HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM DI ERA KEKINIAN


Himpunan Mahasiswa Islam lahir 14 Rabiul Awal 1366 Hijriah, bertepatan dengan 5 Februari 1947 Masehi. Dus, pada 14 Rabiul Awal 1427 (kira-kira 14 Maret 2006) HMI genap berusia 61 tahun (hijriah) dan 5 Februari 2006 tepat berusia 59 tahun (masehi). Suatu usia yang cukup berumur dan tentu saja mengundang sejumlah konsekuensi. Bagaimanakah kondisi HMI dalam usianya yang telah menginjak 61/59 tahun tersebut? Banyak instrumen analisa dan perspektif yang dapat kita gunakan untuk memahami kondisi HMI saat ini, diantaranya adalah arkeologi dan geneologi pengetahuan yang diperkenalkan oleh Michel Foucault.

Metode arkeologi memfokuskan kajian pada pernyataan atau wacana dengan sistem prosedur yang memproduksi, mengatur, mendistribusi, mensirkulasi, dan mengoperasikannya. Mengupas wacana sebagai suatu sistem ‘internal’ dengan ‘prosedur-prosedurnya’ yang teratur. Sedangkan geneologi memberikan pusat perhatian pada hubungan timbal balik antara sistem kebenaran (pernyataan/wacana) dengan sistem kuasa (mekanisme yang didalamnya suatu “rezim politis” memproduksi kebenaran). Geneologi tidak berusaha menegakkan pondasi-pondasi epistemologis yang istimewa, tapi ia mau menunjukkan bahwa asal-usul apa yang kita anggap rasional, pembawa kebenaran, berakar dalam dominasi, penaklukan, hubungan kekuatan-kekuatan atau dalam suatu kata, kuasa.

Dengan menggunakan perspektif arkelogi dan geneologi pengetahuan, berarti kita akan melihat realitas HMI saat ini sebagai suatu realitas wacana/sistem pengetahuan dimana di dalam sistem wacana/pengetahuan tersebut terdapat prosedur-prosedur yang memegang kendali atas proses produksi, pengaturan, pendistribusian, pensirkulasian, dan pengoperasian sistem wacana/pengetahuan tersebut serta terdapat sistem kuasa atau relasi kuasa yang mengukuhkan sistem wacana/pengetahuan tersebut. Prosedur-prosedur tersebut kemudian kita sebut sebagai fundamental codes of cultures yang mewakili dimensi “nalar” dan relasi kuasa mewakili dimensi politis.

Konsekuensi dari perspektif ini adalah bahwa realitas HMI saat ini tidaklah merupakan suatu realitas yang terbentuk dengan sendirinya melainkan terbentuk melalui proses diskursif dimana terjadi proses pengukuhan fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tertentu dan proses peminggiran fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang lainnya. Fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut kemudian “berwenang” menentukan mana fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang dapat terus eksis, bahkan muncul sebagai “pemenang” dan menjadi mainstream (arus utama) atau mendominasi “wajah” realitas namun juga ada fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang jadi “pecundang” dan terpinggirkan (pheripheri) sehingga ia bisa jadi hanya berupa bercak saja atau malah benar-benar tersamar dari “wajah” realitas. Contohnya, di HMI berkembang beragam wacana keagamaan, wacana keagamaan yang modern-moderat-inklusif nampaknya merupakan “pemenang” dan wacana keagamaan yang tradisional-radikal-eksklusif merupakan “pecundang”, tetap berkembang namun tidak menjadi mainstream. Contoh lain, frame berpikir political oriented merupakan “pemenang”, sementara frame berpikir yang berorientasikan profesi adalah “pecundang”. Kemudian, orientasi politik-struktural merupakan “pemenang”, dan orientasi politik-kultural merupakan “pecundang”. Semangat ketergantungan terhadap senior/alumni adalah “pemenang” dan semangat independen/mandiri adalah “pecundang”, serta masih banyak contoh lainnya yang menentukan siapa pemenang dan pecundangnya merupakan “kewenangan” atau tergantung “selera” fundamental codes of cultures dan relasi kuasa.

