Sejarah Pergerarakan Mahasiswa Dari Masa Ke Masa
Gerakan Pelajar di era Kolonialisme (1908-1928)
Revolusi Pemikiran
Budi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang
pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di
Jakarta, 20 Mei 1908 oleh
pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan
refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme
Jawa yang ditampilkannya.
Pada kongres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan
tujuan perkumpulan : ‘Kemajuan yang selaras buat negeri dan
bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang,
teknik dan industri, serta kebudayaan’.
Dalam 5 tahun permulaan Budi Oetomo sebagai perkumpulan, tempat
keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap
bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju
pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000
anggota.
Disamping itu, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda,
salah satunya Mohammad Hatta yang
saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdammendirikan Indische
Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische
Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan
diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir
untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi
ini kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia,
tahun 1925.
Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi
lain,seperti: Indische Partij yang
melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis
demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV)
yang berhaluan Marxisme, menambah jumlah
haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu
perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena
banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju
"kemajuan yang selaras" dan terlalu sempit keanggotaannya (hanya
untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU. Oleh karena cita-cita
dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun
ke lapangan politik. Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada
masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah
angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor
terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan
misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan
dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong
semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan,
untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.
Kebangkitan Semangat Kebangsaan Pelajar-Pelajar Indonesia
Kelahiran Sumpah Pemuda (1928)
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam
Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia)
kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan
di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk
kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam
diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische
Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene
Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah
Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul
kemudian Perhimpunan
Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang
menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun
1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik,
Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten
Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis
pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta
pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.
Gerakan Mahasiswa Di Era Proklamasi (1945)
Peristiwa Rengasdengklok
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang
ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap
penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi
partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas.
Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia(PBI), sedangkan Kelompok
Studi Umum menjadi Perserikatan
Nasional Indonesia (PNI).
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman
pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda,
antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau
politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi
pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah
Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan
dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan
akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan
berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama
yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh,
adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh
inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan
kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan
kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik
dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan,
peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa
Rengasdengklok.
Gerakan Mahasiswa Pasca Kemerdekaan dan Meruntuhkan Rezin Orde Lama
(1945-1966)
Pada masa setelah kemerdekaan, mulai bermunculan secara bersamaan organisasi - organisasi mahasiswa di berbagai kampus. Berawal dari munculnya organisasi mahasiswa yang dibentuk oleh beberapa mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam (STI) di Yogyakarta, yang dimotori oleh Lafran Pane dengan mendirikan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tanggal 14 rabiul awal 1366 H yang nertepatan pada 05 Februari 1947.
Organisasi ini dibentuk sebagai wadah pergerakan mahasiswa yang
dilatarbelakangi oleh 4 faktor utama yang meliputi Situasi Dunia Internasional,
Situasi NKRI, Kondisi Mikrobiologis Ummat Islam di Indonesia, Kondisi Perguruan
Tinggi dan Dunia Kemahasiswaan. Selain itu pada tahun yang sama, dibentuk
pulalah Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang didirikan
melalui kongres mahasiswa di Malang.
Lalu pada waktu yang berikutnya didirikan juga organisasi - organisasi
mahasiswa yang lain seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang
berhaluan pada ideologi Marhaenisme Soekarno, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia
(GAMSOS) yang lebih cenderung ke ideologi Sosialisme Marxist, dan Concentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang lebih berpandangan komunisme sehingga
cenderung lebih dekat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Sebagai imbas daripada kemenangan PKI pada pemilu tahun 1955, organisasi
CGMI cenderung lebih menonjol dibandingkan dengan organisasi - organisasi
mahasiswa lainnya. Namun justru hal inilah yang menjadi cikal bakal perpecahan
pergerakan mahasiswa pada saat itu yang disebabkan karena adanya kecenderungan
CGMI terhadap PKI yang tentu saja dipenuhi oleh kepentingan - kepentingan
politik PKI. Secara frontal CGMI menjalankan politik konfrontasi dengan
organisasi - organisasi mahasiswa lainnya terutama dengan organisasi HMI yang
lebih berazazkan Islam.
