BAB I "DASAR-DASAR KEPERCAYAAN'
Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan
itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa
percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain
kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus
merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar.
Menganut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan
berbahaya.
Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam
kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan
masyarakat. Karena bentuk- bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang
lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah
satu saja diantaranya yang benar. Disamping itu masing-masing bentuk
kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur
baur.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa
kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga
dalam tradis-tradisi yang diwariskan turun temurun dan mengikat anggota
masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap
mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam
kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan
peradaban dan kemajuan manusia. Disinilah terdapat kontradiksi kepercayaan
diperlukan sebagai sumber tatanilai guna menopang peradaban manusia, tetapi
nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru
merugikan peradaban.
Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan
peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap
bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan menganut kepercayaan
yang sungguh-sungguh yang merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber nilai
dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal
dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.
Perumusan kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu
: Tiada Tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan
pengecualian. Perkataan "Tidak ada Tuhan" meniadakan segala bentuk
kepercayaan, sedangkan perkataan "Selain Allah" memperkecualikan satu
kepercayaan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia
membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala
akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk
pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai - nilai, itu berarti
tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk
manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.
Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan.
Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan
berbagai jalan, baik yang bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan
lain-lain. Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia
tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat Tuhan yang
sebenarnya. Namun demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan
pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan dan tatanilai yang bersumber
kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun
tidak bertentangan dengan insting dan indera.
Sesuatu yang diperlukan itu adalah "Wahyu"
yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri kepada
manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan sampai ketingkat
yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian juga wahyu tidak diberikan
kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi
syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan Rasul atau utusan
Tuhan. Dengan kewajiban para Rosul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh
ummat manusia. Para rasul dan nabi itu telah lewat dalam sejarah semenjak Adam,
Nuh, Ibrahim, Musa,Isa atau Yesus anak Mariam sampai pada Muhammad SAW.
Muhammad adalah Rasul penghabisan, jadi tiada Rasul lagi sesudahnya. Jadi para
Nabi dan Rasul itu adalah manusia biasa dengan kelebihan bahwa mereka menerima
wahyu dari Tuhan.
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul
seluruhnya dalam kitab suci Al-Quran. Selain berarti bacaan, kata Al-Quran juga bearti
"kumpulan" atau kompilasi, yaitu kompilasi dari segala keterangan.
Sekalipun garis-garis besar Al-Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat
namun mengandung keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari
sekitar alam dan manusia sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin
diketahui manusia dengan cara lain (16:89).
Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan
ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih
dahulu mempercayai kerasulan Muhammmad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua
memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut manusia, yaitu bahwa
Muhammad adalah Rosul Allah.
Kemudian di dalam Al-Quran didapat keterangan lebih
lanjut tentang Ketuhanan Yang maha Esa ajaran-ajaranNya yang merupakan garis
besar dan jalan hidup yang mesti diikuti oleh manusia. Tentang Tuhan antara
lain: surat Al-Ikhlas (112: 1-4) menerangkan secara singkat; katakanlah :
"Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan tempat
menaruh segala harapan. Tiada Ia berputra dan tiada pula berbapaā€¯. Selanjutnya
Ia adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih
dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya daripada segala sifat
kesempurnaan yang selayaknya bagi Yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru
sekalian Alam.
Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang
penghabisan, Yang lahir dan Yang Bathin (57:3), dan "kemanapun manusia
berpaling maka disanalah wajah Tuhan" (2:115). Dan "Dia itu bersama
kamu kemanapun kamu berada" (57:4). Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan
waktu.
Sebagai "yang pertama dan yang penghabisan",
maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada, termasuk tata
nilai. Artinya; sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada kebenaran dan
berdasarkan kecintaan kepadaNya, Iapun sekaligus menuju kepada kebenaran dan
mengarah kepada "persetujuan" atau "ridhanya". Inilah
kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan
hidup yang benar, diterangkan dalam bagian yang lain).
Tuhan menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan
mengaturnya dengan pasti (6:73, 25:2). Oleh karena itu alam mempunyai
eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang
tetap. Dan sebagai ciptaan daripada sebaik-baiknya penciptanya, maka alam
mengandung kebaikan pada dirinya dan teratur secara harmonis (23:14). Nilai
ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan perkembangan peradabannya (31:20)).
Maka alam dapat dan dijadikan obyek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum
Tuhan (sunnatullah) yang berlaku didalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam
sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri (10:101).
Jadi kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan
idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam tidak mempunyai
eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua palsu atau maya atau sekedar emansipasi
atau pancaran daripada dunia lain yang kongkrit, yaitu idea atau nirwana
(38:27). Juga tidak seperti dikatakan filsafat Agnosticisme yang mengatakan
bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat
materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan obyektif
sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa
alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta ataupun peniadaan Tuhan adalah
satu sudut daripada filsafat materialisme.
Manusia adalah puncak ciptaan dan mahluk-Nya yang
tertinggi (95:4, 17:70). Sebagai mahluk tertinggi manusia dijadikan
"Khalifah" atau wakil Tuhan di bumi (6:165). Manusia ditumbuhkan dari
bumi dan diserahi untuk memakmurkannya (11:61). Maka urusan di dunia telah diserahkan
Tuhan kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggungjawab atas segala
perbuatannya di dunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang
disebut "sejarah". Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia
menjadi pemilik atau "rajanya".
Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti
(sunattullah) yang menguasai sejarah, sebagaimana adanya hukum yang menguasai
alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada secara otomatis tunduk kepada
sunatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan
pilihan untuk tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri
(33:72). Ketidakpatuhan itu disebabkan karena sikap menentang atau kebodohan.
Hukum dasar alami daripada segala yang ada inilah
"perubahan dan perkembangan", sebab: segala sesuatu ini adalah
ciptaan Tuhan dan pengembangan olehNya dalam suatu proses yang tiada
henti-hentinya (29:20). Segala sesuatu ini adalah berasal dari Tuhan dan menuju
kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan
sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu (28:88). Di dalam memenuhi tugas
sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menunju
kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi
kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu
(17:72). Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional
yang tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenarannya (17:26).
Oleh karena itu kehidupan yang baik adalah yang
disemangati oleh iman dan diterangi oleh ilmu (58:11). Bidang iman dan
pencabangannya menjadi wewenang wahyu, sedangkan bidang ilmu pengetahuan
menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan
dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah).
Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran
sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya
tanpa melekatkan padanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab
sebagaimana diterangkan dimuka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan
objektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan, dan Tuhan pun untuk
sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap memper-Tuhan-kan atau
mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. - Tuhan Allah
Yang Maha Esa (41:37).
Ini disebut "Tauhid" dan lawannya disebut
"syirik" artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya
atau sebagian maka jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan
peradaban kemanusiaan menuju kebenaran.
Kesudahan
sejarah atau kehidupan duniawi ini ialah "hari kiamat". Kiamat
merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau
duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga "hari agama",
atau yaumuddin, dimana Tuhan menjadi satu-satunya pemilik dan raja (1:4, 22:56,
40:16). Disitu tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha
dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggunggan jawab individu
manusia yang bersifat mutlak dihadapan illahi atas segala perbuatannya dahulu
didalam sejarah (2:48). Selanjutnya kiamat merupakan "hari agama",
maka tidak yang mungkin kita ketahui selain daripada yang diterangkan dalam
wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya / kehidupan akhirat yang
non-historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan mengetahui
kejadian-kejadiannya (7:187).
Komentar
Posting Komentar