MENGAPA KITA BERAGAMA ?
Ust. Husein Al-Kaff
"Dasar pertama agama (din) adalah mengenal-Nya."
Perkataan di atas sangat tepat dan pada tempatnya, mengingat banyak
orang yang beragama, tetapi tidak mengenal agamanya dengan baik. Padahal,
mengenai agama seharusnya berada pada tahapan awal sebelum mengamalkan
ajarannya. Tetapi secara realita, keberagamaan sebagian besar dari mereka tidak
sebagaimana mestinya. Nah, dalam kesempatan ini kami akan memberikan penjelasan
tentang mengapa kita beragama dan bagaimana seharusnya kita beragama. Sehingga
kita beragama atas dasar bashirah (pengetahuan, pengertian, dan bukti).
Allah Ta’ala berfirman : "Katakanlah (wahai Muhammad).
Inilah jalan-Ku. Aku mengajak kepada Allah dengan bashirah (hujjah yang
nyata)" (QS Yusuf, 12 : 108).
Namun sebelum menjawab dua pertanyaan di atas, ada baiknya kami
terlebih dulu membicarakan tentang din itu sendiri.
Apa itu Din ?
Din berasal dari bahasa Arab dan dalam
Alquran disebutkan sebanyak 92 kali. Menurut arti bahasa (etimologi), din
diartikan sebagai balasan dan ketaatan. Dalam arti balasan, Alquran menyebutkan
kata din dalam surat Al-Fatihah ayat 4, Maliki Yaumiddin (Dialah
Pemilik (Raja) Hari Pembalasan)." Demikian pula dalam sebuah hadis, din
diartikan sebagai ketaatan. Rasulullah Saww bersabda : "Ad-diinu
nashiihah (agama adalah ketaatan)." Sedangkan menurut terminologi
teologi, din diartikan sebagai : "sekumpulan keyakinan, hukum,
norma yang akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan manusia, baik di
dunia maupun akhirat."
Berdasarkan hal di atas, din mencakup tiga dimensi : (1) keyakinan (akidah); (2) hukum (syariat);
dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian rupa
sehingga satu sama lain lain saling berkaitan, dan tidak bisa dipisahkan antara
satu dengan yang lainnya. Dengan menjalankan din, kebahagiaan,
kedamaian, dan ketenangan akan teraih di dunia dan di akhirat. Seseorang
dikatakan mutadayyin (ber-din dengan baik), jika dia dapat
melengkapi dirinya dengan tiga dimensi agama tersebut secara proporsional, maka
dia pasti berbahagia.
Dalam dimensi keyakinan atau akidah, seseorang harus meyakini dan
mengimani beberapa perkara dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya
tersebut tidak dapat digoyahkan lagi. Keyakinan seperti itu akan diperoleh
seseorang dengan argumentasi (dalil aqli) yang dapat dipertahankan.
Keyakinan ini pada intinya berkisar kepada Allah dan Hari Akhirat.
Adapun syariat adalah konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan.
Mengamalkan syariat merupakan representasi dari keyakinan. Sehingga sulit
dipercaya jika seseorang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, tetapi
tidak mengindahkan syariat-Nya. Karena syariat merupakan kewajiban dan larangan
yang datang dari-Nya.
Sedangkan akhlak adalah tuntunan akal budi (aqal amali) yang
mendorong seseorang untuk mengindahkan norma-norma dan meninggalkan
keburukan-keburukan. Seseorang belum bisa dikatakan mutadayyin selagi
tidak berakhlak, la diina liman la akhlaqa lahu. Demikian pula, keliru
sekali jika seseorang terlalu mementingkan akhlak daripada syariat.
Dari ketiga dimensi din tersebut, akidah menduduki posisi
yang paling prinsip dan menentukan. Dalam pengertian bahwa yang menentukan
seseorang itu mutadayyin atau tidak adalah akidahnya. Dengan kata lain,
yang memisahkan seseorang yang beragama dari yang tidak beragama (ateis) adalah
akidahnya. Lebih khusus lagi, bahwa akidahlah yang menjadikan orang itu disebut
Muslim, Kristiani, Yahudi atau yang lainnya.
Mengapa Kita Beragama ?
Mengapa Kita Beragama ?
Marilah kita kembali pada pertanyaan semula : "mengapa kita
beragama ?"
Manusia adalah satu spesies makhluk yang unik dan istimewa dibanding
makhluk-makhluk lainnya, termasuk malaikat. Karena, manusia dicipta dari unsur
yang berbeda, yaitu unsur hewani/materi dan unsur ruhani/immateri. Memang dari
unsur hewani manusia tidak lebih dari binatang, bahkan lebih lemah darinya.
Bukankah banyak di antara binatang yang lebih kuat secara fisik dari manusia ?
