Masa Depan Indonesia Di Tengah Pusaran Neoliberalisme


Mantan wakil presiden pertama Indonesia, Muhammad Hatta Mengatakan dalam pidatonya:
Bebas artinya menentukan jalan sendiri,
tidak terpengaruh oleh pihak manapun,
sedangkan aktif artinya menuju perdamaian dunia
dan bersahabat dengan segala bangsa”[1]

Kelahiran politik luar negeri Indonesia memiliki kaitan erat dengan sejarah revolusi Indonesia. Revolusi Indonesia ditandai dengan kebebasan Indonesia dari tangan kolonialisme Belanda. Fase revolusi Indonesia yang pertama adalah pergerakan memperjuangkan kemerdekaan. Sedangkan fase selanjutnya lebih dikenal dengan revolusi perjuangan sosial sebagai negara yang baru merdeka. Setiap fase revolusi tentunya menelorkan arah politik luar negeri yang berbeda.
Setiap negara, dalam entitasnya, menetapkan kebijakan yang mengatur hubungannya dengan dunia internasional. Kebijakan tersebut sekaligus berfungsi menjelaskan keterlibatannya dalam isu-isu internasional. Kebijakan negara baik domestik maupun internasional selalu didasarkan pada usaha memelihara dan mewakili kepentingan nasional.[2] Dengan demikian, kepentingan nasional terbentuk dari kepentingan domestik. Seketika kepentingan nasional itu dibawa keluar maka saat itu pula kepentingan nasional dikemas dalam politik luar negeri. Masing-masing negara memiliki politik (kebijakan) luar negeri yang partikular, walaupun barangkali sejumlah negara memiliki kemiripan.
Fase revolusi perjuangan kemerdekaan Indonesia, politik luar negeri diarahkan untuk menggalang pengaruh dunia internasional guna mendukung perjuangan nasionalisme self-determination Indonesia. Melalui pidato Soekarno yang menggebu-gebu dan kunjungan kenegaraan ke beberapa negara, secara nyata telah menumbuhkan simpati internasional terhadap perjuangan indonesia merebut Irian Barat. Politik luar negeri juga dapat diartikan sebagai seperangkat strategi dan teknik dengan tujuan mengubah negara lain supaya mengikuti kita, supaya mereka melakukan adjustment yang mendukung kita.[3] Sehingga segala daya yang telah dilakukan oleh Soekarno tersebut diatas merupakan simbol implementasi politik luar negeri Indonesia saat itu.
Fase revolusi sosial yakni perjuangan negara baru merdeka agar menjadi negara independent bebas intervensi asing, politik luar negeri diarahkan untuk perbaikan ekonomi dengan paying self sufficiency. Indonesia berusaha keras untuk menjaga kenetralannya di antara kedua blok yang saling bertikai. Politik domestik berperan penting dalam pragmatisme politik luar negeri Indonesia, Soekarno yang menerapkan landasan operasional, politik luar negeri Indonesia (PLNRI) yang bebas aktif pun senantiasa berubah sesuai kepentingan nasional. Misalnya selama masa orde lama, PLNRI yang sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno tersebut masih menekankan kebijakan hidup bertetangga dengan negara-negara kawasan, tidak turut campur tangan urusan domestik negara lain dan selalu mengacu pada piagam PBB.[4]
Tetapi terjadi proses pencideraan kesepakan dalam PBB yang menyebabkan terjadinya konflik saudara antara Indonesia dengan Malaysia dan hal ini sebagai mana yang dicetuskan oleh Henry Kissinger dan Jack C Plano, dimana politik luar negeri merupakan kelanjutan dari politik domestik. Ini menegaskan pada era revolusi sosial Indonesia, politik domestik juga memainkan peran dalam membentuk dan mempengaruhi kebijakan luar negeri. Dan keberadaan fenomena ini tidak dapat dielakkan. Jika dielakkan, maka yang terjadi adalah pergolakan internal yang mengancam kekuasaan yang sedang berkuasa. Contoh kasusnya adalah Soekarno vs politik domestik dengan salah satu contoh Malaysia pada era 1960an. Implementasi Politik luar negeri indonesia bisa menjadi bermacam-macam. Politik luar negeri merupakan fenomena kompleks. Politik luar negeri tidak lebih sebagai suatu platform atau guidance untuk menjalin relasi dengan dunia internasional.[5]
Terjadinya sebuah sikap konfontasi Indonesia memuncak pada ancaman yang diambil Soekarno untuk keluar dari Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) jika PBB mengakui akan kedaulatan negara Malaysia, yang pada akhirnya Indonesia pun resmi keluar dari PBB pada 7 januari 1960.[6] Pada masa-masa dekade 60-an, tepatnya saat masa demokrasi terpimpin inilah muncul atmosfer kedekatan presiden pertama republik Indonesia pada blok timur.
Kedekatan Soekarno dengan blok timur merupakan interpretasi dari posisi Indonesia sebagai negara bekas jajahan kolonial dan menginterpretasikan pula bahwasanya kapitalisme yang di bawa oleh blok barat adalah upaya kolonialisme gaya baru. Soekarno membangun relasi dan kedekatan dengan negara-negara dengan paham komunis seperti Cina, Kuba dan tentunya Uni Soviet. Politik dalam negeri Soekarno pun terpengaruhi oleh kebijakan luar negerinya yang cenderung kepada blok timur, dengan tidak ingin memiliki image negara terbelakang, Soekarno menginisiasi politik mercusuar sebagai alat diplomasi dalam image building Indonesia di mata dunia. Dalam pernyataannya Soekarno melakukan cluster negara-negara yang terbagi dalam Oldefo (Old Established Forces) sebutan bagi negara-negara dengan kekuatan besar dalam upaya dalam sistem nekolim (neokolonialisme dan imperialime) yang mayoritasnya merupakan negara-negara maju barat seperti misalnya Amerika Serikat dan Inggris dan Nefo (New Emerging Forces) yang mayoritas merupakan negara-negara pada tataran ekonomi tradisional dan transisi dengan mayoritas negara berpaham komunis-sosialis dan negara-negara Asia pada umunya misalnya Cina dan Vietnam.[7]
Tidak terkecuali pada implikasi kebijakan dalam negeri Indonesia dan luar negeri Indonesia yang pada kala itu, misalnya Soekarno menginisiasi pekan olahraga dengan mengundang negara-negara yang masuk dalam cluster NEFO atau lebih dikenal dengan sebutan NEFOS. Hal ini mengakibatkan pergeseran akan image arah politik luar negeri Indonesia. Sikap Soekarno yang sangat konfrontatif dan tidak mengenal kompromi akan apa yang dianggap bahaya laten dari neo-kolonialisme, mengakibatkan Indonesia tampak sebagai ancaman efek politik domino paham sosialisme di Asia Tenggara. Kekhawatiran Amerika Serikat pada masa presiden Harry S Truman dengan segera mengeluarkan proyek Marshal Plan guna membendung efek dan arus komunisme yang tengah menjalar disekitar wilayah Asia Timur seperti Cina dan korea utara yang pada saat itu, sebagaimana yang di konsepkan oleh morton kaplan pada analisis model sistem internasional bukan pada masa bipolar ketat lagi pada dekade 50-an namun telah bertansformasi menuju sistem bipolar longgar seperti kemunculan Vietnam utara, dan di khawatirkan berefek domino pada bagian negara-negara indoCina dan sekitarnya di Asia Tenggara.
Kembali mempertegas kepada seluruh kader HMI melalui tulisan ini yang hanya sebagai brainstorming untuk bagaimana sang founder father Negara Indonesia mempertegas indonesia sebagai Negara yang besar, kuat dan anti diskriminasi. Meskipun khusus ulasan ini tidak berkaitan secara langsung terhadap HMI, hanya saja ulasan ini memnggambarkan kepada kita betapa visioner sang founder father kita dalam melakukan desainan komunikasi politik yang menjadikan indonesia mendapat gelar Macan Asia.
Sehingga menjadi sebuah harapan, melalui Rahim-rahim hijau hitam sang nakhoda yang memimpin HMI ditengah ancaman neoliberalism yang semakin deras, mampu meretas ironi-ironi kristalisasi intelektual dan menjadikan HMI sebagai resolusi atas perlbagai problem Negara yang tengah sakit.