Berbagai bentuk propaganda politik pencitraan negatif terus dibombardir
oleh CGMI dan PKI kepada HMI, beberapa bentuk propaganda yang mereka wujudkan
yaitu salah satunya melalui artikel surat kabar yang berjudul Quo Vadis HMI.
Perseturuan antara CGMI dan HMI semakin memanas ketika CGMI berhasil merebut
beberapa jabatan di organisasi PPMI dan juga GMNI, terlebih setelah diadakannya
kongres mahasiswa V tahun 1961.
Atas beberapa serangan yang terus menerus dilakukan oleh pihak PKI dan CGMI
terhadap beberapa organisasi mahasiswa yang secara ideologi bertentangan dengan
mereka, akhirnya beberapa organisasi mahasiswa yang terdiri dari HMI, GMKI
(Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), PMKRI, PMII, Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi
Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa
(IPMI), mereka sepakat untuk membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia). Dimana tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa
dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan
memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI yang dimotori oleh wakil PB HMI Ma’arie Moehammad dan
diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI),
Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia
(KASI), dan lain-lain. Berawal dari semangat kolektifitas mahasiswa secara
nasional inilah perjuangan mahasiswa yang dikenal sebagai gerakan angkatan '66
inilah yang kemudian mulai melakukan penentangan terhadap PKI dan ideologi
komunisnya yang mereka anggap sebagai bahaya laten negara dan harus segera
dibasmi dari bumi nusantara.
Namun sayangnya, di tengah semangat idealisme mahasiswa pada saat itu ada
saja godaan datang kepada mereka yang pada akhirnya melunturkan idealisme
perjuangan mereka, dimana setelah masa orde lama berakhir, mereka yang dulunya
berjuang untuk menruntuhkan PKI mendapatkan hadiah oleh pemerintah yang sedang
berkuasa dengan disediakan kursi MPR dan DPR serta diangkat menjadi pejabat
pemerintahan oleh penguasa orde baru. Namun di tengah
gelombang peruntuhan idealime mahasiswa tersebut, ternyata ada sesosok
mahasiswa yang sangat dikenal idealimenya hingga saat ini dan sampai sekarang
tetap menjadi panutan para aktivis - aktivis mahasiswa di Indonesia, yaitu Soe
Hok Gie. Ada seuntai kalimat inspiratif yang dituturkan oleh Soe Hok
Gie yang sampai sekarang menjadi inspirasi perjuangan mahasiswa di Indonesia,
secara lantang ia mengatakan kepada kawan - kawan seperjuangannya yang telah berbelok
idealimenya dengan kalimat "lebih baik terasingkan daripada hidup dalam
kemunafikan".
Gerakan Mahasiswa Di Rezim Orde Baru (1966-1988)
Kritik Terhadap Kinerja Pemerintah Rezim Orde Baru
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974,
adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan
militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal
1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan
koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
- Golput yang
menentang pelaksanaan pemilu pertama pada
masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
- Gerakan menentang pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat
kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM),
aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan
pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa
Menggugat" yang dimotori Arif
Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap
kenaikan BBM, dan korupsi.
Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan
mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi
(KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini
dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus
yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task
Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde
Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan
berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan
memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat
antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang
yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat
maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai
pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka
mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput)
pada tanggal 28 Mei 1971 yang
dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution,Asmara Nababan.
Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap
pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang
dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek
pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar
negeri.
Peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974

Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi
protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan
kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja
sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa
baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.
Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977,
barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai
masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai
dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen
anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi
dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat
lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan
nasional.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa,
maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan
berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun demikian, upaya tim ini ditolak
oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer atas
kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik,
penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi
dalam melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak
terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya
mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh
dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di
seluruh Indonesia.
Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak
membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah
meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk
menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
Gerakan mahasiswa tahun 1977/1978 ini tidak hanya
berporos di Jakarta dan Bandung saja namun meluas secara nasional meliputi
kampus-kampus di kota Surabaya, Medan, Bogor, Ujungpandang
(sekarang Makassar), dan Palembang. [1] 28 Oktober 1977, delapan ribu
anak muda menyemut di depan kampus ITB. Mereka berikrar satu suara,
"Turunkan Suharto!". Besoknya, semua yang berteriak, raib ditelan
terali besi. Kampus segera berstatus darurat perang. Namun, sekejap kembali
tentram.
10 November 1977, di Surabaya dipenuhi tiga ribu jiwa muda. Setelah
peristiwa di ITB pada Oktober 1977, giliran Kampus ITS Baliwerti
beraksi. Dengan semangat pahlawan, berbagai pimpinan mahasiswa se-Jawa hadir
memperingati hari Pahlawan 1977. Seribu mahasiswa berkumpul, kemudian berjalan
kaki dari Baliwerti menuju Tugu Pahlawan. Sejak
pertemuan 28 Oktober di Bandung, ITS didaulat menjadi pusat konsentrasi gerakan
di front timur. Hari pahlawan dianggap cocok membangkitkan nurani yang hilang.
Kemudian disepakati pusat pertemuan nasional pimpinan mahasiswa di Surabaya.
Sementara di kota-kota lain, peringatan hari Pahlawan juga semarak. Di
Jakarta, 6000 mahasiswa berjalan kaki lima kilometer dari Rawamangun (kampus
IKIP) menuju Salemba (kampus UI), membentangkan spanduk,"Padamu Pahlawan
Kami Mengadu". Juga dengan pengawalan ketat tentara. Acara hari itu,
berwarna sajak puisi serta hentak orasi. Suasana haru-biru, mulai membuat
gerah. Beberapa batalyon tempur sudah ditempatkan mengitari kampus-kampus
Surabaya. Sepanjang jalan ditutup, mahasiswa tak boleh merapat pada rakyat.
Aksi mereka dibungkam dengan cerdik. Konsolidasi berlangsung terus. Tuntutan
agar Soeharto turun masih menggema jelas, menggegerkan semua pihak. Banyak
korban akhirnya jatuh. Termasuk media-media nasional yang ikut mengabarkan,
dibubarkan paksa.
Pimpinan Dewan Mahasiswa (DM) ITS rutin berkontribusi pada tiap pernyataan
sikap secara nasional. Senat mahasiswa fakultas tak henti mendorong dinamisasi
ini. Mereka bergerak satu suara. Termasuk mendukung Ikrar Mahasiswa 1977.
Isinya hanya tiga poin namun berarti. "Kembali pada Pancasila dan UUD 45,
meminta pertanggungjawaban presiden, dan bersumpah setia bersama rakyat
menegakan kebenaran dan keadilan".
Peringatan 12 tahun Tritura, 10 Januari 1978, peringatan 12 tahun Tritura
itu jadi awal sekaligus akhir. Penguasa menganggap mahasiswa sudah di luar
toleransi. Dimulailah penyebaran benih-benih teror dan pengekangan.
Sejak awal 1978, 200 aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab. Bukan hanya
dikurung, sebagian mereka diintimidasi lewat interogasi. Banyak yang dipaksa
mengaku pemberontak negara. Tentara pun tidak sungkan lagi masuk kampus.
Berikutnya, ITB kedatangan pria loreng bersenjata. Rumah rektornya secara
misterius ditembaki orang tak dikenal.