Bukankah ada binatang yang memiliki ketajaman mata yang melebihi mata manusia ?
Bukankah ada pula binatang yang penciumannya lebih peka dan lebih tajam dari
penciuman manusia ? Dan sejumlah kelebihan-kelebihan lainnya yang dimiliki
selain manusia.
Sehubungan ini Allah Swt berfirman : "Dan manusia diciptakan
dalam keadaan lemah" (QS An-Nisa, 4 : 28); "Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu
setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua." (QS Rum : 54). Masih
banyak ayat lainnya yang menjelaskan hal serupa.
Karena itu, sangatlah tidak pantas bagi manusia berbangga dengan
penampilan fisiknya, di samping itu penampilan fisik adalah wahbi sifatnya
(semata-mata penberian dari Allah, bukan hasil usahanya).
Kelebihan manusia terletak pada unsur ruhani (mencakup hati dan
akal, keduanya bukan materi). Dengan akalnya, manusia yang lemah secara fisik
dapat menguasai dunia dan mengatur segala yang ada di atasnya. Karena unsur
inilah Allah menciptakan segala yang ada di langit dan di bumi untuk manusia
(lihat surat Luqman ayat 20). Dalam salah satu ayat Alquran ditegaskan : "Sungguh telah Kami muliakan anak-anak,
Kami berikan kekuasaan kepada mereka di darat dan di laut, serta Kami anugerahi
mereka rezeki. Dan sungguh Kami utamakan mereka di atas
kebanyakan makhluk Kami lainnya." (QS Al-Isra, 17 : 70) Unsur akal
pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bilquwwah) yang perlu difaktualkan
(bilfi’li) dan ditampakkan. Oleh karena itu, jika sebagian manusia lebih utama
dari sebagian lainnya, maka hal itu semata-mata karena hasil usahanya
sendirinya. Karenanya, dia berhak bangga atas yang lainnya. Sebagian
mereka ada pula yang tidak berusaha memfaktualkan dan menampakkan potensinya
itu, atau memfaktualkannya hanya untuk memuaskan tuntutan hewaninya, maka orang
itu sama dengan binatang, bahkan lebih hina dari binatang (QS Al-A’raf, 7 :
170; Al-Furqan : 42).
Termasuk ke dalam unsur ruhan adalah fitrah. Manusia memiliki fitrah
yang merupakan modal terbesar manusia untuk maju dan sempurna. Din adalah bagian
dari fitrah manusia.
Dalam kitab Fitrat (edisi bahasa Parsi), Syahid Muthahhari
menyebutkan adanya lima macam fitrah (kecenderungan) dalam diri manusia yaitu
mencari kebenaran (hakikat), condong kepada kebaikan, condong kepada keindahan,
berkarya (berkreasi), dan cinta (isyq) atau menyembah (beragama). Sedangkan
menurut Syeikh Ja’far Subhani, terdapat empat macam kecenderungan pada manusia,
dengan tanpa memasukkan kecenderungan berkarya seperti pendapat Syahid
Muthahhari (kitab Al-Ilahiyyat, juz 1).
Kecenderungan beragama merupakan bagian dari fitrah manusia. Manusia
diciptakan oleh Allah dalam bentuk cenderung beragama , dalam arti manusia
mencintai kesempurnaan yang mutlak dan hakiki serta ingin menyembah Pemilik
kesempurnaan tersebut. Syeik Taqi Mishbah Yazdi, dalam kitab Ma’arif
al-Qur’an juz 1 hal. 37, menyebutkan adanya dua ciri fitrah, bik fitrah
beragama maupun lainnya, yang terdapat pada manusia, yaitu pertama
kecenderungan-kecenderungan (fitrah) tersebut diperoleh tanpa usaha atau ada
dengan sendirinya, dan kedua fitrah tersebut ada pada semua manusia walaupun
keberadaannya pada setiap orang berbeda, ada yang kuat dan ada pula yang lemah.
Dengan demikian, manusia tidak harus dipaksa beragama, namun cukup kembali pada
dirinya untuk menyebut suara dan panggilan hatinya, bahwa ada Sesuatu yang menciptakan
dirinya dan alam sekitarnya.
Meskipun kecenderungan beragama adalah suatu yang fitri, namun untuk
menentukan siapa atua apa yang pantas dicintai dan disembah bukan merupakan
bagian dari fitrah, melainkan tugas akal yang dapat menentukannya. Jadi jawaban
dari pertanyaan mengapa manusia harus beragama, adalah bahwa beragama merupakan
fitrah manusia. Allah Ta’ala berfirman, "Maka hadapkanlah wajahmu kepada
din dengan lurus, sebagai fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan."
(QS. Rum: 30).
Sekilas Teori-teori Kemunculan Agama
Kaum materialis memiliki sejumlah teori tentang kemunculan agama,
antara lain:
1.