Ketika sistem pengetahuan tersebut dengan fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang dimilikinya sudah demikian eksis dan tidak ada perlawanan terhadapnya, maka anggota HMI saat ini sesungguhnya tidak lebih dari robot-robot yang digerakkan secara otomatis oleh fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut. Ia dideterminasi cara berpikir dan tindakannya oleh fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut. anggota HMI tidak lebih sebagai pelanjut tradisi tanpa inovasi. Sebagai pelanjut saja dari senior-seniornya, maka wajar saja bila istilah-istilah seperti “bagaimana senior? apa perintahnya”, “adinda terserah senior saja” dan sebagainya menjadi cukup populer di HMI. Istilah-istilah tersebut, secara ekstrim menggambarkan hubungan patron-client (tuan-hamba) antara senior (alumni) dan anggota HMI.

Fundamental codes of cultures dan relasi kuasa ada yang buruk, dan tentu ada juga yang baik. Namun pasti ada fundamental codes of cultures dan relasi kuasa (yang buruk) yang menyebabkan kader HMI saat ini demikian pasrah pada “memory of the past”, pada kenangan masa lalu. Menggantungkan eksistensinya pada “kebesaran seniornya”, “berlindung di balik keagungan sejarah HMI” yang tidak pernah dibuatnya namun ia terus asyik memparasitkan diri menghisap “keberkahan” darinya. Inilah potret kader HMI yang kehilangan kritisismenya, tuli terhadap “memory of the future” (cita-cita masa depan) dan mengambil sikap ‘resist to change’, menolak perubahan. Kader HMI lupa bahwa pernyataan senior/masa lalu memang ada benarnya namun banyak juga yang sudah tidak benar lagi karena ‘zaman telah berubah’. Dalam konteks ini, pernyataan almarhum Nurcholish Madjid agar HMI dibubarkan saja menemukan pembenar karena beliau melihat bahwa relevansi HMI bagi masa kini dan apalagi bagi masa depan sudah jauh berkurang, kalaupun bukannya tidak ada lagi. HMI tidak lagi menjadi elemen penggerak kemajuan melainkan kekuatan status quo dan bahkan sebaliknya menggerakkan pada kemunduran.

Dengan demikian siapakah yang patut disalahkan atas kondisi HMI yang katanya mengalami kemunduran, mengalami konflik perpecahan di tubuh PB HMI yang terjadi dua kali berturut-turut, dan kelemahan lainnya dari organisasi HMI saat ini? Tidak ada seorang pun yang perlu disalahkan karena kondisi HMI saat ini merupakan produk fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang hidup dalam tubuh HMI. Fundamental codes of cultures dan relasi kuasa dapat bersemayam dan dikukuhkan dalam media seperti doktrin organisasi, aturan organisasi (AD, ART dan penjabarannya), dalam pola pendanaan aktivitas HMI, dan dalam pola interaksi keseharian antara kader dan pengurus HMI atau antara kader/pengurus dengan alumninya. Semuanya terbentuk melalui proses historis yang agak sulit dikendalikan oleh orang per orang, hanya tanggung jawab kolektif (generasi) yang dapat menghadapinya. Persoalannya adalah telah terdapat sejumlah generasi yang tidak menyadari bahwa ada fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang bekerja di tubuh HMI, yang disamping mengusung kebesaran HMI namun juga bekerja “menghancurkan” HMI, menghantarkan HMI pada ketidakrelevanannya dengan zaman.

Menyadari hal tersebut, sudah sepatutnya generasi sekarang mengembangkan kesadaran untuk mengenali fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut, mengambil sikap dan tindakan terhadapnya. Iktiar inilah yang merupakan upaya menghadirkan suatu ‘HMI Baru’ dan merupakan suatu bentuk rasa tanggung jawab sebagai kader HMI yang cinta akan organisasinya. ‘HMI Baru’ adalah HMI yang terbebas dari fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang buruk yang menyebabkan ia tertawan oleh masa lalu, dan “menebalkan” fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang baik serta menanamkan benih suatu fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang baru sehingga HMI dapat menyambut ‘kelahirannya kembali’ dan dengan penampilan meyakinkan mewarnai ‘zaman yang telah berubah’ ini. Ikhtiar untuk melaksanakan hal ini membutuhkan komitmen kuat dan terfasilitasi dengan baik sehingga forum tertinggi organisasi, Kongres, merupakan wadah yang paling tepat untuk membangun dasar-dasar ‘HMI Baru’ tersebut. Karena disana akan ditentukan (perubahan) doktrin organisasi (NDP), aturan main yang mendasar dari organisasi (AD, ART dan penjabarannya), program kerja serta nakhoda baru organisasi.

