Etika Postmodernisme
Sebelum kita membedah lebih jauh tentang posmodernisme, ada beberapa
hal yang mesti diperhatikan berkenaan dengan prinsip-prinsip dasar yang
merupakan ciri khas dari modernisme, dimana ciri tersebut dijadikan kritik
sekaligus menjadi asumsi mendasar perkembangan posmodernisme.
Pertama, subyektifitas
yang relatif, yaitu pengakuan atas pemikiran atau kesadaran rasional yang
dianggap mampu menjawab masalah kehidupan masyarakat.
Kedua, subyektifitas
kritis/reflektif, yaitu kemampuan untuk memunculkan reaksi atas kebebasan.
ketiga,
kesadaran historis yang dimunculkan oleh subyek, modernitas percaya dengan
perkembangan masa depan yang berjalan linier, unik dan tidak akan terulang.
Keempat,
universialisme, dimana modernitas bersifat normatif yang berlaku untuk semua
masyarakat yang ingin melakukan modernisasi. Lebih lanjut prinsip modernitas
yang rasional akan menciptakan iklim masyarakat yang terpenjara dalam sebuah
sistem yang totaliter dan berpotensi besar berujung pada tindakan
penguasa/negara yang sangat refresif[1] Masyarakat
modern cenderung sekuler berdasarkan struktur yang terbangun dalam sistem
kenegaraan menuju sebuah grandnarrative yang bersembunyi dibalik
kepentingan kekuasaan. Pada situasi seperti itu, legitimasi kekuasaan akan
diuji melalui kritik, kesahihan kitab diperhadapkan dengan rasionalitas, begitu
juga tegangan yang terjadi antara realitas masa depan dengan tradisi
masyarakat.
Apakah postmodernisme
itu? Bolehkah kita mengajukan pertanyaan ini? Bukankah pertanyaan ini menjurus
pada pencarian esensi dari ‘postmodernisme’? Ini berarti berusaha mencari suatu
pengertian definitif atau suatu kesatuan representasi atas referent yang
kemudian diberi nama ‘postmodernisme’?
Donny Gahral Adian membedakan postmodernisme
dari postmodernitas. Postmodernitas, tulisnya, merupakan istilah yang biasanya
digunakan untuk menggambarkan realitas sosial masyarakat postindustri.
Masyarakat post-industri adalah masyarakat yang ekonominya telah bergeser dari
ekonomi manufaktur ke ekonomi jasa di mana ilmu pengetahuan memainkan peranan
sentral. Postmodernitas ini ditandai dengan
fenomena-fenomena : negara bangsa pecah menjadi unit-unit yang lebih kecil atau
melebur ke unit yang lebih besar, partai-partai politik besar menurun dan
digantikan oleh gerakan-gerakan sosial (LSM-LSM), kelas sosial terfragmentasi
dan menyebar ke kelompok-kelompok kepentingan yang memfokuskan diri pada
gender-etnisitas-atau orientasi seksual, serta prinsip kesenangan dan dorongan
mengkonsumsi yang menggantikan etika kerja yang menekankan disiplin, kerja
keras, anti kemalasan, dan panggilan spiritual (kerja = ibadah). Sementara itu
postmodernisme dimengertinya sebagai wacana pemikiran baru yang menggantikan modernisme. Postmodernisme
meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme seperti adanya subyek yang sadar diri
dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier (Adian, 2001).
Senada dengan Gahral Adian, Anthony Giddens ternyata juga membedakan
postmodernisme (postmodernism) dari postmodernitas (postmodernity).
Postmodernisme, jika sungguh-sungguh ada, menurut Giddens sebaiknya diartikan
sebagai gaya atau gerakan di dalam sastra, seni lukis, seni plastik, dan
arsitektur. Gerakan ini memperhatikan aspek-aspek aesthetic reflection
dari modernitas. Sementara itu postmodernitas dimengertinya sebagai tatanan
sosial baru yang berbeda dengan institusi-institusi modernitas. Namun,
alih-alih menggunakan istilah postmodernitas, Giddens lebih suka menggunakan
istilah “modernitas yang teradikalisasi” (radicalized modernity) untuk
menggambarkan dunia kita yang mengalami perubahan hebat dan sedang melaju
kencang bak Juggernaut yang tak bisa lagi dikendalikan, suatu dunia yang
mrucut (runaway world). Alih-alih setuju dengan postmodernitas
yang mewartakan berakhirnya epistemologi, Giddens lebih percaya bahwa apa yang
terjadi sekarang ini adalah “modernitas
yang sadar diri” (Giddens,
1990).
Pada paper ini penulis mencoba untuk membedah
secara kritris tentang etika posmodernisme, berbagai fenomena manusia modern
sebagai makhluk sosial tidak lepas dari proses interaksi yang menuntut manusia
untuk tetap menunjukkan moral sebagai simbol dari eksistensi mereka. Dalam
berbagai konteks manusia akan diperhadapkan pada persoalan moral, baik interaksi
sosial, hubungan bilateral sampai pada penerapan teknologi mutakhir. Menurut
Bauman manusia itu secara moral pada hakikatnya bukan baik ataupun buruk,
melainkan ambivalen[2]. Fenomena moral itu secara
inheren ‘non-rasional’. Oleh karena itu moralitas bersifat aporetic dan
tak dapat diuniversalisasikan. Klaim filsafat modern akan adanya dasar-dasar
moral (foundation) yang rasional dan rumus-rumus etis (peraturan) yang
bersifat normatif-universal tak dapat diterima. Moralitas perlu dilepaskan dari
peraturan yang memaksa dan dikembalikan tanggung jawab individu. Manusia perlu
menjadi bermoral bukan karena being with other melainkan karena being
for other (relasi asimetri). Kita hidup dalam persilangan sosialisasi dan
sosialitas, ruang kognitif dan ruang moral di mana seni moralitas merupakan
seni ambivalensi moral. Dalam kondisi ini stranger atau the other
yang lemah dan yang mungkin menjadi korban (teknologi) perlu dirawat dan
diperhatikan.
Kurang dari empat tahun yang lalu, dunia
dikejutkan oleh suatu peristiwa yang bagi sejarah Amerika maupun dunia sangat
mengerikan. Menara kembar World
Trade Center hancur ditabrak pesawat American Airlines
flight 11 yang dibajak oleh para “teroris”. Diperkirakan 6000 jiwa melayang
akibat serangan tersebut. Tragedi tanggal 11 September 2001 ini dinilai lebih
buruk daripada penyerangan yang dilakukan oleh Jepang dalam peristiwa Pearl
Harbour. Amerika Serikat menginvasi Afganistan yang dituduh melindungi Osama
Bin Laden, tersangka utama dalam tragedi 11 September. Serangan yang diklaim
oleh pihak AS sebagai “perang melawan terorisme internasional” ini ternyata
juga menimbulkan banyak korban jiwa dan harta. Dalam “perang” tersebut AS dan
koalisinya mengandalkan serangan udara dengan jet-jet tempur mutakhir dan rudal
berteknologi canggih. Dengan keunggulan teknologinya AS menjanjikan suatu
serangan yang tepat sasaran, yaitu pada daerah-daerah konsentrasi pasukan
Taliban. Namun demikian, kecanggihan itu ternyata masih juga mengakibatkan
banyak nyawa masyarakat sipil melayang.
Perkembangan kehidupan modern yang tak kalah
menggetirkannya adalah perilaku manusia modern yang termanjakan oleh
perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat. Teknologi komputerisasi dan
mobilephone telah merubah wajah dunia yang tanpa batas. Individu-individu akan
terhubung satu dengan yang lain tanpa jarak ruang dan waktu diseluruh dunia
melalui bank-bank data yang disiapkan oleh perusahaan yang memproduksi barang
teknologi maupun informasi melalu situs-situs internet. Networking life sudah
menjadi gaya hidup yang jauh dari norma-norma universala yang berlaku dalam
masyarakat, tetapi mereka hanya mengenal norma-norma virtual reality. Semua
orang dapat melampiaskan hasratnya melalui fasilitas yang telah disiapkan oleh
tutor. Sebuah ruang baru yang menyediakan kebebasan yang lebih ekspresif tanpa
batasan nilai dan norma. Virtual reality juga telah mengantarkan manusia
hidup dalam bayang-bayang realitas yang semu. Kebebasan yang semu, cinta yang
semu, kehadiran diri yang semu. Teknologi telah memakasa manusia masuk kedalam
ruang ilusi virtual, Mark Zlauka menyebutnya “mimpi dalam keadaan sadar”.