Agama muncul karena kebodohan manusia
Sebagian
mereka berpendapat, bahwa agama muncul karena kebodohan manusia. August
Comte—peletak dasar aliran positivisme—menyebutkan,
bahwa perkembangan pemikiran manusia dimulai dari kebodohan manusia tentang
rahasia alam atau ekosistem jagat raya. Pada mulanya—periode primitif—karena
manusia tidak mengetahui rahasia alam, maka mereka menyandarkan segala fenomena
alam kepada Dzat yang ghaib.
Namun,
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan (sains) sampai pada batas segala sesuatu
terkuat dengan ilmu yang empiris, maka keyakinan terhadap yang ghaib tidak lagi
mempunyai tempat di tengah-tengah mereka. Konsekuensi logis teori
di atas, adalah makin pandai seseorang akan makin jauh ia dari agama bahkan
akhirnya tidak beragama, dan makin bodoh seseorang maka makin kuat agamanya.
Padahal, betapa banyak orang pandai yang beragama, seperti Albert Einstein, Charles
Darwin, Hegel dan lainnya. Demikian sebaliknya, alangkah banyak orang bodoh
yang tidak beragama.
2.
Agama muncul karena
kelemahan jiwa (takut)
Teori
ini mengatakan, bahwa munculnya agama karena perasaan takut terhadap Tuhan dan
akhir kehidupan. Namun, bagi orang-orang yang berani keyakinan seperti itu
tidak akan muncul. Teori ini dipelopori oleh Bertnart Russel. Jadi, menurut
teori ini agama adalah indikasi dari rasa takut. Memang takut kepada Tuhan dan
hari akhirat, merupakan ciri orang yang beragama. Tetapi agama muncul bukan
karena faktor ini, sebab seseorang merasa takut kepada Tuhan setelah ia
meyakini adanya Tuhan. Jadi,takut merupakan akibat dari meyakini adanya Tuhan
(baca: beragama).
3.
Agama adalah produk
penguasa
Karl
Marx—bapak aliran komunis-sosialis—mengatakan, bahwa agama merupakan produk
para penguasa yang diberlakukan atas rakyat yang tertindas, sebagai upaya agar
mereka tidak berontak dan menerima keberadaan sosial-ekonomi. Mereka (rakyat
tertindas) diharapkan terhibur dengan doktrin-doktrin agama, seperti harus
sabar, menerima takdir, jangan marah dan lainnya.
Namun,
ketika tatanan masyarakat berubah menjadi masyarakat sosial yang tidak mengenal
perbedaan kelas sosial dan ekonomi, sehingga tidak ada lagi (perbedaan antara)
penguasa dan rakyat yang tertindas dan tidak ada lagi (perbedaan antara) si
kaya dan si miskin, maka agama dengan sendirinya akan hilang. Kenyataannya,
teori di atas gagal. Terbukti bahwa negara komunis-sosialis sebesar Uni Soviet
pun tidak berhasil menghapus agama dari para pemeluknya, sekalipun dengan cara
kekerasan.
4.
Agama adalah produk
orang-orang lemah
Teori
ini berseberangan dengan teori-teori sebelumnya. Teori ini mengatakan, bahwa
agama hanyalah suatu perisai yang diciptakan oleh orang-orang lemah untuk
membatasi kekuasaan orang-orang kuat. Norma-norma kemanusiaan seperti
kedermawanan, belas kasih, kesatriaan, keadilan dan lainnya sengaja disebarkan
oleh orang-orang lemah untuk menipu orang-orang kuat, sehingga mereka terpaksa
mengurangi pengaruh kekuatan dan kekuasaannya. Teori ini diperoleh Nietzche,
seorang filsuf Jerman.
Teori di atas terbantahkan jika kita lihat kenyataan sejarah, bahwa
tidak sedikit dari pembawa agama adalah para penguasa dan orang kuat—misalnya
Nabi Daud dan Nabi Sulaiman—keduanya adalah raja yang kuat.
Sebenarnya, mereka ingin menghapus agama dan menggantikannya dengan
sesuatu yang mereka anggap lebih sempurna (seperti, ilmu pengetahuan menurut
August Comte, kekuasaan dan kekuatan menurut Nietszche, komunis-sosialisme
menurut Karl Marx dan lainnya). Padahal mencintai dan
menyembah kesempurnaan adalah fitrah. Perbedaan kaum agamawan dengan mereka, adalah
bahwa kaum agamawan mendapatkan kesempurnaan yang mutlak hanya pada Tuhan.
Jadi, sebenarnya mereka (kaum Atheis) beragama dengan pikiran mereka sendiri.
Atau dengan kata lain, mereka mempertuhankan diri mereka sendiri.
Komentar
Posting Komentar