Himpunan Mahasiswa Islam Baru.
Ikhtiar menghadirkan ‘HMI Baru’ adalah bentuk perlawanan terhadap kondisi HMI yang menjauhi idealitas, terjebak pada kejumudan dan kehilangan “syahwat” inovasi. Untuk itu, ‘HMI Baru’ harus terampil memperlakukan masa lalunya. Ia tahu mana yang patut diteruskan dan mana yang patut disudahi. Dalam bahasa lain, terampil membebaskan diri dari fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang buruk yang menyebabkan ia tertawan oleh masa lalu, dan “menebalkan” fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang baik serta terampil menanamkan benih fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang mampu membuatnya berseri-seri menyambut masa depan. Ia juga terampil menghadirkan masa depan dan benih-benihnya pada kondisi kekinian. Ia terampil mengelola tekanan masa lalu (yang terkadang disertai tawaran “gula”) dan tuntutan masa depan (yang terkadang disertai “pil pahit”) yang kemudian diformulasikannya dalam kerja nyata organisasi.

Bila fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang buruk adalah dominasi materialisme dan political oriented dalam cara berpikir kita; ketidakpastian sumber pendanaan organisasi yang diantaranya berpengaruh pada kesulitan dalam mensinambungkan kerja-kerja organisasi dan kesulitan transparansi penggunaan dana; relasi kuasa yang dominan dengan politisi; serta sistem kepengurusan yang mengoligarki maka ‘HMI Baru’ harus membebaskan diri dari semua itu. Secara normatif, kita dapat meraba bahwa ‘HMI Baru’ adalah HMI yang bila sebelumnya ia adalah organisasi kumpulan pemalas, maka ia adalah organisasi kumpulan orang rajin. BiIa sebelumnya adalah organisasi yang administrasi organisasinya buruk, maka ia adalah organisasi yang administrasi organisasinya baik. Bila sebelumnya adalah organisasi yang tidak transparan dalam pengelolaan uang, maka ia adalah organisasi yang transparan dalam pengelolaan uang. Bila sebelumnya ia adalah organisasi yang berkonflik dengan buruk, maka ia adalah organisasi yang berkonflik dengan baik. Bila sebelumnya adalah organisasi yang tidak independen, maka ia adalah organisasi yang independen. Bila sebelumnya adalah organisasi yang tidak inovatif, maka ia adalah organisasi yang inovatif, dan seterusnya. Masing-masing dari kita dapat menambahkan daftar tersebut dengan memasukkan apa yang tidak ideal dan memasukkan lawannya yang ideal sebagai satu karakter dari ’HMI Baru’. Namun yang pasti ’HMI Baru’ tidak asal beda dan tidak untuk benar-benar mendirikan suatu organisasi baru sebagai sempalan HMI seperti HMI MPO.

Himpunan Mahasiswa Islam Baru Dan Masa Depan Bangsa
Keberadaan HMI tentunya memiliki dampak terhadap bangsa (dan negara) Indonesia, positif maupun negatif, dan besar maupun kecil. Hal ini disebabkan karena kader HMI adalah hampir dapat dipastikan seluruhnya generasi muda bangsa Indonesia yang kelak Insya Allah akan menempati posisi strategis di bangsa Indonesia. Sehingga nilai-nilai dan kualitas sumber daya manusia yang mereka miliki akan turut menentukan nilai-nilai dan kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia di masa yang akan datang.