[1]  Pidato Bung Hatta di depan BPUPKI 1948.
[2]   Jack C Plano & Ray Olton.1969., International Relations Dictionary, New York Holt; Rinehart & Winston.hlm.127.
[3]   Modelsky, George. 1962. Theory of Foreign Policy. New York: Praeger.hlm.6.
[4] Hal ini dapat kita lihat pada Maklumat Politik Pemerintah 1 November 1945, pidato kepresidenan 17 Agustus 1960 (Jarek), dan Keputusan Dewan Pertimbangan Agung No.2/Kpts/Sd/I/61 tanggal 19 Januari 1961.
[5]  Ibid…..hlm.6.
[6] Undang-Undang Presiden Republik Indonesia pada 14 Februari 1966 tentang Penarikan Diri Republik Indonesia Dari Keanggotaan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan  (International Bank for Reconstructure and Development). Diakses melaluihukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_1966.pdf  dan diunduh pada Rabu, 27 mei 2014.
[7]   http://nefos.org/ diunduh pada Rabu, 16 April 2014  dalam artikel “Oldefo Vs Nefo” oleh Max Lane, pengamat Indonesia, Visiting Fellow, Centre for Asia Pacific Social Transformation Studies, University of Wollongong, Australia. Artikel pertama kali dimuat di Sinar Harapan pada19 Juli 2002.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer