban atas
suatu ‘eksistensi lain” yang berada diluar dirinya , yang ia anggap lebih kuat,
lebih baik, lebih kuasa dan sebagainya atas keterbatasan dirinya.
Ketika manusia dilahirkan keatas dunia, mungkin dia belum banyak mengetahui,
atau malah mungkin dia tidak mengetahuai apapun. Namun perlahan-lahan akal
membawanya merekam informasi dan merajutnya menjadi ilmu pengetahuan. Ia mulai
mengolah pengetahuan itu untuk menaklukkan alam demi memenuhi kebutuhan
hidupnya. Tapi, tak jarang manusia harus membutuhkan bantuan
orang—manusia--lain dalam memenuhi kebutuhannya tersebut. Itulah kenapa
manusia disebut sebagai makhluk sosial.
Hidup manusia bagaiakan
lalulintas, masing-masing ingin berjalan dengan selamat sekaligus cepat sampai
tujuan10. Nah, coba anda bayangkan ketika
tidak ada lalu lintas serta rambu-rambu kehidupan yang mengatur semua
perjalanan kehidupan ini, maka yang terjadi adalah benturan-benturan dan
gesekan-gesekan terus-menerus, karena semuanya ingin saling mendahului (contoh
sederhana lihat saja di jalan raya ketika lampu jalannya mati, semua orang
kelihatnnya ingin mendahuli sehingga tidak jarang mengakibatkan kecelakaan).
Disinilah agama berperan sebagai rambu lalu lintas kehidupan.
Dengan adanya agama
sebagai rambu-rambu lalu lintas kehidupan , maka tentunya manusia akan punya
satu pegangan peraturan dalam menjalani kehidupannya, dia akan tahu kapan
misalnya dia harus jalan (lampu hijau). Kapan harus stop(lampu merah), kapan
dia harus hati-hati (lampu kuning) serta berbagai banyak rambu-rambu pelengkap
lainnya. Maka penulis yakin, penjabarkan di atas, tentunya memudahkan
kita untuk memahami agama sebagai pandangan hidup umat manusia didunia.
Pada konteks “Agama
sebagai Pandangan Hidup Umat Manusia” diatas sebenarnya penulis hanya ingin
melakukan satu bentuk penyederhanaan pembahasan , karena memang pernyataan
diatas belum tentu merupakan satu kesepakatan universal umat manusia didunia.
Bahkan ada faham didunia ini yang tidak mengakuai eksistensi Tuhan sebagai
bentuk representasi wahyu Tuhan lewat agama, artinya mereka memang tidak
memberikan sedikitpun porsi bagi agama untuk dapat terlibat dalam penyelesaian
persoalan kehidupan. Mereka mengatakan bahwa agama hanya ide ciptaan manusia,
dan dia bukanlah realitas kehidupan. Seperti yang dikatakan Si “Jenggot” Marx ,
ia mengutip apa yang dikatakan Feurbach ”manusia yang membuat agama, bukan
agama yang membuat manusia”11. Agama adalah materialisasi
dari hakikat manusia dalam dunia maya, dan itu tanda bahwa manusia belum
merealisasikan hakekatnya. Agama adalah candu sekaligus ungkapan penderitaan
yang sungguh-sungguh dan protes terhadap penderitaan. Agama adalah keluhan
makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu
roh zaman yang tanpa roh. Ia adalah candu rakyat12.
catatan kaki :
1 Plato, memulai untuk menanamkan kebenaran kedalam setiap jiwa
manusia, namun untuk mencapai kebenaran , setiap manusia mesti mencari dan
menemukannya semenjak ia lahir kedunia. Ia mengungkap bahwa “kebenaran ,
pada hakikatnya, adalah buah hasil pemikiran yang dialektis “. Lihat Plato, Apologia,
37 E (a.b. Jowett) dikutip oleh Ernst Cassirer dalam Manusia Dan Kebudayaan
: Sebuah Esei Tentang Manusia, PT. Gramedia, Jakarta 1987, halaman 10.
2 Ernst Cassirer dalam Manusia Dan Kebudayaan : Sebuah Esei
Tentang Manusia, , halaman 10.
3 Dr. Alexis Carrel dalam Al-Insan Dzalika Al-Majhul (Manusia yang
Tidak Diketahuai) yang dikutip oleh Dr. M. Qurraish Shihab dalam Membumikan
Al Quran, Mizan, Bandung 1997. Cetakan XIV, halaman 224.
4 Dr. Jalaluddin Rakhmat dalam kata pengantar bukunya Murthada Muthahhari
Perspektif Al Qur’an Tentang Manusia dan Agama, ,Mizan, Bandung 1998.
cetakan X, halaman 36.
5 Ernst Cassirer dalam Manusia Dan Kebudayaan : Sebuah Esei
Tentang Manusia, , halaman 20.
6 Ernst Cassirer dalam Manusia Dan Kebudayaan : Sebuah Esei
Tentang Manusia, , halaman 20.
7 Ernst Cassirer dalam Manusia Dan Kebudayaan : Sebuah Esei
Tentang Manusia, , halaman 21.
8 Dr. M. Qurraish Shihab dalam Membumikan Al Quran, Mizan,
Bandung 1997. Cetakan XIV, halaman 210.
9 Manusia pertama, yang diperintahkan oleh Allah untuk turun ke bumi,
diberi pesan agar mengikuti petunjuknya. Petunjuk pertama yang melahirkan
agama, menurut mereka, adalah krtika adam dalam perjalanannya di bumi ini,
menemukan ketiga hal tersebut diatas. Adam menemukan keindahan pada alam raya,
Dan ditemukannya kebaikan apada angin sepoi yang menyegarkan atau pada air yang
sejuk dikala ia sedang kehausan. Kemudian ditemukannya kebenaran dalam
ciptaan Tuhan yang terbentang didalam alam raya dan dirinya. Gabungan ketiga
hal ini melahirkan kesucian. Sang manusia yang punya naluri ingin tahu,
berusaha untuk mendapatkan apa yang paling indah, benar dan baik ?. Jiwa dan
akalnya mengantarkan manusia bertemu dengan yang Mahasuci dan ketika ia
berusaha untuk bertemu dengan yang maha suci, dan bahkan berusaha untuk
mencontoh segala sifatnya. Dari sinilah agama laihir. Begitulah Quraish Shgihab
mendeskripsikan pandangan para pakar Islam dalam mengurai kebenran, keindahan
dan kebaikan. Lebih lanjut lihat Dr. M. Qurraish Shihab dalam Membumikan Al
Quran, , halaman 210.
10 Dr. M. Qurraish Shihab dalam Membumikan Al Quran, halaman 211.
11 Lihat Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, dari Sosialisme
Utopis ke Perselisihan Revisionisme,Gramedia, Jakarta, 1999, hal 72.
12 Franz Magnis Suseno
NURAMIN SALEH
KETUA UMUM BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA (BEM)
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS '45' MAKASSAR /
KABID.PPPA HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HmI)
KOORDINATOR KOMISARIAT '45' MAKASSAR
Komentar
Posting Komentar