Oleh karena ia merupakan manifestasi idealitas HMI, ‘HMI Baru’ tentunya diharapkan memiliki dampak yang positif terhadap bangsa dan negara Indonesia. Logika yang dibangun memang merupakan logika linear sederhana. Hal ini tentu akan berjalan demikian bila terjadi transformasi yang baik dari ‘HMI Baru’ yang merupakan generasi muda bangsa tersebut hingga eks ‘HMI Baru’ yang kemudian memegang posisi strategis bangsa dan negara. Namun dari gambaran ini adalah logis bila dikatakan: membangun ‘HMI Baru’ pada dasarnya adalah membangun juga masa depan bangsa (dan negara) Indonesia yang lebih baik. Adalah tugas kita bersama mewujudkan pernyataan tersebut tidak menjadi klaim yang berlebihan.

Nilai-Nilai Perjuangan Kader
Nilai-nilai perjuangan kader merupakan konsepsi dasar yang membentuk karakter dalam setiap individu kader serta melekat dalam diri setiap individu kader. Pembentukan ini tidaklah serta merta hadir dalam diri kader tanpa adanya proses transformasi doktrinasi organisasi.

Himpunan mahasiswa islam merupakan organisasi yang memiliki nilai-nilai perjuangan yang sangatlah jelas seperti yang termaktub dalam kontstitusi anggaran dasar bab II pasal III tentang asas islam. Hal inilah yang merupakan acuan dasar melangkah kader-kader himpunan mahasiswa islam dalam mewjudkan tujuan himpunan mahasiswa islam “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adilmakmur yang dirdhoi Allah SWT”. Untuk mewujudkan tujuan himpunan mahasiswa islam sehingga fungsi dan peran himpunan mahasiswa islam seperti yang termaktub dalam konstitusi anggaran dasar bab IV pasal VIII tentang fungsi dan Pasal IX tentang peran.

Dalam implementasi aktualisasi nilai-nilai kader himpunan mahasiswa islam sangatlah jelas akan fungsinya yang dimana dari tahim hijau hitam telah banyak kader-kader dan alumni yang terlahir dan menjadi pemimpin bangsa, serta perannya akan kredibilitas sebagai organisasi perjuangan yang banyak turun andil dalam perjuangan republik indonesia. Hal ini terbukti akan perjuangan kader himpunan mahasiswa islam pada fase konsolidasi fisik (1947-1949) wakil PB HmI Ahmad Dahlan Tirtosudiro membentuk corps mahasiswa dalam membantu TRI (sekarang TNI) dalam pemberontakan PKI di madiun, perjuangan Ma’arie Moehammad dalam menggulingkan Rezim Orde Lama dan Perjuangan Anas Urbaningrum dkk dalam menggulingkan rezim Orde Baru menuju era reformasi. Perjuangan ini sehingga tidaklah heran jika Jendral Besar. Soedirman mengatakan “HmI bukan sekedar Himpunan Mahasiswa Islam, Melainkan HmI merupakan Harapan Masyarakat Indonesia”.

Tantangan Himpunan Mahasiswa Islam.
Dalam Konsep profetiknya, oleh Kuntowijoyo dicoba difahami sebagai sebuah paradigma yang diintepretasikan untuk aksi, maka HMI harus mampu melampaui pemikiran sekaligus aksi yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo. Sedikit berbeda dengan Cak Nur, gagasannya mengenai keharusan pembaruan pemikiran keagamaan, selain juga menuai berbagai kritikkan tajam, pada akhirnya gagasan beliau memberikan pengaruh sangat besar dalam wacana ke-Islam-an di Indonesia. Dalam konteks kekinian, tradisi intelektual yang terdapat di HMI dihadapkan pada beberapa tantangan serius. Sebagai artikulator gagasan umat sekaligus bangsa, sudah semestinya HMI mengambil peranan sangat penting di saat kondisi bangsa membutuhkan ide-ide pembaruan yang inovatif, relevan, realistis dan produktif.