Berkaca dari dua peristiwa tersebut kiranya tak
dapat dipungkiri bahwa ada penyalahgunaan teknologi tinggi yang memakan begitu
banyak korban. Perkembangan teknologi yang makin mengarah pada kesempurnaan dan
hasil yang maksimal ternyata cenderung membahayakan sesama. Semakin tinggi
teknologi, semakin tinggi pula dampak negatif yang mungkin muncul. Teknologi
yang diyakini sebagai buah dari rasio manusia di sini menjadi salah satu
perhatian etika Zygmunt Bauman.
dihadapkan pada masalah modernitas hubungannya dengan teknologi dan ilmu
pengetahuannya, teknologi menjadi ironi dan buah simalakama. lalu bagaimanakah
etika dewasa ini menanggapinya? Betulkah kritik etika posmodernisme
adalah ujung dari kebuntuan masyarakat modern dalam menjawab problem moral para
teknokrat sehubungan dengan hasil karya mereka ?.
ETIKA POSMODERNISME
Bauman mencoba memotret permasalahan seputar
etika abad ini. Etika di sini perlu diartikan secara luas: sebagai tingkah laku
manusia pada zaman ini; sedangkan postmodern sendiri dimaksudkan sebagai cara
memandang modernitas secara telanjang terutama berkaitan dengan
kebobrokan-kebobrokannya. Pandangan Bauman mengenai etika postmodern dibangun
atas sejumlah publikasi, berawal dari Legislators And Interpreters
(1988) sampai dengan Life in Fragments: Essays in Postmodern Morality
(1995). Menurut Bauman, pluralisasi
telah meruntuhkan klaim kaum absolutis tentang filsafat Barat dan teori-teori
sosial. Filsafat Barat yang mengikuti Locke dan Kant, mengklaim telah menemukan
metode yang benar (epistemologi)
untuk menentukan the Truth. Kebenaran tersebut bersifat tunggal
dan berlaku universal. Klaim universalisme Barat sekarang tampak tidak lebih
dari pada sebuah pretensi. Menurut Bauman, “pretensi” tersebut tak lain adalah
sebuah topeng dari motivasi ideologis untuk melindungi dan membangun
“budaya” dan “rasionalitas” masyarakat Barat[3].
Jika kepastian filsafat Barat diruntuhkan, kedudukan para intelektual juga
terancam. Ia mengeluhkan pretensi mengenai universalitas seluruh filsafat dan
teori sosial kaum modernis.
Namun demikian, sementara menegaskan bahwa teori
kaum modernis telah kehilangan cara untuk menghadapi pluralisme yang baru
tersebut, Bauman menemukan bahwa postmodernisme dapat menanggapi problematika
itu secara seimbang. Postmodernisme, menurutnya, dapat menghadapi universalisme
filsafat kaum modernis dengan benar. Dalam bukunya yang berjudul Postmodern
Ethics, Bauman mencoba menawarkan semacam alternatif bagaimana menempatkan
etika dalam kehidupan saat ini yang ditandai dengan pluralisasi dan ambivalensi
moral.
Etika postmodern menolak banyak hal yang
dianggap sebagai pandangan etika modern. Etika postmodern menolak atau lebih
tepatnya mempertanyakan kembali hal-hal seperti: 1) peraturan normatif
yang memaksa; 2) pencarian dasar-dasar etika dan bentuk-bentuk universal
serta mutlak dari etika; 3) pencarian sebuah kode etik modern yang non
ambivalen dan tidak mengandung kontradiksi sama sekali. Pendekatan
postmodern terhadap moralitas sering diasosiasikan dengan “perayaan kematian etika”,
penggantian etika dengan estetika.