Di UI, panser juga masuk kampus. Wajah mereka garang, lembaga pendidikan
sudah menjadi medan perang. Kemudian hari, dua rektor kampus besar itu secara
semena-mena dicopot dari jabatannya. Alasannya, terlalu melindungi anak
didiknya yang keras kepala. Di ITS, delapan fungsionaris DM masuk "daftar
dicari" Detasemen Polisi Militer. Sepulang aksi dari Jakarta, di depan kos
mereka sudah ditunggui sekompi tentara. Rektor ITS waktu itu, Prof Mahmud Zaki,
ditekan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera
membubarkan aksi dan men-drop out para pelakunya. Sikap rektor seragam, sebisa
mungkin ia melindungi anak-anaknya. Beberapa berhasil tertangkap, sisanya
bergerilya dari satu rumah ke rumah lain. Dalam proses tersebut, mahasiswa
tetap "bergerak". Selama masih ada wajah yang aman dari daftar,
mereka tetap konsolidasi, sembunyi-sembunyi. Pergolakan kampus masih panas,
walau Para Rektor berusaha menutupi, intelejen masih bisa membaca jelas.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali
Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat
fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas
(BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang
kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan
mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan,
pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan
ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik
menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa,
karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik
tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi
rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra
kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap
mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya
eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif
gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa
dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah,
yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan
mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia),PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok
Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain:
kasus tanah waduk Kedung
Ombo, Kacapiring, korupsi di
Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
Kasus Helm “Siti Hardiyanti Rukmana” “1988”

Gerakan Mahasiswa Dalam Meruntuhkan Rezim Orde Baru (1990-1998)
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra,
menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki
sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan
gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT
tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan
memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan
tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang
mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus.
Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM
tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air
sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang
independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski
tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya
perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal
kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik
dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990 sehingga
akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi.
Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke
DPR/DPRD tetap terlarang.
Peristiwa Amarah (1996)
Berawal dari kebijakan pemerintah dan keluarnya SK MENHUB tentang kenaikan tarif angkutan umum yang ditindak-lanjuti dengan SK walikota Makassar no: 900 tahun 1996 tentang penyesuaian tarif angkutan kota di kota Makassar. Kebijakan itu sangat memberatkan dan membuat semakin terpuruknya ekonomi masyarakat, maka dari inilah muncul geliat-geliat mahasiswa Makassar dalam merespon kebijakan pemerintah yang sangat tidak memihak masyarakat. Geliat-geliat ini akhirnya berakibat digelarnya aksi demonstrasi besar-beasaran oleh mahasiswa Makassar.
Pada tahun ini makassar menangis, pergerakan mahasiswa makassar dalam
menolak kebijakan walikota makassar tentang kenaikan tarif pete-pete (Angkutan
Kota) dari Rp. 300,- menjadi Rp. 500,- yang diakibatkan naiknya BBM, semua
mahasiswa makassar melakukan aksi menolak sehingga menyebabkan 3 mahasiswa
Universitas Muslim Indonesia Menjadi korban (Saiful Biya, Tasrif, Andi Sultan
Iskandar) karena kampus II UMI dimasuki Tentara yang mengendarai Panser (Reformasi
Berawali Dari Tanah Makassar).
Runtuhnya Rezim Orde Baru Menuju Era Reformasi (21 Mei 1998)
Pada akhirnya ditahun 1997-1998 didorong oleh keadaan politik serta krisis ekonomi yang sedang mengalami keterpurukan akibat krisis moneter yang dialami Indonesia membuat perekonomian terguncang hebat. Hal ini tentu saja sangat mengejutkan masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa yang akhirnya animo pergerakannya mulai bangkit setelah sebelumnya mengalami mati suri yang cukup panjang. Sehingga pada akhirnya timbullah berbagai aksi demonstrasi besar-besaran. Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa pun akhirnya semakin merebak dan meluas. Di Jakarta sendiri, ribuan mahasiswa telah berhasil menduduki gedung MPR/DPR RI pada tanggal 19 Mei 1998. Atas berbagai tekanan yang terjadi itulah akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00, presiden RI pada saat itu, yaitu Soeharto resmi mengundurkan diri dan era Reformasi pun dimulai dengan diawali oleh runtuhnya rezim Orde Baru.

Referensi :
http://kalajingga.wordpress.com/2011/04/20/kronologis-april-makassar-berdarah-1996-amarah/
Komentar
Posting Komentar