Bertolak dari tujuan HMI, perlu digarisbawahi beberapa poin penting yang semestinya mengiringi jalannya organisasi.
Pertama, keharusan mengembalikan dan menguatkan kembali tradisi intelektual di HMI. Sebab bagaimanapun juga, hal tersebut merupakan salah satu kebutuhan mendasar HMI, selain kuantitas keberadan kader (cadre). 
Kedua, bagaimana kekuatan intelektual yang menjadikan HMI ”besar” dapat tertransformasikan secara masif pada ranah sosiologis sebagai bentuk pengobjektifikasiannya. Dengan demikian akumulasi pengetahuan yang terdapat di HMI memiliki daya dobrak terhadap ketidakmapanan sosial yang selama ini menjadi persoalan umat dan bangsa. Di samping itu, apa yang disebut sebagai gerakan pengetahuan yang dimiliki oleh HMI pun tetap harus memiliki karakter khas yang membedakannya dengan gerakan-gerakan yang lain.
Ketiga, karena HMI adalah organisasi mahasiswa Islam dengan statusnya yang independen, maka bagaimana gerakan pengetahuan tersebut tetap berada pada jalurnya yang benar. Dalam arti setiap objektifikasi yang merupakan manifestasi dari gerakan pengetahuan tersebut tetap tidak terlepaskan dari ketidakbebasan nilai dalam arti keberpihakan kepada kebenaran. Tentu saja kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran bukan dimaknai pada objek di mana nilai kebenaran melekat, namun murni kepada nilainya. Dengan demikian sistem pemikiran HMI yang dimanifestasikan dalam bentuk arah perjuangan HMI ke depan melalui kader yang dimiliki, baik secara normatif-subjektif, maupun empirik-objektif dapat diterima, diaplikasikan dan dipertanggungjawabkan.

Namun sebelumnya, untuk dapat merealisasikan apa yang menjadi gagasan besar HMI, juga dibutuhkan perangkat yang terformat dengan jelas sebagai penopang dari objektifikasi terhadap gagasan tersebut. Perangkat yang dimaksud adalah pola serta sistem perkaderan yang nantinya diharapkan mampu menjadi jalan keluar dari persoalan kualitas dan kuantitas yang selama ini dinilai sangat serius menghambat laju gerak dari gagasan dan aksi organisasi. Adanya fenomena penurunan sangat tajam pada  wilayah jumlah anggota (kader), disertai dengan penurunan yang juga sangat drastis pada wilayah intelektualitas kader (kualitas), tidak menuutp kemungkinan apapun yang menjadi arah perjuangan HMI tetap tidak mampu untuk dapat dilaksanakan.

Jadi, memang harus terdapat hubungan yang saling terkait dan mendukung di antara beberapa hal penting di atas. Antara kualitas dan kuantitas tidak dapat kita dikotomikan, dengan adanya pendikotomian hanya akan meniscayakan untuk lebih mendahulukan atau mementingkan salah satu di antara keduannya. Dengan demikian, ketika terjadi pendikotomian, dan bukan mengintegrasikannya, konsentrasi organisasi hanya akan terfokus pada salah satu wilayah dengan menafikan wilayah yang lain. Meskipun dengan asumsi ketika salah satu kebutuhan – katakanlah kebutuhan pada kualitas kader – telah terakomodir maka kebutuhan yang lain – tentu saja kebutuhan akan kuantitas kader – dengan sendirinya akan dapat juga terpenuhi. Logika yang demikian adalah logika yang keliru, atau bahkan sangat keliru. Hanya dengan tidak menganggap keduanya sebagai dua entitas kebutuhan yang berbeda, namun satu kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan, maka HMI dapat bangkit kembali menjalankan fungsi dan perannya dengan maksimal. Sebab untuk dapat bangkit kembali, HMI harus memiliki gagasan besar yang dibutuhkan oleh masyarakat secara luas. Untuk dapat mengaktualisasikan gagasan tersebut, HMI harus didukung oleh kapasitas intelektual (kualitas) serta keberadaan kader dengan jumlah yang besar (kuantitas). Sehingga mampu memiliki kekuatan secara kualitas dan kuantitas yang memadai, maka HMI setidaknya harus memiliki sistem serta pola perkaderan yang bagus dan dilaksanakan secara tertib dan disiplin.