Lipovetsky misalnya saja menyatakan bahwa kita sekarang sudah
memasuki era pasca kewajiban moral.
Perilaku kita dibebaskan dari “kewajiban mutlak”. Era kita adalah era
individulisme yang murni-tak terpalsukan (unadulterated) serta pencarian
kehidupan yang lebih baik (good life), yang hanya dibatasi oleh tuntutan
untuk bertoleransi. Pandangan semacam ini dinilai oleh Bauman sebagai suatu
kesalahan. Lipovetsky dianggap mengacaukan antara topik investigasinya dengan
sumber-sumber investigasinya. Menjelaskan kebiasaan yang ada tidak berarti
telah membuat suatu statement moral. Karena pola perilaku manusia dalam
interaksi sosial tidak serta merta dapat diasosiakan sebagai suatu tindakan
amoral. Bisa jadi tindakan itu adalah bentuk perlawanan atas norma-norma yang
mengikat dan cenderung dipaksakan oleh struktur masyarakat setempat. Ini adalah
bentuk nyata dari tarian manusia modern menyambut kematian etika.
Meskipun etika postmodern mempertanyakan kembali
berbagai hal yang dipandang sebagai etika modern, isu besar dalam etika tidak
kehilangan nilai pentingnya. Bahkan dalam sebuah dunia postmodern kita
ditatapkan dengan isu-isu yang signifikan seperti hak asasi, keadilan sosial
dan berbagai konflik. Konflik tersebut bisa jadi antara usaha kerja sama yang
damai bertentangan dengan penegasan individu. Bisa juga terjadi konfrontasi
antara tingkah laku individu dan kesejahteraan kolektif. Isu-isu tersebut tetap
ada tetapi harus dihadapi dan dilihat dengan cara pandang yang baru. Kebaruan
pendekatan etika postmodern tidak terletak pada usahanya untuk meninggalkan apa
yang menjadi perhatian (concern) moral modern, melainkan pada
penolakannya terhadap cara-cara modern menghadapi masalah moral. Menghadapi
masalah-masalah moral, pendekatan modern memproduksi peraturan-peraturan
normatif yang memaksa-yang diintegrasikan dalam praktik politik. Selain itu
juga dihasilkan pencarian filosofis akan teori moral yang absolut, universal,
dan memiliki foundation.
Dalam pandangan modern meskipun orang itu bebas,
namun orang yang bersangkutan baru sungguh bebas apabila ia menggunakan
kebebasannya itu untuk memilih yang benar. Oleh karena itu, alih-alih memandang
moralitas sebagai “sikap alamiah” manusia, para legislator dan pemikir modern
memandang moralitas sebagai sesuatu yang harus diajarkan kepada manusia. Atas
dasar inilah mereka mencoba menyusun suatu etika yang komprehensif, dapat
diajarkan dan memaksa untuk ditaati (wajib). Otonomi subyek
yang rasional dan heteronomi manajemen (masyarakat) yang rasional ini saling
mengandaikan, namun keduanya tak dapat eksis secara damai pula. Inilah aporia
itu, suatu kontradiksi yang tak dapat diatasi. Pemikiran etika modern mencoba
mengatasi kontradiksi ini dengan univesalitas dan foundation guna
menghasilkan suatu kode etik yang non-ambivalen dan non-aporetic.
Namun kode etik yang semacam itu tak pernah dapat ditemukan.
Berbeda dengan pandangan modern, dalam
perspektif postmodern hukum moral memang mengandung berbagai macam ambivalensi
dan kontradiksi. Aspek-aspek kondisi moral menurut perspektif
postmodern[4]
adalah sebagai berikut:
- Masyarakat secara moral pada hakekatnya tidak baik maupun buruk tetapi ambivalen. tidak ada kode etik yang secara logis dapat “cocok” dengan kondisi moralitas yang secara esensial ambivalen ini.
- Fenomena moral secara inheren adalah ‘non-rasional’; fenomena moral ini tidak teratur, tidak berulang, tidak monoton, tidak dapat diprediksi sehingga tidak dapat dirumuskan dalam suatu pedoman tertentu (rule-guided). Bagaimanapun juga tidak ada kode etik yang mungkin dapat menghadapi fenomena moral dalam sebuah cara yang mendalam, lengkap dan dapat menyelesaikan segala masalah etika dengan lengkap dan menyeluruh.
- Moralitas secara inheren penuh dengan kontradiksi yang tidak teratasi.Ini berarti bahwa masalah moral mengandung konflik yang tidak dapat dipecahkan (aporia).
- Tidak ada sesuatu atau satupun yang merupakan sebuah moralitas yang berlaku secara universal.
- Dari perspektif “perintah rasional”, moralitas terikat untuk tetap irasional.
- Karena Bauman menolak sistem etika-yang memaksa, yang keluar dari masyarakat sebagai suatu yang universal, dia berargumen bagi sebuah sistem etika yang memancar dari Sang Diri individu. Hal ini berdasar pada asumsi bahwa “being for the Other” mendahului “being with the Other.”
- Meskipun perspektif postmodern mengenai moralitas menolak bentuk moralitas yang memaksa dari perspektif modern, tidak berarti menerima ide apa saja, misalnya ide relativisme moral. Yang dilihat oleh postmodernisme adalah adanya relativisme kode etis.
Lebih jauh Bauman mencoba mengamati perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi dipandang dari sudut etika. Ilmu Pengetahuan dan
teknologi di sini tentu dimaksudkan sebagai hasil dari rasionalitas yang
merupakan elemen terpenting dalam modernitas. Bauman mencoba menempatkan sisi
positif dan negatif dari sudut yang berimbang. Dalam hal etika mengenai
teknologi, Bauman mencoba mendasarkan pendapatnya pada etika Hans Jonas[5].
Pertama-tama, Bauman melihat bahwa teknologi
telah menjadi sistem yang tertutup. Ini berarti, teknologi menjadikan dunia ini
sebagai sumber bahan mentah sekaligus tempat sampah. Semakin banyak masalah
yang ditimbulkan oleh teknologi semakin banyak lagi kemampuan dan ketrampilan
teknologi yang dibutuhkan untuk memecahkannya. Dengan kata lain, hanya
teknologilah yang dapat memperbaiki teknologi. Ini adalah agenda jangka panjang
para teknokrat penyembah modernitas untuk tetap mempertahankan dominasi
teknologi dalam kehidupan modern. Hal ini biasanya ditopang oleh dukungan
penguasa, karena disatu sisi teknologi adalah media yang paling efektif untuk
mensosialisasikan ideologi tersembunyi kepada mayarakat; (Foucault : 1967). Teknologi
sendiri tidak dapat dilepaskan begitu saja dari sejarahnya. Perkembangan
tersebut secara garis besar dapat dikatakan sejak manusia masih tergantung pada
kekuatan diri dan alam (otot manusia, tenaga binatang, sungai dan angin) sampai
pada manusia yang menguasai alam. Dengan teknologi, manusia mampu mengatasi
alam secara baru. Teknologi membuat manusia mampu mendominasi, mengontrol, dan
mengatur sesuatu termasuk menjadikan manusia lain menjadi obyek teknologi itu
sendiri. Tentu saja teknologi tersebut melibatkan kalkulasi rasional, kegunaan
praktis, dan rasa kesenangan. Kemampuan manusia dan sistem tertutup dari
teknologi tersebut semakin kentara dengan fenomena para spesialis yang
menguasai secara mendalam suatu bidang tertentu.
Menurut Bauman, teknologi justru hanya
menciptakan ruang-ruang bagi homo ludens (para penjudi), homo
oeconomicus (para pengusaha) dan homo sentimentalis (kaum hedonis).
Pertanyaannya adalah di manakah ruang moral? Menurut Bauman, diri moral paling
nampak jelas dan mencolok di antara korban-korban teknologi. Seperti disebutkan
dalam tragedi WTC dan Afganistan, diri moral nampak dalam mereka yang menjadi
korban, baik yang di WTC maupun penduduk Afganistan. Hal yang sama dirasakan
oleh para aktivis perempuan, net-tecnology dianggap sebagai media yang
mengeksplorasi perempuan tanpa batas tertentu. Isu pornografi atau pornoaksi
adalah bentuk reaksi moral dari dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan
teknologi komputerisasi. Namun demikian, tidak ada tempat bagi subyek moral.
Dalam semesta teknologi, diri moral yang mengabaikan kalkulasi rasional,
kegunaan praktis dan rasa kesenangan merupakan yang asing yang tidak
dikehendaki kehadirannya.
Teknologi sendiri dengan berbagai bentuk
menghasilkan risiko-risiko dan bahaya. Logika untuk menghasilkan kesejahteraan
secara berangsur-angsur digantikan oleh logika menghindari dan mengatur risiko.
Muncullah apa yang dinamakan dalam istilah Ulrich Beck sebagai
“Risk Society”. Menurut Ulrich Beck sebagaimana yang dikutip oleh
Bauman, bahaya atau risiko tersebut tidak dapat dilihat dengan mata telanjang
dan tidak dapat secara langsung dikenali terutama oleh masyarakat pada umumnya.
Masyarakat inilah yang merupakan calon korban dari teknologi
tersebut. Namun demikian peperangan melawan risiko itu sendiri berhadapan
dengan berbagai macam tantangan yang tidak mudah.
Bauman menegaskan bahwa kasus yang dekat secara typical
dapat ditemukan dalam masyarakat yang berteknologi tinggi. Korban risiko
teknologi yang tidak diketahui cocok dengan gambaran Levinas mengenai the
Other yang lemah, rapuh dan tanpa kekuatan. Mereka sungguh-sungguh tanpa
kekuatan karena mereka tidak dapat membalas apa yang telah dilakukan orang lain
terhadap dirinya. Apapun bentuknya, moralitas pertama-tama dan terutama
haruslah sebuah etika mengenai pembatasan diri (self-elimination)
sebagai mana terjadi dalam moralitas kedekatan (proximity). Dalam
konteks moral kelompok, etika bertugas untuk menggambarkan akibat-akibat dari
sebuah tindakan dalam hal ini tindakan yang berhubungan dengan teknologi.
Ramalan mengenai malapetaka atau kemungkinan munculnya bencana kemanusian
karena teknologi diberi porsi lebih besar daripada ramalan mengenai
kebahagiaan, kemajuan maupun kesempurnaan. Yang menjadi dorongan pertama dan
terutama adalah sebuah etika yang menjaga dan mencegah seperlunya, bukan atas
dorongan kemajuan dan kesempurnaan. Dengan demikian etika tersebut mempunyai
dua tugas utama yaitu menvisualisasikan bahaya-bahaya yang dapat terjadi dengan
munculnya teknologi sekaligus melindungi mereka yang karena kesederhanaan dan
keterbatasannya menjadi korban teknologi itu sendiri.
Di bidang moral dibayangkan bahwa modernisme
akan melahirkan pribadi-pribadi moral yang otonom, manusia sejati yang mampu
mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya sendiri secara rasional, dengan
mengikuti prinsip-prinsip etika universal. Dalam prakteknya justru tidak
terjadi demikian karena kontrol, birokrasi, bisnis, dan fragmentasi.
Sumber Referensi :
[1] Foucault, M, Madness and Civilization,
London: Tavistock, 1967
[2] Bauman, Zygmunt, Postmodern Ethics, Oxford: Blackwell
Publishers Ltd., 1993.
[3] http://www.sociologyonline.co.uk/PopBauman.htm
[4] Ketujuh butir ini merupakan ringkasan perspektif postmodern dari
bukunya Zygmunt Bauman, op.cit., hlm. 10-15.
[5] (Magnis-Suseno, Franz, 2000, 12 Tokoh Etika Abad ke-20,
Kanisius, Yogyakarta, hlm. 176
Komentar
Posting Komentar