Hal penting juga yang tidak boleh terlepas dari HMI selain beberapa hal penting yang telah disampaikan di muka, adalah HMI harus memiliki landasan yang jelas dan permanent. Atau paling tidak harus memperkuat landasan yang ada sebagai kekuatan pondasi organisasi. Jadi selain kualitas dan kuantitas yang terintegrasi, kemudian tersosialisasikan dan tertransformasikan secara masif, baik pada wilayah out put maupun in put nya, sintesisnya pun harus berdampak kepada penguatan di dalam tubuh organisasi itu sendiri. Setidaknya harus ada pentransendensian. Penghumanisasian dan peliberasian sebelum, saat dan setelah adanya pengobjektifikasian terhadap sintesa tersebut di atas. Untuk itu dibutuhkan beberapa landasan dalam pelaksanaan gerak di HMI. Beberapa landasan tersebut diantaranya dapat dilihat di dalam pedoman Angaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) HMI.

Berangkat dari pemikiran di atas, sebagai upaya dalam  menghidupkan kembali tradisi intelektual di HMI sekaligus menjadikan pengetahuan sebagai arus utama dalam perubahan sosial. sebagai organisasi mahasiswa memberi petunjuk dimana HMI berspesialisasi. Dan spesialisasi tugas inilah yang disebut fungsi HMI. Kalau tujuan menujukan dunia cita yang harus diwujudkan maka fungsi sebaliknya menunjukkan gerak atau kegiatan (aktifitas) dalam mewujudkan (final goal). Dalam melaksanakan spesialisasi tugas tersebut, karena HMI sebagai organisasi mahasiswa maka sifat serta watak mahasiswa harus menjiwai dan dijiwai HMI. Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada hakikatnya memberi arti bahwa ia memikul tanggung jawab yang benar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum muda muda terdidik harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis itu mahasiswa dan masyarakat berperan sebagai “kekuatan moral” atau moral forces yang senantiasa melaksanakan fungsi “social control“. Untuk itulah maka kelompok mahasiswa harus merupakan kelompok yang bebas dari kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Dalam rangka penghikmatan terhadap spesialisasi kemahasiswaan ini, akan dalam dinamikanya HMI harus menjiwai dan dijiwai oleh sikap independen.
Mahasiswa, setelah sarjana adalah unsur yang paling sadar dalam masyarakat. Jadi fungsi lain yang harus diperankan mahasiswa adalah sifat kepeloporan dalam bentuk dan proses perubahan masyarakat. Karenanya kelompok mahasiswa berfungsi sebagai duta-duta pembaharuan masyarakat atau “agent of social change“. Kelompok mahasiswa dengan sikap dan watak tersebut di atas adalah merupakan kelompok elit dalam totalitas generasi muda yang harus mempersiapkan diri untuk menerima estafet pimpinan bangsa dan generasi sebelumnya pada saat yang akan datang. Oleh sebab itu fungsi kaderisasi mahasiswa sebenarnya merupakan fungsi yang paling pokok. Sebagai generasi yang harus melaksanakan fungsi kaderisasi demi perwujudan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negaranya di masa depan maka kelompok mahasiswa harus senantiasa memiliki watak yang progresif dinamis dan tidak statis. Mereka bukan kelompok tradisionalis akan tetapi sebagai “duta-duta pembaharuan sosial” dalam pengertian harus menghendaki perubahan yang terus menerus ke arah kemajuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran. Oleh sebab itu mereka selalu mencari kebenaran dan kebenaran itu senantiasa menyatakan dirinya serta dikemukakan melalui pembuktian di alam semesta dan dalam sejarah umat manusia. Karenanya untuk menemukan kebenaran demi mereka yang beradab bagi kesejahteraan umat manusia maka mahasiswa harus memiliki ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai kebenaran dan berorientasi pada masa depan dengan bertolak dari kebenaran Illahi. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran demi mewujudkan beradaban bagi kesejahteraan masyarakat bangsa dan negara maka setiap kadernya harus mampu melakukan fungsionalisasi ajaran Islam.
Watak dan sifat mahasiswa seperti tersebut diatas mewarnai dan memberi ciri HMI sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat independen. Status yang demikian telah memberi petunjuk akan spesialisasi yang harus dilaksanakan oleh HMI. Spesialisasi tersebut memberikan ketegasan agar HMI dapat melaksanakan fungsinya sebagai organisasi kader, melalui aktifitas fungsi kekaderan. Segala aktifitas HMI harus dapat membentuk kader yang berkualitas dan komit dengan nilai-nilai kebenaran. HMI hendaknya menjadi wadah organisasi kader yang mendorong dan memberikan kesempatan berkembang pada anggota-anggotanya demi memiliki kualitas seperti ini agar dengan kualitas dan karakter pribadi yang cenderung pada kebenaran (hanief) maka setiap kader HMI dapat berkiprah secara tepat dalam melaksanakan pembaktiannya bagi kehidupan bangsa dan negaranya.
Persoalan sangatlah substansial dalam tubuh himpunan mahasiswa islam adalah lahirnya nilai-nilai dasar perjuangan yang menjadikan dualisme dalam kultur internal organisasi. Adanya ideologi mashab yang dimasukkan dalam NDP dengan melakukan pembaharuan serta diafirmasikan dengan nama “NDP BARU” yang melakukan pembaharuan akan NDP CAK NUR yang sangatlah jelas dengan nilai-nilai perjuangan himpunan mahasiswa islam.
Peran dan Fungsi Himpunan Mahasiswa Islam Dalam Mengawal Agenda Bangsa.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang didirikan pada tanggal 5 Februari 1947 sebagai organisasi independen saat ini harus mempertegas ulang mengenai siapa dirinya. Pada fase tahun 1966-1998 menunjukkan budaya Himpunan Mahasiswa Islam yang berjiwa elitis, dekat dengan penguasa, dan birokrasi sehingga menimbulkan rapuhnya intelektualitas dan keringnya pemikiran intelektual kader serta lebih mengedepankan aspek politis.

Dalam kaitan ini Himpunan Mahasiswa Islam mempunyai dua visi, yaitu visi keislaman dan keindonesiaan. Visi keislaman yang dikembangkan oleh Himpunan Mahasiswa Islam juga tidak lepas dari “circle” modernisasi. Ini terlihat dari rumusan besar wawasan Himpunan Mahasiswa Islam pada dasawarsa 70-an yang ditulis oleh Kakanda Nurcholish Madjid atau lebih dikenal dengan Cak Nur berupa Nilai Dasar Perjuangan sebagai gagasan yang merupakan pengaruh dari modernisasi dan kecenderungan pada pengembangan intelektualitas.

Sedangkan visi keindonesiaan, doktrin kerakyatan harus ditanamkan pada kader, karena sekarang mempunyai kesan bahwa Himpunan Mahasiswa Islam adalah organisasi elit yang jarang menyentuh lapisan bawah. Pada sisi lain, Himpunan Mahasiswa Islam mempunyai agenda besar dalam memperjuangkan rakyat Indonesia.

Strategi perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam dengan demikian harus diorientasikan pada persoalan bagaimana mewujudkan iklim demokrasi dan ada konsensus bersama tentang jatidiri Himpunan Mahasiswa Islam adalah inklusif dan berpihak pada rakyat sebagai komitmen terhadap nilai-nilai kebenaran. Menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa merupakan salah satu agenda penting dalam peran Himpunan Mahasiswa Islam dalam pengawalan demokratisasi di Indonesia. Agenda tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan; kualitas sumber daya manusia aparatur; dan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.

Memang tidaklah mudah mengawal agenda bangsa dan mewujudkan cita-cita Himpunan Mahasiswa Islam, karena masih sangat besarnya benteng penghambat kemajuan yaitu praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di negeri ini, tapi bagi Himpunan Mahasiswa Islam ini bukanlah suatu hambatan atau tantangan yang dapat melunturkan idealism perjuangan melainkan semakin besarnya kobaran api semangat perjuangan dalam ”mewujudkan maksyarakat adilmakmur”.

Himpunan Mahasiswa Islam tidak pernah berhenti memperjuangkan aspirasi rakyat setiap permasalahan-permasalahan yang terjadi di negeri ini, Seperti kasus Bank Century yang hingga saat ini belum juga tuntas dan masih menjadi tanda tanya besar kapan terselesaikan kasus tersebut, namun Himpunan Mahasiswa Islam tidak pernah berhenti hal tersebut. Namun banyak hambatan yang membatasi sejauh mana Himpunan Mahasiswa Islam memasuki jalur pemerintahan terhadap penggunaan dan pelaksanaan otoritas kekuasaan.

Himpunan Mahasiswa Islam juga tidak pernah berhenti mengkritik pemerintah jika dianggap ada sistem pemerintahan yang tidak lagi efisien digunakan sehingga harus dilakukan pembenahan struktur dan kelembagaan yang memungkinkan bagi terciptanya otoritas kekuasaan dari lembaga-lembaga negara yang bertanggung jawab. Maka tak berlebihan ketika jendral Soedirman pernah berucap “HMI adalah bukan hanya Himpunan Mahasiswa Islam, Tapi HMI juga adalah; Harapan Masyarakat Indonesia”.

Dari pengkaderan yang merupakan fungsi organisasi kemudian melahirkan para intelektual-intelektual bangsa yang dapat merubah dan membawa bangsa Indonesia kearah yang yaitu “masyarakat adil makmur” dan melalui pengkaderan Himpunan Mahasiwa Islam selalu melakukan dan membentuk kader bangsa yang muslim, Intelektual, dan profesional, karena seluruh kader Himpunan Mahasiswa Islam di tujukan untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan, sehingga para insan Kader Himpunan Mahasiswa Islam siap dan dapat di manfaatkan oleh seluruh golongan yang ada di tengah-tengah masyarakat selagi tujuannya tidak bertentangan dengan mission Himpunan Mahasiswa Islam.

Oleh sebab itu  menjadi keharusan bagi Himpunan Mahasiswa Islam untuk tetap melahirkan kader-kader yang memiliki karakter kepemimpinan yang bertanggung jawab untuk mewujudkan visi atau cita ideal yang termaktub dalam mission Himpunan Mahasiswa Islam, sehingga Himpunan Mahasiswa Islam beserta steak holdernya bisa menjadi pengokoh dan pemersatu keutuhan bangsa. Selain itu, Himpunan Mahasiswa Islam Berperan sebagai organisasi perjuangan yang telah urgensitas terhadap peran ke-HMI-an yaitu Kontrol sosial “Social Of Control” dan juga agen Perubahan “Agen Of Change”, yang sebagai peniup peluit (whistle blower) atas setiap gejolak-gejolak yang terjadi di negeri ini yang dapat menghambat kemajuan Negara Indonesia serta sebagai kelompok penekan (pressure) atas setiap regulasi  menuju pemerintahan yang baik dan bersih. Karena di dalam tujuan  Himpunan Mahasiswa Islam  terdapat tujuan yang menjadi inti yaitu “Terwujudnya Masyarakat Adilmakmur”.

DAFTAR PUSTAKA
Aa Nurdiaman, "Pendidikan Kewarganegaraan: Kecakapan Berbangsa dan Bernegara", PT Grafindo Media Pratama.
Agus Pramusinto, Waryudi Pramusinto, Governance Reform Di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Yang Demokratis Dan Birokrasi Yang Professional, Yogyakarta, 2009.
Agussalim Sitompul, sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam 1947-1975,Bina Ilmu,Surabaya.
Jalaludin Rahmat, Rekayasa Sosial 199-200, PT Remaja Rosda Karya.
Lev, Daniel S, Hukum Dan Politik Di Indonesia: Kesinambungan  Dan Perubahan, LP3S, Yogyakarta, 1990.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Madani, Jakarta, 1992.
Natsar Desi Mahnudi, Rekonstruksi Pemikiran dan Pergerakan Himpunan Mahasiswa Islam, LPMI, 2006.
Peter L.Berger, Thomas Lucmann, tafsir social atas kenyataan, LP3ES, 1990.
Setiawan Djody, Reformasi dan Elemen-Elemen Revolusi, Jakarta, 2009.
St Sularto, "Masyarakat warga dan pergulatan demokrasi: menyambut 70 tahun Jakob Oetama", Penerbit Buku Kompas, 2001.

NURAMIN SALEH
KABID PPPA
KOORDINATOR KOMISARIAT
UNIVERSITAS '45' MAKASSAR


Komentar

Postingan Populer